Tommy Gak Gitu Deh..

Kalem, Pendiam, Tak Terlalu Meledak dalam Berekspresi di Lapangan.

Begitulah pendapat banyak orang tentang karakter Tommy Sugiarto menurut pengamatan mereka. Pembawaannya yang cenderung tenang selaras dengan tipe bermainnya yang lebih sering mengandalkan permainan reli untuk meraih poin demi poin di tiap pertandingan.

Karena itulah, ketika Tommy memutuskan untuk menolak pemanggilan ke pelatnas Cipayung untuk periode 2015 ini, mungkin banyak yang berpikiran keputusan ini merupakan keputusan yang berani dan bertolak belakang dengan karakteristik Tommy yang kalem dan tenang.

“Tommy gak gitu deh?!”

Sebuah kalimat populer di iklan sampo bertahun-tahun silam rasanya menggambarkan perasaan banyak orang yang mungkin bertanya-tanya tentang keputusan Tommy untuk menolak panggilan ke pelatnas Cipayung saat ini.

Bagaimanapun, posisi Tommy saat ini adalah sebagai pebulu tangkis tunggal putra nomor satu Indonesia setelah Pelatnas Cipayung memutuskan untuk mendepak Dionysius Hayom Rumbaka dari pelatnas, maka Tommy lah tulang punggung generasi tunggal putra saat ini. Memang masih ada Simon Santoso yang usianya lebih senior, namun secara peringkat dan performa dalam beberapa tahun terakhir, Tommy tampaknya masih lebih baik dibandingkan Simon.

Tommy adalah asa Pelatnas Cipayung untuk berbagai turnamen penting tahun ini mulai dari Piala Sudirman hingga SEA Games. Pun begitu untuk Olimpiade 2016, nama Tommy adalah deretan terdepan yang bisa diandalkan dari barisan tunggal putra Indonesia saat ini.

blog 1

Sedikit mundur ke belakang, keputusan Tommy untuk menarik diri dari keanggotaan di pelatnas Cipayung ini bukanlah yang pertama kalinya ia lakukan. Pada tahun 2010 lalu, Tommy juga sempat memutuskan keluar dari pelatnas Cipayung.

Namun keputusan Tommy untuk keluar saat itu lebih terasa masuk di akal. Saat itu, Tommy jarang sekali mendapat kesempatan untuk tampil di turnamen-turnamen BWF. Alhasil, peringkatnya pun merosot jauh terlempar dari kelompok 50 besar.

“Saya tidak berkembang di pelatnas jadi saya memutuskan untuk keluar.” Begitu kalimat yang diutarakan Tommy saat itu.

Dan lewat perjuangan yang gigih, Tommy pun mampu memberi bukti bahwa ia memiliki potensi besar sebagai seorang pemain. Terbukti, peringkatnya kembali membaik dan akhirnya tawaran untuk mengisi pos di pelatnas pun kembali datang di awal 2013 dimana Tommy menganggukkan kepalanya untuk kembali menjadi bagian dari pelatnas Cipayung.

4,5 tahun berselang dari momen pertama, ternyata Tommy kembali mengutarakan alasan yang sama kala dirinya menolak untuk memenuhi panggilan untuk berlatih di pelatnas Cipayung untuk tahun 2015 ini.

Walaupun alasannya sama, namun kondisinya jelas berbeda. Tahun 2010 lalu, Tommy masihlah seorang pemain muda potensi sementara untuk saat ini, Tommy adalah pebulu tangkis tunggal putra terbaik Indonesia, meskipun tak dimungkiri ia masih sulit untuk mematahkan dominasi para tunggal putra papan atas dunia. Tommy tetaplah tunggal putra Indonesia nomor satu saat ini dan hal itu tak terbantahkan.

Dengan karakteristik kondisi yang berbeda tersebut, maka asumsi yang paling masuk akal dari keputusan Tommy untuk keluar adalah lantaran kekecewaan Tommy terhadap keputusan Pelatnas PBSI yang mendepak Joko Suprianto sebagai pelatih tunggal putra di pertengahan tahun 2014 lalu.

Selama berada di pelatnas, Tommy memang berada di bawah arahan Joko Suprianto. Peringkatnya pun pernah melonjak masuk lima besar dan duduk di peringkat ketiga dunia, di bawah Lee Chong Wei dan Chen Long.

Di awal 2014, Tommy pun sepertinya terlihat makin diandalkan manakala Pelatnas Cipayung memutuskan untuk mencoret Simon dari skuat Pelatnas pada bulan Januari. Dengan performa Hayom yang labil, maka praktis saat itu Tommy jadi ujung tombak tunggal putra Indonesia.

Namun enam bulan berselang, pada Juni 2014, Pelatnas Cipayung memutuskan untuk tidak menggunakan jasa Joko Suprianto sebagai pelatih tunggal putra. Di saat bersamaan, Simon yang berada dalam ‘pembuangan’ justru mampu bangkit di bawah polesan Hendry Saputra.

PBSI yang melihat hal itu mengambil keputusan kilat, memanggil kembali Simon beserta sang pelatih ke Cipayung. Tentunya dengan harapan Simon bisa meneruskan performa gemilangnya karena sang pelatih sudah ikut serta.

Walaupun tak pernah terucap, mungkin inilah yang menyulut kekecewaan dalam diri Tommy. Bagi Tommy, mungkin tidak masalah jika PBSI memanggil kembali Simon berikut sang pelatih, namun bisa jadi yang membuat Tommy kecewa adalah lantaran PBSI tak mau mengabulkan harapan Tommy untuk tetap bisa berlatih di bawah asuhan Joko Suprianto.

Sebagai pebulu tangkis tunggal putra nomor satu Indonesia yang tengah mencoba untuk menggoyahkan dominasi Chong Wei, Chen Long, dan Lin Dan, Tommy jelas butuh semua komponen yang menurutnya bisa membuat dirinya nyaman, dan Joko sebagai pelatih adalah termasuk dalam komponen itu.

Bisa diduga, setelah Joko tak ada dan Hendry mulai bertugas di Cipayung, sempat ada masalah komunikasi antara Tommy dan Hendry. Meskipun beberapa saat kemudian Rexy Mainaky mengatakan bahwa semua permasalahan itu sudah selesai, namun ternyata masalah komunikasi itu pada akhirnya tidak benar-benar selesai sampai akhirnya masalah tersebut tuntas di awal tahun ini dengan keputusan Tommy untuk tidak lagi menjadi bagian dari pelatnas.

Tommy membuat keputusan besar dalam karirnya. Keluar dari pelatnas saat dirinya tengah diharapkan untuk jadi tumpuan pada tahun-tahun mendatang. Pembawaannya yang tenang dan kalem ternyata tidak menutup keberanian Tommy pada sikap berani untuk mengambil keputusan.

Tommy gak gitu deh?

Ternyata Tommy berani bersikap begitu dan tentu sudah sangat sadar dan siap dengan segala resiko yang mungkin terjadi setelah ini terutama tentang lebih beratnya perjuangan di luar pelatnas. Bahwa hidup adalah selalu tentang memilih dimana setiap orang akan dihadapkan pada dua sisi yang berlawanan.

Meski demikian tentunya tak perlu khawatir secara berlebihan karena nama Indonesia tetap berada di belakang punggung Tommy, dan dia pun pastinya tetap akan bermain dengan tekad mengangkat nama beserta identitas negaranya.

 

-Putra Permata Tegar Idaman-

Tancap Gas Jelang Lap Terakhir

Jika periode kepengurusan adalah sebuah perlombaan balapan, maka Olimpiade yang merupakan titel paling bergengsi di dunia bulu tangkis adalah putaran terakhir.  Kebetulan, periode kepengurusan PBSI sangat sinkron dengan laju gelaran Olimpiade yang berlangsung dalam periode empat tahun sekali.

Ketika PBSI era Gita Wirjawan resmi dilantik di pengujung 2012, mereka mulai resmi mencanangkan program kerja selama empat tahun dimana target bidikan terbesar terakhir ada di Olimpiade Rio de Janeiro 2016. Semua program yang mereka susun saat itu bermuara pada harapan Indonesia mampu bisa kembali meraih medali emas setelah pada Olimpiade London 2012 babak belur dan pulang tanpa kalungan medali.

Jika dipaparkan menjadi detil per detil, petualangan tim bulu tangkis Indonesia dalam periode kepemimpinan Gita Wirjawan, boleh jadi dibagi menjadi empat putaran yang dihitung per tiap tahun.

blog 1

Pada putaran pertama alias tahun 2013 dimana PBSI menganggapnya sebagai bagian awal dan permulaan, ternyata mereka malah mendapatkan hasil mengejutkan. Ibarat mobil balap yang masih diproyeksikan untuk memanaskan mesin di lap pertama, ternyata mobil balap tersebut mampu melaju lebih cepat dari catatan waktu yang diproyeksikan.

 

Pada tahun perdana, Tim bulu tangkis Indonesia sukses memenuhi target meraih titel All England, merebut dua gelar juara dunia, dan mengamankan tiga medali emas SEA Games. Satu target yang gagal mereka raih adalah Piala Sudirman namun itupun dimaklumi karena Indonesia kalah tipis 2-3 dari Cina di babak perempat final.

Rexy Mainaky, sebagai penanggung jawab teknis tentunya bangga bahwa ‘mobil balap’ tim bulu tangkis Indonesia mampu melaju lebih cepat dari perkiraan dirinya pada putaran pertama alias di tahun 2013 silam.

Hal itu yang kemudian mencuatkan optimisme bahwa tim bulu tangkis Indonesia akan bisa lebih cepat  di putaran kedua alias tahun 2014. Sejumlah proyeksi dan target dicanangkan termasuk mengorbitkan pemain-pemain lainnya di luar nama-nama macam Tontowi Ahmad, Liliyana Natsir, Mohammad Ahsan, dan Hendra Setiawan.

Namun ternyata kecepatan ‘mobil balap’ tim bulu tangkis kali ini justru tak sesuai harapan dari Rexy selaku penanggung jawab performa tim. Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana memang terbilang masih cukup bersinar, namun harapan untuk melihat pemain-pemain lainnya muncul ke permukaan harus dipendam dalam-dalam.

Hanya Greysia Polii/Nitya Krishinda Maheswari yang mampu menyeruak ke permukaan sementara Tommy Sugiarto, Simon Santoso, Angga Pratama/Rian Agung dan pemain lainnya masih tak sanggup untuk menembus dominasi persaingan papan atas.

Sebagaimana perlombaan, maka finis dan tujuan akhir Pengurus PBSI periode kali ini adalah tahun 201 dimana di sana terdapat Piala Thomas dan Uber serta Olimpiade. Dibanding Thomas-Uber, emas Olimpiade menjadi hal yang lebih realistis untuk kondisi bulu tangkis Indonesia saat ini.

Namun sebelum nantinya beradu cepat di 2016 untuk memperebutkan medali emas Olimpiade, Indonesia butuh kepastian bahwa ‘mobil balap’ mereka sudah berada dalam posisi yang benar pada akhir tahun 2015 dan awal tahun 2016.

Itu berarti, tahun ini harus benar-benar ada gebrakan besar dari para pemain Indonesia di level kompetisi kasta atas. Indonesia harus mampu melaju cepat, menutup keterlambatan yang terjadi di 2014, sehingga nantinya Indonesia berada dalam posisi siap bertarung di lap terakhir pada 2016.

PBSI pun meracik banyak program. Mulai dari perlakuan khusus atlet berprestasi, fisik dan gizi yang dipantau, aspek psikologis yang terus diperhatikan, hingga pemanggilan para legenda bulu tangkis untuk turun gunung dan menjadi mentor bagi para juniornya.

Semua program yang disusun rapi dan manis ini jelas diharapkan berujung pada konsistensi penampilan para pemain yang sudah bisa diandalkan sejauh ini ditambah munculnya pemain baru yang bisa menggebrak dominasi bulu tangkis dunia.

Perlombaan di Olimpiade 2012 ibarat kenangan buruk yang bisa jadi contoh termanis. Saat itu, di kondisi ‘mobil balap’ Indonesia jelas sudah kepayahan di lap terakhir. Ini ditandai dengan hanya munculnya nama Tontowi/Liliyana sebagai wakil Indonesia yang mampu meramaikan persaingan di papan atas kompetisi bulu tangkis dunia.

Alhasil, ‘mobil balap’ Indonesia butuh keajaiban besar untuk bisa finis di tempat yang diharapkan. Dan nyatanya, selain performa yang buruk dari tim bulu tangkis Indonesia di tahun-tahun sebelumnya jelang 2012, keberuntungan pun menjauh dari Indonesia. Jadilah Indonesia pulang dari London tanpa kalungan medali emas, bahkan tanpa kalungan medali apapun.

Untuk Olimpiade 2016, sebelum hanya berharap pada keberuntungan, jelas Indonesia harus mencari posisi terbaik di akhir tahun ini serta awal tahun depan. Itu berarti PBSI harus mampu mendorong agar bukan hanya Ahsan/Hendra, Tontowi/Liliyana, dan Greysia/Nitya saja yang berdiri pada podium kemenangan turnamen-turnamen besar, melainkan juga para pemain lainnya.

 

 

-Putra Permata Tegar Idaman-

Kemajuan Namun Minim

Tahun 2014 beberapa hari lagi usai. Tentunya banyak kenangan tertinggal di jejak-jejak langkah yang telah dibuat sepanjang tahun ini berlangsung, baik itu kenangan manis maupun pahit. Ini berlaku untuk semuanya, baik individu maupun organisasi.

Pun begitu halnya dengan bulu tangkis Indonesia. Tahun 2014 yang sebentar lagi berlalu tentunya meninggalkan banyak kenangan, baik itu bagi Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI) maupun bagi para pemain-pemain bulu tangkis kebanggaan negeri ini.

Dimulai dari target besar, Indonesia mencanangkan lima target besar ditahun 2014 ini yaitu All England, Piala Thomas-Uber, Kejuaraan Dunia, Asian Games, dan BWF Final Super Series. Indonesia sukses memenuhi target di All England dan Asian Games namun gagal di gelaran Piala Thomas-Uber, Kejuaraan Dunia, dan BWF Final Super Series. Kelima turnamen itu sendiri memberikan penggambaran jelas bagaimana kondisi bulu tangkis Indonesia saat ini.

Di All England, bulu tangkis Indonesia diberikan kemungkinan terbaik yang bisa terjadi hanya dengan memiliki dua pemain papan atas dunia, Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan dan Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir. Ketika keduanya memiliki persiapan yang sangat cukup, kondisi tubuh yang prima, kondisi psikologis yang sempurna, mereka mampu menampilkan peak performance di tiap pertandingan yang mereka mainkan. Alhasil, dua gelar juara pun mampu dibawa pulang.

Di Thomas-Uber, bulu tangkis Indonesia ditunjukkan bahwa menjadi juara di ajang ini tanpa memiliki kekuatan yang mumpuni di nomor tunggal, baik tunggal putra maupun putri, adalah suatu misi yang bisa dikatakan hampir mustahil. Dengan format lima pertandingan dimana tiga diantaranya adalah nomor tunggal, jelas nomor ini memegang kunci penting dalam upaya Indonesia untuk kembali merebut gelar juara.

Tanpa kekuatan yang hebat di nomor tunggal, Indonesia harus menerima kenyataan pahit kalah 0-3 dari Malaysia di babak semifinal Piala Thomas dan takluk 0-3 di hadapan India pada babak perempat final Piala Uber. Pola dua kekalahan tersebut nyaris sama, yaitu di nomor tunggal kalah kelas sementara pada nomor ganda wakil Indonesia yang turun tak mampu bermain pada kemampuan terbaik mereka karena terbebani target harus menang dan menyumbang poin sebelum pertandingan.

Di Kejuaraan Dunia 2014, bulu tangkis Indonesia ditunjukkan fakta pedih bahwa minimnya andalan akan membuat keadaan berubah menjadi sangat buruk dalam waktu singkat. Cedera telapak kaki yang dialami Tontowi dan cedera pinggang yang ada pada diri Ahsan membuat Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana tak bisa berangkat ke Copenhagen untuk mempertahankan status juara dunia.

Tanpa Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana, harapan meraih dua gelar juara dunia seperti halnya pada tahun 2013 menjadi mimpi muluk belaka. Dan memang benar itu yang terjadi, jangankan gelar juara, Indonesia bahkan tak punya wakil di babak final.

Di Asian Games 2014, bulu tangkis Indonesia ditunjukkan fakta betapa menyenangkannya jika memiliki wakil lain di luar Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana yang bisa diandalkan untuk menjadi juara. Gelaran Asian Games sendiri berlangsung hanya beberapa pekan setelah Kejuaraan Dunia usai. Bagi Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana, Asian Games adalah turnamen perdana mereka pasca absen di Kejuaraan Dunia.

AG 31

Walaupun langsung mendapatkan turnamen dengan tingkat tekanan tinggi pasca sembuh dari cedera, Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana mampu menjawab hal itu dengan penampilan apik dimana keduanya sukses lolos ke babak final.

Namun seperti diketahui, final selalu menghadirkan dua kemungkinan, yaitu menang dan kalah. Setelah sama-sama bersuka ria dan menjadi juara di Kejuaraan Dunia 2013 dan All England 2014, kali ini Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana berbeda jalan. Ahsan/Hendra sukses menjadi juara sementara Tontowi/Liliyana harus puas di peringkat kedua.

Namun, Indonesia pada akhirnya bisa tersenyum lantaran target dua emas dari cabang bulu tangkis bisa tetap dipenuhi walau Tontowi/Liliyana gagal juara. Hal ini tidak lain lantaran performa gemilang Greysia Polii/Nitya Krishinda Maheswari sepanjang Asian Games berlangsung. Ditargetkan meraih medali, Greysia/Nitya sukses menjawabnya dengan kalungan medali emas di leher mereka.

Di BWF Final Super Series, bulu tangkis Indonesia diperlihatkan bahwa semestinya target besar yang dicanangkan harus sinkron dengan persiapan yang dilakukan. Pemetaan fokus pemain dan durasi persiapan harus dilakukan dengan lebih jeli. Pada BWF Final Super Series kemarin, terlihat jelas bahwa pemain datang ke Dubai dengan kondisi lelah, baik fisik maupun psikis sehingga Indonesia pun harus pulang dengan tangan hampa pada ajang ini.

Di luar target-target besar yang dicanangkan oleh Indonesia, secara umum prestasi bulu tangkis Indonesia pada tahun ini boleh dibilang hanya sedikit mengalami kemajuan dengan tetap meninggalkan banyak pekerjaan rumah setelah ini.

Dari total 12 turnamen super series/premier plus 1 super series finals, Indonesia hanya mampu mendapat enam gelar juara saja dari kemungkinan meraih 65 titel juara. Memang titel itu masih membuat Indonesia menempati urutan ketiga di bawah Cina yang begitu superior dengan 33 titel juara dan Korea (7 gelar juara), namun jika torehan ini dikaitkan dengan ambisi bangkitnya bulu tangkis Indonesia di era kepemimpinan Gita Wirjawan, sepertinya hal ini masih sangat jauh dari harapan.

Belum lagi jika menengok fakt bahwa lima dari enam gelar tersebut diraih oleh Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana, maka makin tergambar jelas bahwa Indonesia masih begitu bergantung pada empat sosok ini di tiap kejuaraannya.

Di ajang grand prix gold/grand prix, Indonesia meraih total 17 gelar dan berada di bawah Cina yang membukukan 23 gelar. Namun yang patut menjadi catatan, pelatnas hanya mampu meraih tujuh gelar dari keseluruhan gelar Indonesia di ajang grand prix gold/grand prix, sebuah pertanda bahwa pemain yang ada di Cipayung belum unjuk gigi sejauh ini.

Hal paling positif dari pelatnas Cipayung tahun ini adalah kesuksesan Greysia/Nitya di ajang Asian Games 2014. Greysia/Nitya sukses membuktikan bahwa nomor ganda putri yang dalam beberapa dekade terakhir sering disebut sebagai nomor paling lemah yang dimiliki Indonesia, justru mampu memberikan kepingan medali emas di saat nomor lainnya terkulai tak berdaya.

Untuk Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana, performa dua wakil ini masih terbilang konsisten di tiap turnamen yang masuk dalam target besar PBSI. Namun dibandingkan tahun lalu, beban Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana jelas terasa makin berat saat ini lantaran belum banyak pemain Indonesia lainnya yang mampu diandalkan menjadi juara.

Performa para pemain lapis utama di luar para pemain yang disebut di atas masih sangat jauh dari harapan. Dengan demikian, hanya Greysia/Nitya yang mampu masuk line up sebagai andalan tambahan menemani Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana pada tahun mendatang, itu pun masih perlu pembuktian lebih lanjut.

Di tingkat pemain muda, sejumlah prestasi menggembirakan terjadi namun tentunya prestasi tersebut lebih condong ke arah investasi masa depan mengingat mereka akan belum cukup matang untuk menghadapi target jangka pendek untuk dua tahun ke depan seperti Kejuaraan Dunia 2015 dan Olimpiade 2016.

Kemajuan yang terbilang sedikit ini tentu harus dibayar PBSI dan seluruh atlet bulu tangkis Indonesia di tahun 2015. Mereka harus berlari lebih kencang untuk bisa menutup kekurangan yang mereka lakukan di tahun ini.

Serba Salah di Akhir Tahun

All England. Thomas-Uber. Kejuaraan Dunia. Asian Games. Super Series Final.

Itulah target-target besar yang diusung oleh Pengurus Pusat Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia di awal tahun 2014 lalu. Dari kelima target tersebut, Indonesia berhasil menuntaskan misi pada ajang All England dan Asian Games serta gagal di Thomas-Uber, Kejuaraan Dunia, dan Super Series Final.

Sebelum berbicara soal hasil akhir, menarik dilihat terlihat ada sebuah perbedaan yang mencolok pada lima ajang yang menjadi target utama itu. Pada empat ajang, All England, Thomas-Uber, Kejuaraan Dunia, dan Asian Games, persiapan para pebulu tangkis Indonesia benar-benar maksimal.

Untuk persiapan All England dan Thomas-Uber, para pemain melakukan persiapan di kisaran tiga minggu sementara untu Kejuaraan Dunia dan Asian Games, walaupun kedua ajang itu berdekatan, tetap ada persiapan selama satu bulan sebelum dua turnamen itu berlangsung. Intinya, status sebagai target besar benar-benar diaplikasikan nyata dalam bentuk persiapan di tempat latihan.

foto blog

Hal-hal itulah yang kemudian tidak ditemui di ajang Super Series Final. Pada ajang yang diperuntukkan bagi delapan pebulu tangkis terbaik di lima nomor pada tahun ini tersebut, para wakil Indonesia benar-benar tidak melakukan periodesasi sebelum pertandingan dengan baik dan benar sebagaimana lazimnya mereka menghadapi sebuah target besar.

Dimulai tanggal 10 November, para pebulu tangkis Indonesia mengikuti Cina Super Series yang kemudian diikuti oleh Hong Kong Super Series. Mendapat jeda beberapa hari, Axiata Cup sudah dimulai pada akhir November hingga 7 Desember dengan mengambil lokasi di Indonesia dan Malaysia.

Belum cukup sampai di situ, Kejurnas pun dimulai beberapa hari kemudian, tepatnya tanggal 9-14 Desember. Setelah usai Kejurnas di Cirebon, para pemain segera bertolak ke Dubai dan langsung bertanding pada hari Rabu. Belum lagi beberapa pemain yang berlaga di Liga Malaysia dan pergi ke Eksebisi Raja Thailand di pertengahan jadwal tersebut.

Hanya Greysia Polii/Nitya Krishinda Maheswari yang bisa sedikit menghirup napas lebih lega dibanding wakil yang lain karena mereka tidak ikut Axiata Cup lantaran nomor ganda putri tidak dipertandingkan. Sementara Tommy Sugiarto, Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan, dan Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir ikut tampil di Axiata Cup.

Dilihat dari jadwal yang ada saja, jelas terlihat bahwa akan sangat sulit bagi tim pelatih untuk mengatur peak performance atletnya untuk jatuh tepat pada titik puncaknya di ajang Super Series Finals. Hal ini dikarenakan secara fokus, psikis, dan juga fisik, para pemain mengalami kelelahan yang sangat luar biasa setelah menjalani satu bulan penuh pertandingan dengan lokasi yang berbeda-beda.

Alhasil, Ahsan dan Nitya mengalami cedera yang mungkin juga disebabkan oleh intensitas pertandingan yang tinggi sementara Tommy dan Tontowi/Liliyana juga gagal tampil dalam performa terbaiknya dan tak bisa beranjak dari babak penyisihan grup.

Beberapa hari sebelum Super Series Finals, terdapat penyelenggaraan Kejuaraan Nasional. Ada opini mencuat bahwa seharusnya para pemain yang akan berlaga di Super Series Finals sebaiknya tak diikutkan dalam Kejurnas.

Meminta atau menginstruksikan para pemain untuk tidak ikut Kejurnas rasanya memang tidak akan semudah membalikkan telapak tangan. Dalam sistem bulu tangkis di Indonesia, klub-klub punya peran kuat dalam pembinaan dan pengembangan bulu tangkis di negara ini. Nama-nama besar yang ada di pelatnas pun bisa lahir karena polesan klub mereka sejak pemula hingga usia remaja atau taruna.

Setelah para pemain berstatus pemain pelatnas pun, tiap klub tetap memberikan perhatian lebih kepada mereka. Misalnya saja ketika pemain binaan mereka mampu meraih gelar besar, mereka pun tak ketinggalan untuk mengapresiasi perjuangannya lewat kucuran bonus.

Karena itulah, ajang Kejurnas ini kemudian menjadi ajang yang paling pas untuk balas budi dari pemain kepada klub. Setelah para pemain binaan klub menjelma sebagai pemain pelatnas, memang sangat sedikit kesempatan bagi mereka untuk kembali bertanding dengan mengusung bendera kebesaran klub tersebut. Bermain di Kejurnas itulah yang masuk dalam kategori kesempatan yang sangat sedikit sehingga harus dimanfaatkan sebaik-baiknya.

Terlebih, Kejurnas beregu campuran dilaksanakan dua tahun sekali sehingga makin menambah rasa kepantasan bagi tiap pemain untuk menyisihkan waktu dan berjuang sekuat tenaga membela nama klub yang membesarkan mereka.

Jika tampilnya para pemain di Kejurnas pada akhirnya bisa dimaklumi, maka sudah semestinya PBSI harus mengorbankan ajang lain dalam hal ini Axiata Cup. Dengan melihat pentingnya Super Series Finals dan begitu berharganya gelaran Kejurnas, maka setidaknya para pemain yang akan berlaga di Super Series Finals semestinya dibebastugaskan di Axiata Cup 2014.

Memang, mereka tidak bermain secara intens di Axiata Cup karena Indonesia melakukan beberapa kali pergantian formasi. Namun secara fokus mereka tentunya akan kelelahan jika harus terus menerus berada di tengah-tengah riuh kompetisi selama tiga minggu beruntun.

Selain itu, jika memang Super Series Finals dianggap sebagai target besar, setidaknya para pemain pun turut dibatasi untuk tidak bermain di ajang eksebisi terlebih dulu di tengah padatnya kegiatan mereka pada kompetisi resmi.

Pandangan-pandangan seperti itu memang kemudian akan mudah dipatahkan jika melempar argumen bahwa para pemain, terutama para pemain yang selalu jadi tumpuan target prestasi, butuh periode rileksasi dalam perjalanan karir mereka setiap tahunnya.

Dan periode rileksasi itu sepertinya memang terlihat pas untuk dilaksanakan pada akhir tahun, sebagai bentuk refreshing para pemain sebelum mereka kembali memulai musim baru dengan target-target baru pula. Pemenuhan kebutuhan rileksasi itu terasa semakin pas mengingat proses promosi-degradasi di Pelatnas Cipayung ada di pengujung tahun.

Fakta-fakta itu makin ditambah bahwa ajang Final Super Series masih bisa ‘dikesampingkan’ karena secara global, pamor dan reputasi ajang ini masih belumlah sebesar All England, Kejuaraan Dunia, ataupun Olimpiade meskipun turnamen ini bertajuk sebagai turnamen prestisius dengan delapan pebulu tangkis terbaik tahun ini sebagai pesertanya.

Kondisi-kondisi di atas jelas menggambarkan bahwa PBSI berada dalam sebuah titik keraguan di pengujung tahun ini. Di satu sisi mereka menetapkan bahwa Final Super Series sebagai salah satu target besar namun di sisi lain mereka juga sadar bahwa persiapan yang mereka lakukan untuk ajang ini pun tidak dalam bingkai idealnya sebuah persiapan menuju sebuah target besar.

PBSI harus paham, tidak semua hal akan berjalan sesuai keinginan mereka. Mereka bisa mencoret Final Super Series sebagai target besar mereka di masa depan jika memang ingin memberikan ruang rileksasi yang lebih besar kepada para pemain atau tetap menjadikan final super series sebagai target besar, namun tentunya dengan memberikan standar persiapan seperti pada layaknya turnamen berlabel target besar lainnya.

 

-Putra Permata Tegar Idaman-

Bayangan Piala Sudirman di Balik Axiata Cup

Axiata Cup telah usai dengan status Indonesia sebagai runner up lantaran kalah selisih poin melawan Thailand di partai final yang berakhir dengan skor 2-2.

Secara umum, Axiata Cup bukanlah ajang yang masuk sebagai bidikan besar dari PBSI tahun ini, namun bukan berarti kekalahan yang terjadi di ajang ini bisa diterima dengan lapang dada dan dimaklumi begitu saja.

Meski minus nomor ganda putri, setidaknya Axiata Cup juga merefleksikan bagaimana kekuatan terkini Indonesia jika berlaga di ajang beregu campuran. Hal ini menjadi menarik mengingat tahun 2015 mendatang, Indonesia akan menghadapi kejuaraan beregu campuran Piala Sudirman.

Pada ajang yang namanya diambil dari salah satu tokoh bulu tangkis Indonesia ini, Indonesia baru sekali merasakan manisnya gelar juara yaitu pada saat edisi perdana turnamen ini pada tahun 1989. Setelah itu, Indonesia harus puas menyaksikan Cina dan Korea bergantian memenangi turnamen ini dalam kurun waktu 25 tahun terakhir.

Berbicara mengenai persaingan nantinya, hasil di Axiata Cup jelas memaparkan sebuah kenyataan pahit, Indonesia kalah dari Thailand. Memang di partai final Indonesia tidak menurunkan dua wakil terbaik yang dimiliki saat ini, Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan dan Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir, namun titik permasalahan yang harus dicermati bukanlah pada sisi ini.

Toh nyatanya, tanpa menurunkan dua wakil tersebut, Indonesia tetap mampu meraih dua poin pada nomor ganda putra dan ganda campuran. Jikapun berandai-andai, mungkin Indonesia akan unggul selisih poin atas Thailand di babak final lalu jika Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana yang turun bermain pada babak final.

Namun, tetap saja, andai Indonesia mampu juara Axiata Cup dengan selisih poin pun, hal itu tidak akan menghapuskan keraguan yang akan mengiringi langkah Indonesia dalam persiapan menuju Piala Sudirman 2015.

Keraguan itu tidak lain bersumber pada seberapa besar kapasitas dan kemampuan para pemain tunggal putra dan tunggal putri Indonesia untuk menyumbang angka.

Untuk menghadapi ajang Piala Sudirman, peluang juara sebuah negara tentunya bergantung pada seberapa merata kekuatan yang dimilikinya. Semakin merata kekuatan negara tersebut di lima nomor, tunggal putra, tunggal putri, ganda putra, ganda putri, dan ganda campuran, maka semakin besar pula peluang negara tersebut untuk memenangi ajang ini.

Berkaca pada rumusan sederhana tersebut, maka Indonesia masih harus bekerja keras di beberapa bulan yang tersisa ke depan, utamanya di nomor tunggal putra dan tunggal putri, selain tentunya memperkokoh tiga nomor lainnya.

Di nomor tunggal putra, Indonesia kini memiliki Tommy Sugiarto dan Simon Santoso di pelatnas Cipayung dan Dionysius Hayom Rumbaka yang berada di luar pelatnas Cipayung saat ini.

Tommy sempat menunjukkan potensi menjanjikan beberapa waktu lalu, namun kemudian dirinya kembali menunjukkan performa yang labil dan inkonsisten. Terlihat bahwa Tommy pun belum sepenuhnya mampu mengemban tanggung jawab dan beban berlebihan yang datang pada dirinya. Pasca pergantian pelatih tunggal putra pada pertengahan tahun, Tommy pun sempat mengalami masalah komunikasi. Mungkin hal itu juga yang membuat Tommy masih beradaptasi sejauh ini.

Simon Santoso sempat membuat banyak orang berdecak kagum ketika dirinya dengan cepat bangkit dari keterpurukan pasca dicoret dari pelatnas Cipayung pada awal tahun ini. Namun sayangnya, begitu Simon memutuskan kembali ke Pelatnas Cipayung pada bulan Agustus, dirinya malah bernasib sial lantaran harus terkena demam berdarah dan tidak pernah bisa tampil maksimal di sisa tahun 2014 ini.

Hayom sendiri memang tampil mengesankan di Axiata Cup, namun menilik performanya di turnamen indvidu yang masih angina-anginan selepas dirinya keluar dari pelatnas, kecil kemungkinan Hayom bakal berperan sebagai andalan. Hal ini mendapat pengecualian jika Hayom ternyata mampu tampil trengginas di sisa beberapa bulan jelang turnamen berlangsung.

blog 1

Untuk nomor tunggal putri, Bellaetrix Manuputty dan Linda Wenifanetri sama-sama belum bisa menunjukkan performa memuaskan. Bahkan untuk sekedar membuat kejutan, hal itu semakin jarang mereka lakukan. Jika hal ini terus berlangsung hingga gelaran Piala Sudirman, maka bisa jadi nomor tunggal putri akan jadi kartu mati bagi Indonesia.

Bagaimanapun, dua nomor ini, tunggal putra dan tunggal putri harus segera berbenah. Pasalnya, dengan format normal Piala Sudirman yaitu Ganda Putra-Tunggal Putri-Tunggal Putra-Ganda Putri-Ganda Campuran, maka tunggal putra dan tunggal putri punya peran vital mengingat mereka bermain di dua dari tiga nomor awal.

Mereka harus bisa menjadi nomor yang bisa diandalkan dan dijadikan tumpuan. Karena bisa saja pada suatu kesempatan, nomor ganda putra yang bakal menjadi ujung tombak Indonesia gagal memenangi pertandingan dan di situlah peran pemain tunggal putri dan tunggal putra Indonesia diuji.

Secara umum, kualitas nomor ganda putri Indonesia saat ini lebih baik dibandingkan dengan kualitas ganda putri Indonesia pada ajang Piala Sudirman 2013 lalu. Karena itulah, sepertinya kemungkinan besar tidak ada lagi strategi memainkan Liliyana Natsir di dua nomor sekaligus agar nomor ganda campuran bisa maju sebagai nomor yang dimainkan di urutan pertama.

blog 2

Alasan pertama, karena Greysia Polii/Nitya Krishinda Maheswari sudah semakin solid sehingga sayang jika sampai harus dikorbankan. Yang kedua, Liliyana sudah semakin berumur sehingga sepertinya akan kesulitan jika harus bermain di dua nomor dalam satu pertandingan.

Memang membuat Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir menunggu di penghujung pertandingan adalah sebuah perjudian mengingat bisa saja kesempatan bagi mereka tak kunjung datang. Karena itu, lagi-lagi di sinilah perkembangan para pemain tunggal putra dan tunggal putri dalam waktu yang singkat ke depan benar-benar dinantikan.

Andai nomor tunggal putra dan tunggal putri bisa dipercaya menyumbang angka, maka setidaknya Indonesia bisa bernapas lebih lega. Para pemain dari nomor lainnya pun bisa lebih rileks dan tak bermain dengan beban berlebihan dan tuntutan harus terus menerus menyumbang angka yang boleh jadi akan membunuh ritme permainan mereka.

Dengan demikian, peluang untuk bisa menjadi juara Piala Sudirman benar-benar ada di depan mata, dan bukan hanya sebuah coretan prediksi di atas kertas yang berujung pada kesimpulan bahwa Indonesia sulit melakukannya karena tak memiliki kekuatan yang merata.

-Putra Permata Tegar Idaman-

Lee Chong Wei di Persimpangan Jalan

“Lee Chong Wei itu hebat. Pemain Malaysia lainnya tidak.”

Kalimat itulah yang diucapkan oleh seorang supir taksi di Malaysia saat penulis berkesempatan mengunjungi negara tersebut beberapa waktu lalu. Dari gayanya berbicara setelah itu, terlihat jelas bahwa pria tersebut mengikuti jelas perkembangan bulu tangkis di negerinya dan dunia secara global.

Menurutnya, kemunduran bulu tangkis Malaysia tidak lepas karena banyak pemain yang merasa tinggi hati dan cepat puas saat karir mereka mulai menanjak. Alhasil, mereka tidak benar-benar menjadi pemain bintang.

Dan sosok Lee Chong Wei inilah yang merupakan pengecualian dari sudut pandang si supir taksi tersebut. Dalam pendapatnya, semua pemain bulu tangkis di Malaysia sepatutnya meniru tingkah dan perilaku Lee Chong Wei. Meskipun Lee Chong Wei sudah lama menjadi pemain papan atas dunia, namun dia tidak pernah sombong dan berpuas diri. Ia selalu berlatih keras dan performa konsisten adalah hasil dan buah jerih payahnya selama ini.

Bagaimana besarnya kharisma Lee Chong Wei bisa dilihat dari banyaknya dukungan yang mengalir padanya saat bermain. Di Cina, walaupun ia adalah musuh besar Lin Dan, Lee Chong Wei tetap mendapat applause meriah di sana. Di Indonesia pun, tempat dimana rivalitas Malaysia-Indonesia terasa atmosfernya, Lee Chong Wei pun masih banyak mendapatkan dukungan saat turun bermain. Sungguh pemandangan langka dimana tidak semua pemain Malaysia bisa mendapatkannya.

Tidak hanya di dalam lapangan, di luar lapangan pun sosok Lee Chong Wei benar-benar merupakan sosok yang membumi. Di tiap perjumpaan dengan media, Lee Chong Wei selalu ramah dalam meladeni tiap pertanyaan-pertanyaan yang ada.

Lee Chong Wei adalah gambaran sosok yang nyaris ideal. Ia mampu berada di papan atas tunggal putra selama satu dekade dan meraih banyak gelar juara sepanjang karirnya. Di usianya yang sudah melewati 30 tahun, ia masih sulit untuk ditaklukkan. Mengalahkan Lee Chong Wei atau bahkan sekedar bermain imbang melawan dirinya masih menjadi cita-cita banyak pebulu tangkis muda di dunia ini.

Satu-satunya celah yang mungkin membuatnya disebut ‘nyaris ideal’ adalah lantaran ia belum pernah mengecap manisnya gelar Olimpiade dan juara dunia di antara puluhan gelar super series yang sudah dimenanginya, tak seperti dua rivalnya Taufik Hidayat dan Lin Dan yang sudah mampu melakukannya.

Meski demikian hal itu tidak lantas membuat kekaguman pada Lee Chong Wei menjadi surut. Ia tetap dipuja diidolakan oleh banyak anak kecil di dunia ini. Sosoknya merupakan cerminan bagi banyak orang untuk lebih termotivasi menjalani hidup ini. Gelar Dato pun didapat oleh Lee Chong Wei sebagai bentuk pengakuan negara terhadapnya

lcw

Sampai akhirnya, sebuah kabar mengejutkan itu datang sebulan lalu. Lee Chong Wei gagal dalam tes doping acak pada sampel A miliknya dan ternyata sampel B miliknya yang diuji pada pekan lalu tetap menunjukkan bahwa dalam diri Lee Chong Wei terdapat kandungan zat terlarang bernama dexamethasone.

———————

Berbalik ke belakang sejenak, pada era 2000-an terdapat sebuah sosok fenomenal dalam dunia olahraga balap sepeda bernama Lance Armstrong. Pria asal Amerika Serikat ini tujuh kali beruntun memenangi Tour de France, sebuah balapan sepeda jalan raya paling populer di dunia ini dalam periode 1999-2005.

Itu adalah kali pertama ada seorang pembalap sepeda yang mampu menjadi juara Tour de France selama tujuh tahun beruntun. Catatan itu semakin fenomenal melihat bagaimana latar belakang Lance Armstrong yang merupakan penderita kanker.

Kesuksesan Lance Armstrong menaklukkan kanker dan kemudian menjuarai Tour de France selama tujuh tahun beruntun adalah salah satu kisah fenomenal yang ada di dunia ini. Seorang biasa yang mampu survive dari kanker saja sudah merupakan seorang yang luar biasa hebatnya, apalagi jika seorang yang pernah divonis kanker testis stadium tiga mampu selamat dan kemudian menjadi juara Tour de France tujuh kali beruntun tentu merupakan seorang yang sangat luar biasa hebatnya.

Kesuksesan dan semangat juang Lance Armstrong benar-benar memotivasi banyak orang untuk tidak terus terpuruk dalam hidupnya. Jika Lance Armstrong saja mampu memenangi Tour de France, maka seharusnya semua orang punya kemungkinan untuk melawan ketidakmungkinan. Lance Armstrong benar-benar tokoh yang mampu membuat perubahan besar. Yayasan Amal miliknya Livestrong Foundation pun kebanjiran donatur. Semua membuka mata dan peduli terhadap gebrakan besar yang tengah dilakukan Armstrong pada dunia ini.

Namun cerita manis itu kemudian menjadi sebuah cerita yang menyakitkan hati bagi banyak orang. Bertahun-tahun setelah masa kejayaannya berlalu, USADA (Badan Anti Doping Amerika Serikat) menegaskan bahwa Lance Armstrong positif menggunakan doping dan mempublikasikan temuan-temuan baru mereka terkait hal ini pada tahun 2012 lalu.

Doping Lance Armstrong bukan cerita baru. Sepanjang karirnya, Lance Armstrong sering dikait-kaitkan dengan doping. Banyak kesaksian pembalap sepeda rekan setimnya dan juga para rivalnya yang menyebut Lance Armstrong melakukan doping. Namun semua itu terbantah karena Lance Armstrong tidak pernah terbukti positif doping dalam tiap tes yang dilakukan. Publik dunia makin bersimpati dan mendukung Lance Armstrong karena menganggap semua tudingan itu merupakan tudingan tak beralasan.

Untuk kasus 2012, masih banyak pihak yang berada di kubu Lance Armstrong. Mereka terus menyerang USADA, UCI, dan WADA yang dianggap mencoba merusak citra hebat Lance Armstrong. Keyakinan para fans dan pengagum Lance Armstrong itu terus bertahan sampai akhirnya Lance Armstrong buka suara di awal tahun 2013 dengan mengakui bahwa dirinya memang menggunakan zat doping sepanjang karirnya. Dia meminta maaf kepada publik dunia atas apa yang telah ia lakukan selama ini.

———————

Saat seseorang menjadi atlet, dia harus bisa menyadari bahwa dia berdiri di panggung itu bukan hanya untuk dirinya sendiri. Seperti halnya ilmuwan, seorang atlet bisa membuat perubahan besar pada dunia ini lewat torehan prestasi atau rekor yang telah dibuatnya.

Keberhasilan seorang atlet bisa menginspirasi banyak orang untuk bangkit dari keterpurukan dan berubah menjadi lebih baik. Pada pundak tiap atlet, banyak dititipkan mimpi-mimpi orang lain dalam hidupnya. Tak perlu dirinya sendiri yang mencapainya, banyak orang yang akan dengan sangat gembira jika atlet idolanya sukses mengukir prestasi yang luar biasa.

Atlet memang bukan sosok sempurna dimana tetap ada celah-celah kesalahan dalam tiap langkahnya. Namun untuk kategori doping, tentunya hal ini termasuk pelanggaran berat karena mencederai semangat sportivitas dan fair play. Banyak wajah yang akan kecewa dan berpaling jika atlet pujaannya ternyata berbuat curang untuk bisa mewujudkan mimpinya dan juga mimpi mereka.

Namun kasus doping sendiri tidak semudah menebak warna hitam dan putih di depan mata. Banyak hal yang bercampur di dalamnya dan terbagi dalam beberapa hal mulai dari kesengajaan, keteledoran, hingga ketidaktahuan.

Untuk kasus Lee Chong Wei, dalam tubuhnya ditemukan zat dexamethasone yang masuk dalam kategori steroid. Dengan terbukti positinya sampel A dan sampel B milik Lee Chong Wei, maka bisa dipastikan bahwa zat tersebut ada dalam jumlah yang banyak dalam tubuh pebulu tangkis nomor satu dunia tersebut.

Namun meski demikian, hitam-putih atas hal ini tetaplah belum jelas. Proses sidang atas kasus ini masih akan berlangsung. Kini, Lee Chong Wei ditunggu proses hearing atau pembelaan atas hasil tes yang menyatakan bahwa dalam kandungan tubuhnya terdapat zat doping.

Dari cerita Lee Chong Wei dan analisa BWF ini nantinya titik terang atas kasus ini akan semakin terlihat. Apakah Lee Chong Wei benar-benar dengan sengaja dan sadar menggunakan zat doping untuk mempertahankan performanya ataukah zat tersebut masuk ke dalam tubuhnya karena sebuah proses pengobatan terhadap Lee Chong Wei dalam beberapa bulan terakhir atau ada hal-hal lainnya di luar itu.

Sulit bagi sang atlet untuk mengelabui tim anti-doping karena hal itu berkaitan dengan zat-zat yang sudah barang tentu bukan merupakan ranah keahlian atlet. Akan ada ketidakcocokan alur nantinya jika seorang atlet coba memaksakan alibi yang tidak pernah benar-benar ia alami.

Entah bagaimana akhir dari cerita ini, tapi yang pasti akan banyak raut wajah kecewa dan hati yang terluka jika memang kemungkinan terburuk dari kasus Lee Chong Wei berakhir menjadi fakta. Bukan hanya publik Malaysia, melainkan juga penggemar bulu tangkis dunia. Karena seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, di pundak atlet, disematkan mimpi-mimpi banyak orang dan juga sebuah kepercayaan.

-Putra Permata Tegar Idaman-

Berapa Lama Senyum Imam Nahrawi Bertahan?

Senyum mengembang menghias wajah Imam Nahrawi di hari-hari awal pada pekan pertamanya setelah resmi ditunjuk sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga untuk masa bakti lima tahun mendatang. Semoga ekspresi itu tak lantas berubah 180 derajat hanya dalam waktu dekat setelah melihat lebih dalam permasalahan dunia olahraga Indonesia yang akan segera menjadi tantangan baginya.

Senin sore, Imam Nahrawi menjejakkan kaki ke Kantor Kementerian Pemuda dan Olahraga untuk pertama kalinya sejak dirinya berstatus sebagai Menpora. Dua hari berselang, di tempat yang sama, dirinya melakukan prosesi seremoni serah terima jabatan. Sehari setelah itu, Kamis, Imam Nahrawi langsung berkeliling ke beberapa tempat latihan atlet nasional.

Dalam hari-hari pertamanya, Imam Nahrawi selalu terlihat ceria. Ia seperti anak kecil yang baru saja dibelikan hadiah sepeda baru dan ingin segera mengeksplorasi serta terus menerus mengotak-atik sepeda barunya tersebut.

Pada tiap kesempatan, Imam Nahrawi selalu berucap bahwa dirinya akan mendengar masukan dari berbagai pihak tentang masalah yang ada di olahraga Indonesia saat ini. Janji ini setidaknya menepis kekhawatiran yang muncul sebelumnya bahwa dengan tidak memiliki latar belakang olahraga, maka Imam Nahrawi dikhawatirkan tidak mampu memajukan olahraga Indonesia.

Memang sebelumnya, penunjukan Imam Nahrawi untuk duduk di kursi Menpora lebih seperti perwujudan rasa terima kasih kepada partai-partai yang telah mendukungnya dalam koalisi pada Pemilihan Presiden lalu. Tidak diisi oleh orang profesional seperti pada beberapa kursi menteri lainnya, wajar kemudian ada asumsi bahwa sektor Pemuda dan Olahraga bukanlah sektor vital dalam Kabinet Jokowi pada periode lima tahun ke depan.

Pesimisme yang mengiringi kedatangan Imam Nahrawi ke Kantor Kemenpora inilah yang kemudian dijawab olehnya dengan senyum mengembang dan optimisme yang tidak berlebihan. Imam Nahrawi menyebutkan beberapa hal yang menjadi agenda besarnya namun tetap dalam koridor kesadaran dan kerendahan hati bahwa dirinya masih perlu banyak belajar.

Dengan demikian, maka perbedaan antara profesional yang sudah memiliki latar belakang dunia olahraga dengan orang baru yang mengaku masih harus banyak mendengar tentunya tidak akan terasa selebar yang dibayangkan.

Pada awalnya, mungkin orang yang selama ini sudah akrab dengan dunia olahraga akan terlihat lebih unggul jika dijadikan Menteri karena tidak banyak hal yang perlu dipelajari, namun pada akhirnya berbicara soal posisi Menteri bukan lagi sekedar berbicara pengetahuan tentang olahraga melainkan tentang keberanian mengambil keputusan setelah melihat situasi dan suasana yang ada.

Namun demikian jalan menuju pengakuan status bahwa dirinya adalah seorang Menteri Pemuda dan Olahraga yang hebat di pengujung masa jabatannya nanti boleh dibilang gampang-gampang susah. Terbilang gampang karena indikator suksesnya sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga adalah jika Indonesia lewat atlet-atletnya mampu berbicara di berbagai ajang olahraga tingkat internasional, bukan sebuah indikator yang ukuran suksesnya sulit dan abu-abu seperti pada beberapa sektor kementerian lainnya. Terbilang susah karena memang untuk mewujudkan hal itu kerja keras saja tidak cukup.

Setelah duduk di kursi Menteri Pemuda dan Olahraga pada beberapa minggu ke depan, nantinya mungkin Imam Nahrawi akan semakin menyadari bahwa persoalan olahraga di Indonesia saat ini ternyata lebih dalam dari yang mungkin pernah ia bayangkan. Banyak masalah yang bakal ia hadapi dalam hari-harinya sebagai Menpora nantinya.

menpora bulutangkis

Yang pertama, tentunya konflik Komite Olimpiade Indonesia (KOI) dengan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI). Konflik tubrukan wewenang dan tanggung jawab ini harus segera diselesaikan dan dicari jalan keluarnya dan Kemenpora harus bisa bertindak sebagai penengah dalam hal ini. Entah nantinya akan tetap berdiri sendiri-sendiri atau kembali bergabung menjadi satu organisasi yang tentunya harus mengubah Undang-Undang SKN tahun 2005, diharapkan perang dingin menjurus terbuka yang selama ini terjadi bisa segera dihentikan.

Pasalnya, jika KONI dan KOI saja berseteru, maka bukanlah hal yang mengherankan jika di setiap Pengurus Pusat (PP) atau Pengurus Cabang (Pengcab) ada banyak pertikaian. Dan inilah yang sudah terjadi di beberapa PP Cabor di Indonesia.

Kemelut akan bertambah panjang jika KOI dan KONI berseteru karena pihak-pihak dari PP Cabor akan kebingungan mencari tempat untuk mengadukan masalah. Jika pihak A mengadu kepada KONI bukan tidak mungkin pihak B meminta dukungan pada KOI sehingga konflik yang ada malah kemudian menjadi berlarut-larut.

Jika konflik di salah satu PP Cabor terus terjadi, tentunya ini akan berdampak langsung pada proses pembinaan atlet. Waktu yang seharusnya mereka gunakan untuk menyusun program, akhirnya malah dihabiskan untuk berdebat memperebutkan kekuasaan.

Lebih lanjut, Imam Nahrawi pun mesti melihat kalender ajang multi event yang terbentang hingga empat tahun ke depan. Memang benar, bahwa ajang Asian Games 2018 yang merupakan puncak unjuk kemampuan olahraga Indonesia mengingat ajang tersebut akan diselenggarakan di rumah sendiri dan berada di ujung periode kepemimpinan Imam Nahrawi.

Namun hal itu kemudian tidak lantas membuat Indonesia harus melupakan Olimpiade Rio de Janeiro pada tahun 2016. Bagaimanapun, Olimpiade adalah ajang multi event tertinggi dan sudah sepantasnya tetap menjadi prioritas utama Indonesia.

Bagaimana Indonesia melihat seberapa penting Olimpiade 2016 nantinya bisa dilihat dari cara Indonesia memperlakukan pelatnas angkat besi di tahun 2015. Dengan tidak dipertandingkan di SEA Games 2015 di Singapura, menarik dilihat apakah pemerintah masih akan menunjang dan mendukung program angkat besi dengan baik dan memastikan kontinuitasnya tetap berjalan.

Angkat besi adalah salah satu dari sedikit cabang olahraga yang mampu menyumbangkan medali emas di Olimpiade. Sudah sepatutnya cabang ini mendapat keistimewaan terlebih terbukti di Olimpiade terakhir saat bulu tangkis gagal memberikan medali, angkat besi sukses menyelamatkan muka Indonesia lewat torehan satu perak dan satu perunggu. Karena itu kontinuitas pelatnas angkat besi tahun ini adalah harga mati. Jangan sampai hanya dengan alasan ‘prioritas cabang olahraga di SEA Games 2015’ membuat angkat besi terpinggirkan karena itu artinya Pemerintah akan memperbesar resiko hampa medali di Olimpiade 2016 mendatang.

Untuk bulu tangkis yang juga menjadi andalan di Olimpiade, rasanya Imam Nahrawi tidak akan mengalami kendala besar karena pelatnas bulu tangkis sudah berjalan dengan baik tanpa kendala dana. Satu-satunya yang mesti cermat dilakukan Imam Nahrawi adalah bentuk dukungan nyata berupa kehadiran dan dorongan moril secara berkala yang tentunya membuat para pemain bulu tangkis merasa semakin diharapkan untuk berprestasi.

Kontinuitas kompetisi dalam negeri tentu kemudian menjadi salah satu hal yang masih menjadi pekerjaan rumah bagi Indonesia. Tak mungkin akan lahir atlet-atlet hebat jika roda kompetisi di dalam negeri tidak berputar dengan baik.

Sepak bola misalnya. Indonesia pun masih kesulitan untuk menggerakan laju sepak bola di negeri ini menjadi sebuah industri. Salah satu contoh kecil dari belum sehatnya kompetisi di Indonesia adalah perihal gaji telat dibayar atau bahkan tak dibayarkan hingga musim kompetisi selesai.

Hal itu tak lepas dari minimnya kesadaran klub-klub di Indonesia yang terlalu tinggi mengukur kemampuan diri. Mereka berani menjanjikan nominal rupiah dalam jumlah besar sementara pemasukan pun masih jauh api dari panggang. Masalah-masalah itu masih harus ditambah sejumlah masalah lain seperti kualitas wasit yang belum mumpuni, pemain yang kurang menjunjung tinggi fair play, dan pelaksana dan pengawas liga yang terkadang membuat aturan yang membingungkan.

Dalam tahap berproses menuju olahraga industri, NBL Indonesia dan Proliga juga turut ambil bagian di dalamnya. Namun lantaran menggunakan sistem seri, maka klub-klub peserta kompetisi di dalamnya masih sulit untuk menemukan cara bagaimana mendapat pemasukan selain dari dana pemilik klub dan sponsor yang jumlahnya masih tak seberapa.

Pada kompetisi profesional, tentunya peran pemerintah sudah sangat minim karena kompetisi tersebut sudah bisa bergerak dengan sistemnya sendiri. Namun dalam proses transisi, peran pemerintah pastinya diharapkan sebagai jembatan menuju ke arah sana.

Untuk olahraga lainnya yang masih jauh dari kata industri olahraga, pemerintah sepatutnya harus bisa mendorong agar kejuaraan nasional, kejuaraan antar daerah, dan kejuaraan tingkat di bawahnya bisa berlangsung secara intensif. Karena dari kompetisi yang konsisten inilah bibit-bibit pemain hebat bisa lebih mudah didapatkan.

Menarik lingkup lebih luas, Imam Nahrawi juga harus bisa mendorong agar kondisi Indonesia dalam menghadapi persiapan sejumlah multi event tidak lagi seperti yang sudah terjadi. Dana untuk program pelatnas yang sering telat, uang saku bulan Maret yang baru dibayar bulan Juni, peralatan latihan yang baru datang jelang pertandingan, adalah deret-deret masalah yang harus siap dihadapi dan diselesaikan oleh Imam Nahrawi.

Asian Games 2018 memang masih empat tahun lagi, namun persiapannya mesti benar-benar dilakukan sejak saat ini. Bukan hanya sekedar mengacu pada hasil, melainkan pula pada sistem manajemen persiapan menghadapi ajang multi event yang lebih baik lagi nantinya.

Percuma jika Indonesia bisa mencapai target masuk lima besar di Asian Games 2018, namun manajemen persiapan atlet menuju tiap ajang multi event masih berantakan dan tidak terpola dengan baik. Karena warisan pembentukan manajemen, proses persiapan, dan perilaku negara terhadap atlet akan jauh lebih berharga dan bisa bertahan lebih lama.

Sejauh mana senyum optimisme Imam Nahrawi bisa bertahan menghadapi kumpulan masalah di dunia olahraga Indonesia saat ini, biar waktu yang memberikan sendiri jawabannya.

menpora 1

-Putra Permata Tegar Idaman-

Saat Tontowi/Liliyana Masuk Jalur Lambat

Tidak ada yang aneh dengan kuda yang bisa berlari dengan cepat di alam bebas karena kuda memang memiliki karakteristik seperti itu dan orang secara umum pun kemudian menganggap hal itu sebagai sebuah hal yang jamak dan lumrah.

Jika suatu hari, ada kura-kura yang mampu berlari dengan cepat, maka itu akan menjadi sebuah hal yang luar biasa sampai pada akhirnya hal itu kemudian menjadi biasa setelah kura-kura tersebut mampu berulang kali melakukannya.

Sebuah hal luar biasa yang dilakukan berulang-ulang kemudian terkadang menjadi sebuah hal biasa dan lumrah untuk terjadi. Dan itulah yang kiranya sedang dialami oleh Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir.

Setelah gagal menjadi juara atau bahkan sekedar meraih medali di Olimpiade 2012, Tontowi/Liliyana sejatinya telah sukses menampilkan pertunjukan balas dendam yang sangat memukau. Pada 2013, mereka memenangi dua titel terbesar yang ada pada tahun itu, yaitu All England dan Kejuaraan Dunia. Puja-puji bahwa Tontowi/Liliyana kali ini adalah sosok yang berbeda kemudian mengalir.deras.

Masuk ke tahun 2014, pujian terus mengalir seiring keberhasilan Tontowi/Liliyana mampu menyabet gelar juara All England untuk ketiga kalinya secara beruntun. Namun sayangnya, setelah menang di Singapura Super Series, lemari trofi Tontowi/Liliyana tak lagi kedatangan trofi juara.

Gagal menuntaskan ambisi untuk menjadi juara di rumah sendiri pada ajang Indonesia Super Series Premier, Tontowi/Liliyana malah justru harus menerima nasib buruk harus terparkir selama tiga bulan lantaran cedera kaki yang dialami oleh Tontowi dalam masa persiapan mereka di Australia Super Series.

Lantaran cedera itu pula, Tontowi/Liliyana harus melupakan ambisi mereka untuk mencoba mempertahankan gelar juara dunia yang mereka miliki. Mereka harus rela menjadi penonton di layar televisi dan menyaksikan bagaimana rival-rival mereka selama ini berebut trofi juara tanpa kehadiran mereka di sana.

Melewatkan Kejuaraan Dunia 2014, harapan tetap ditumpukan oleh Tontowi/Liliyana agar mereka mampu mendapatkan medali emas di Asian Games. Publik berharap absennya mereka dari arena pertandingan selama tiga bulan bisa jadi dorongan dan penambah rasa lapar untuk meraih trofi juara.

Dan mungkin hal itu kemudian yang membuat publik melupakan atau mencoba mengacuhkan bahwa Asian Games adalah turnamen perdana Tontowi/Liliyana pasca sembuh dari cedera. Jelas tidak mudah menemukan ritme permainan terbaik di turnamen perdana pasca cedera terlebih turnamen tersebut adalah turnamen dengan tensi yang sangat tinggi.

Namun ternyata Tontowi/Liliyana mampu melakukannya dengan baik atau hampir melakukannya dengan baik bagi sebagian orang. Tontowi/Liliyana sukses melaju ke babak final Asian Games dengan mengesankan namun sayangnya mereka takluk dengan mudah di tangan Zhang Nan/Zhao Yunlei di babak final.

Bagi sebagian orang, performa Tontowi/Liliyana di babak final Asian Games sangatlah mengecewakan. Mungkin mereka bisa menerima jika Tontowi/Liliyana harus kalah, namun tentunya dengan cara yang tidak semudah hari itu.

Mungkin ada yang mereka lupa bahwa ada hari dimana mereka mendapat ‘bad day’ dan bermain jauh di bawah kemampuan terbaik mereka. Dan sayangnya, hari itu ternyata datang bertepatan dengan babak final Asian Games lalu. Hal itu bukan berarti kemampuan mereka kalah jauh dari Zhang Nan/Zhao Yunlei saat ini, melainkan mereka gagal menerapkan strategi yang tepat saat itu dan kemudian menjadi tertekan sepanjang pertandingan. Belum lagi faktor bahwa Asian Games adalah turnamen perdana setelah tiga bulan mereka tak pernah turun bertanding sama sekali.

Tak bisa dimungkiri, Tontowi/Liliyana jelas merupakan satu dari sedikit pemain yang dipunyai Indonesia yang tampil hebat saat ini. Hal itu bisa dilihat dari torehan prestasi mereka selama ini. Tahun ini, mereka tidak pernah terhenti sebelum babak semifinal jika mengikuti sebuah turnamen. Kegagalan terakhir Tontowi/Liliyana masuk semifinal di turnamen super series adalah pada turnamen Prancis Super Series 2013 lalu.

Seperti yang sudah tertulis di atas, ada kecenderungan hal-hal luar biasa akan terlihat menjadi biasa jika terus terjadi selama berulang-ulang dan konsisten. Seperti dalam dua turnamen super series terakhir Tontowi/Liliyana di Eropa, Denmark dan Prancis. Kemenangan Tontowi/Liliyana di Prancis pun terlihat sangat biasa dan sewajarnya.

Dengan adanya harapan Tontowi/Liliyana bisa terus menjadi andalan hingga Olimpiade Rio de Janeiro 2016 mendatang, memang mutlak kiranya PBSI perlu melakukan terobosan terhadap perkembangan ganda ini.

AG 23

Pasalnya, Tontowi/Liliyana tak berdiri sendiri sebagai penguasa nomor ganda campuran. Zhang Nan/Zhao Yunlei, Xu Chen/Ma Jin, dan Joachim Fischer Nielsen/Christinna Pedersen berdiri sejajar bersama mereka sebagai penguasa nomor ini. Konsistensi Tontowi/Liliyana memang sudah teruji dengan selalu masuk semifinal, namun tetap saja mereka harus bertarung mati-matian di fase akhir melawan musuh-musuh besar mereka yang juga selalu tampil konsisten dan sulit dikalahkan oleh ganda campuran lainnya di luar ganda empat besar.

Ide untuk melepaskan sejenak duet Tontowi/Liliyana di Hong Kong Super Series mendatang rasanya bukan sebuah ide yang buruk untuk dicoba. Hal itu tidak lain karena selama ini Tontowi/Liliyana selalu datang dengan instruksi dan tekad untuk berlari sekencang-kencangnya di lintasan perlombaan.

Dengan tidak lagi berpasangan untuk sementara, Tontowi dan Liliyana nantinya bisa sejenak melepaskan diri dari beban dan tuntutan untuk selalu berprestasi di tiap turnamen yang diikuti.

Bersama Debby, Tontowi mungkin bisa lebih banyak belajar dan berperan sebagai pemain yang lebih senior di lapangan setelah selama ini Tontowi lebih berperan sebagai ‘sosok junior’ bersama Liliyana. Tontowi dituntut lebih bertanggung jawab di lapangan dan membimbing Debby.

Sementara itu Liliyana juga mungkin akan mendapat banyak pelajaran tambahan saat berpasangan dengan Praveen. Jika Liliyana telah terbukti sukses membimbing Tontowi, kini saatnya Liliyana membuktikan dalam satu turnamen ini bahwa ia juga merupakan sosok hebat yang fleksibel dan tetap mampu memberikan performa hebat saat berpasangan dengan Praveen yang merupakan ‘anak kemarin sore’ di Pelatnas Cipayung. Bersama Praveen, Liliyana juga dituntut untuk lebih sabar dalam bersikap di lapangan dibandingkan ketika ia berduet bersama Tontowi.

Menariknya, semua tantangan dan pelajaran ini akan didapat Tontowi dan Liliyana tanpa diiringi oleh beban untuk berprestasi. Berlabel “duet coba-coba” maka mereka akan bermain dengan leluasa dan tanpa beban berlebihan.

Tontowi dan Liliyana selama ini sudah terus berlari dan bertarung di jalur cepat dan dituntut untuk terus berprestasi. Tidak ada salahnya jika mereka diberi sedikit waktu untuk menepi. Agar mereka bisa saling merefleksi diri untuk kemudian kembali berlari ke jalur cepat dan berlomba untuk menjadi yang terhebat lagi.

-Putra Permata Tegar Idaman-

Mengerti Batas Ambisi dan Ilusi

Senyum semringah menghias wajah Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Indonesia Roy Suryo saat melepas para atlet untuk berjuang di ajang Asian Games 2014 bulan September lalu. Dengan penuh percaya diri, Menpora menyebut sembilan emas menjadi target yang diemban oleh kontingen Indonesia yang siap lepas landas menuju Incheon, Korea Selatan.

Di balik kerasnya ucapan Amin yang mengiringi pernyataan Menpora, tentunya ada tanya yang lebih keras darimana rumusan target sembilan emas tersebut berasal. Pasalnya, berharap target sembilan emas itu bisa terwujud lebih sulit daripada sekedar berharap turunnya hujan deras tanpa didahului oleh pekatnya mendung. Batas antara ambisi dan ilusi pun mengapung seiring dengan mengudaranya target sembilan emas yang dibawa oleh kontingen Indonesia.

Pelepasan 1

Menilik prestasi Indonesia di ajang Asian Games dari tahun ke tahun, tentunya munculnya target sembilan emas menjadi sebuah hal yang patut ditanyakan dasarnya. Catatan medali emas terbanyak bagi Indonesia ada di tahun 1962 saat Indonesia menjadi tuan rumah dimana ketika itu Indonesia meraih 11 emas. Di luar itu, torehan terbaik Indonesia ada di tahun 1978 dimana Indonesia meraih 8 medali emas.

Walaupun kemudian ada argumen bahwa medali emas yang diperebutkan saat ini jumlahnya jauh lebih banyak dibandingkan dekade 1960-an dan 1970-an, 400-an medali emas berbanding 200-an medali emas sehingga mungkin itu nantinya diharapkan berbanding lurus, hal itu justru semakin menunjukkan kemunduran prestasi olahraga Indonesia di kancah persaingan Asia.

Pasalnya semenjak era ketersediaan medali emas di kisaran 400-an, Indonesia hanya mampu meraup paling banyak empat medali emas di tahun 2002 dan 2010 serta dua medali emas di tahun 2010. Banyaknya jumlah medali emas yang diperebutkan kemudian nyatanya tidak signifikan dengan perolehan emas Indonesia.

Semua fakta sejarah yang ada sejatinya pun kemudian bisa dikesampingkan untuk menegaskan bahwa target sembilan medali emas di Asian Games 2014 ini bukanlah sebuah hal yang main-main. Namun kemudian ketika pernyataan ini diuji oleh fakta di lapangan tentang persiapan menuju Asian Games ini yang tak sesuai harapan.

Andaikata persiapan Asian Games ini adalah persiapan jangka panjang yang sudah dirumuskan sejak jauh-jauh hari, tentunya target sembilan emas kemudian menjadi lebih masuk akal. Namun yang terjadi adalah persiapan para atlet masih akrab dengan kalimat telatnya uang saku, suplemen dan nutrisi yang tidak tercukupi, belum turunnya peralatan latihan, belum adanya peralatan pertandingan, dan beberapa hal lainnya yang jelas mengganggu fokus dan konsentrasi.

Dalam pesta olahraga antar bangsa seperti Asian Games ini, jelas pemerintah tidak bisa serta merta berharap pada tekad mengharumkan nama bangsa dan rasa nasionalisme yang terpatri dalam dada para atlet. Yakinlah, atlet di Indonesia memiliki semua hal itu namun kemudian nasionalisme dan tekad mengharumkan nama bangsa tidaklah menjadi istimewa karena atlet dari negara lainnya pun memiliki hal yang serupa. Ketika tekad mengharumkan nama bangsa sama besar, tentunya pemenang dari persaingan kembali ditentukan oleh kemampuan dari hasil persiapan yang matang. Secara umum, atlet dengan persiapan yang lebih matang tentunya lebih berpeluang besar untuk menang.

Alhasil, Asian Games selesai dengan torehan empat medali emas di tangan. Capaian ini terbilang gagal jika mengacu pada target bombastis yang dikumandangkan saat keberangkatan, namun kemudian capaian ini menjadi luar biasa ketika Indonesia merefleksi pada fakta bagaimana mereka menyiapkan atlet-atletnya.

Atlet sudah berusaha memberikan yang terbaik bagi bangsa walaupun hasilnya sejauh ini belum memuaskan. Begitu kalimat yang sering menjadi kalimat penghias di balik melesetnya target pada sebuah nomor. Atlet memang sudah berusaha memberikan yang terbaik, namun hal itu kemudian tidaklah cukup karena perangkat negara tidak memberikan yang terbaik untuk mendukung para atletnya di pesta olahraga ini.

Saya bertanggung jawab dan meminta maaf atas kegagalan ini. Itu kalimat susulan yang kemudian mengikuti kalimat pada awal paragraf sebelumnya. Sekedar tanggung jawab tentunya tidak cukup karena kemudian yang lebih dibutuhkan adalah kesadaran dan petikan pelajaran yang bisa diambil dari kejadian ini.

Dalam beberapa tahun terakhir, persiapan para atlet menuju ajang multi event tak pernah lepas dari kendala. Dana dukungan pemerintah untuk olahraga yang jumlahnya terbatas itu kemudian makin tak bisa diharapkan menjadi penolong karena berbelit-belitnya proses pencairan. Alhasil, tiap cabang olahraga harus memutar otak bagaimana program yang mereka susun bisa tetap berjalan tepat waktu di saat dana yang diperlukan tidak datang tepat waktu. Masalah itu sudah sangat familiar dan akrab di telinga namun belum juga ditemukan solusi dan jalan keluarnya.

Berbicara Asian Games, empat tahun lagi Indonesia menjadi tuan rumah pesta olahraga bangsa Asia ini. Dua sukses sudah pasti akan kembali dibidik, yaitu sukses penyelenggaraan dan sukses prestasi. Untuk sukses prestasi, Indonesia nantinya tentu akan berharap pada keistimewaan status tuan rumah.

Ada 36 cabang olahraga yang akan dipertandingkan pada Asian Games nanti dimana 28 cabang olahraga adalah cabang olahraga Olimpiade, 5 cabang olahraga regional (Asia Tenggara), dan 3 cabang olahraga yang merupakan hak prerogatif OCA (Olympic Council Asia) dimana tuan rumah mendapatkan jatah untuk memilih satu cabang olahraga yang bisa dijadikan andalan meraih emas.

Dengan gambaran itu, maka setidaknya Indonesia minimal bisa mendapatkan dua cabang olahraga yang diyakini bisa menjadi tambang emas, yaitu lewat jalur prerogatif tuan rumah dan lewat jalur cabang olahraga regional.

Namun sebelum berbicara lebih jauh kesana, dalam tiga tahun ke depan ada tiga multi event penting yaitu SEA Games 2015 di Singapura, Olimpiade 2016 di Rio de Janeiro, dan SEA Games 2017 di Kuala Lumpur. Dengan paket empat multi event tersebut, harusnya tiap PB Cabang Olahraga mulai bisa menyusun program jangka panjang hingga empat tahun ke depan namun tentunya semua itu baru akan berjalan dengan baik jika ada dukungan total dari pemerintah, baik itu lewat penyediaan dana APBN ataupun upaya mendorong pihak swasta untuk terlibat. Namun jika kondisi persiapan masih sama dengan yang sudah berlalu, maka marilah mengulang cerita yang sama atau bahkan lebih buruk dibandingkan gelaran multi event sebelumnya.

-Putra Permata Tegar Idaman-

Indonesia U-19, Harapan dan Kewajaran

Sudah satu tahun terakhir, pemberitaan sepak bola lokal didominasi oleh tim nasional Indonesia U-19. Sebuah fenomena yang unik karena anak-anak muda berusia belasan ini mampu mengalahkan pamor para senior-seniornya, baik itu tim nasional U-23 maupun tim nasional Indonesia dalam hal pemberitaan dan daya tarik publik.

From zero to hero adalah alasan mengapa Indonesia U-19 akhirnya menjadi idola banyak orang dalam setahun belakangan. Mereka berangkat dengan status bukan siapa-siapa, namun perlahan tapi pasti mampu unjuk gigi dan akhirnya sukses menjuarai Piala AFF U-19 pada 2013 lalu.

Hal ini jelas berbeda dengan tim senior mereka. Tim senior diisi oleh sosok-sosok yang sudah dikenal oleh banyak orang namun akhirnya selalu berujung pada nihil prestasi di setiap keikutsertaan mereka pada tiap event, baik itu event level dunia, Asia, atau bahkan Asia Tenggara.

Gaya permainan yang menarik yang diperagakan oleh para pemain Indonesia U-19 makin membuat cinta itu melekat dalam tiap hati orang Indonesia yang melihatnya. Peragaan umpan satu-dua yang rapi, organisasi tim yang jelas, dan kecendurangan bermain ofensif menjadi alasan-alasan penguat cinta itu.

evan dimas

Namun kemudian yang terjadi adalah over dosis pujian dan perlakuan. Porsi pemberitaan di media terkait tim nasional ini pun sangat berlebihan. Bahkan untuk tur nusantara mereka saja stasiun televisi rela melakukan kontrak kerja sama demi bisa mengcover perjuangan Evan Dimas dan kawan-kawan selama tampil di lapangan.

Penulis kemudian kembali terkenang pada momen 18 tahun lalu. Ketika itu, penulis duduk di depan layar televisi menyaksikan tayangan Olimpiade cabang olahraga sepak bola. Nigeria, negara asal Afrika sukses meraih medali emas cabang olahraga sepak bola dengan mengalahkan Argentina yang lebih diunggulkan di babak final. Tidak hanya itu, di babak sebelumnya, Nigeria juga sukses mengempaskan Brasil yang juga masuk dalam daftar unggulan.

Banyak yang kemudian menganggap bahwa sukses Nigeria di Olimpiade itu adalah salah satu tanda bahwa mereka nantinya bakal berjaya di ajang Piala Dunia seiring makin matangnya para pemain muda macam Nwankwo Kanu, Jay-Jay Okocha, Taribo West, Tijani Babangida, Sunday Oliseh, Celestine Babayaro, dan lain-lainnya.

Euforia di Nigeria sendiri tentunya pasti tak kalah besar menghadapi sukses ini. Namun yang kemudian terjadi adalah mereka dibenturkan oleh kenyataan pahit. Generasi yang disebut generasi emas ini tak mampu menorehkan prestasi di Piala Dunia. Pada ajang Piala Dunia 2002 enam tahun kemudian, Nigeria yang dimotori para pemain jebolan Olimpiade 1996 saat usia mereka matang ini gagal di babak penyisihan. Brasil yang hanya mendapat perunggu di Olimpiade Atlanta malah sukses meraih status juara dunia dengan nama Ronaldo, Roberto Carlos, dan Rivaldo yang menjadi barisan pesakitan di Atlanta menjadi andalan.

Cerita dan fantasi publik Nigeria walaupun akhirnya tidak terwujud terasa lebih logis dibandingkan dengan kondisi yang ada di Indonesia saat ini. Ketika itu tim junior Nigeria sudah sukses menjuarai Olimpiade yang merupakan panggung internasional, sementara Indonesia saat ini jelas masih sangatlah jauh dari sebuah harapan akan datangnya generasi emas di masa datang.

Boleh saja permainan memikat umpan pendek dari kaki ke kaki disertai pergerakan cepat masih terlihat dominan saat menjalani tur nusantara dan beberapa uji coba internasional, namun celah bagi Indonesia U-19 akhirnya jelas terlihat saat menjalani try out terakhir ke Tanah Spanyol. Di tengah pressing ketat lawan, Indonesia U-19 kesulitan mengembangkan pola permainan mereka.

Satu hal lain yang tak juga penting untuk diingat, tahun lalu Indonesia U-19 bermain di Indonesia, di tengah dukungan publik yang pastinya memberi motivasi ekstra. Status belum dikenal makin membuat mereka termotivasi untuk bisa mengukir prestasi tinggi-tinggi.

Sementara itu saat ini reputasi Indonesia U-19 sudah diakui oleh publik Tanah Air. Seperti sinar terang yang selalu diikuti hadirnya bayangan, iringan dukungan dan doa yang mengalir tentunya disertai oleh beban untuk berprestasi yang tak kalah besar. Indonesia U-19 baru melakukan sebuah langkah maju tahun lalu namun ekspektasi banyak orang sepertinya berada pada posisi lebih jauh di depan.

Satu kesimpulan yang harus diingat adalah ketika keberhasilan lolos ke semifinal dan mendapat tiket Piala Dunia kembali menjadi milik Indonesia U-19 di Myanmar nanti, patut kiranya untuk tidak membuat euforia terhadap hal tersebut semakin membesar.

Jika Indonesia U-19 mampu lolos ke Piala Dunia U-20 tahun depan, memang langkah menuju mimpi menjadi lebih dekat dibandingkan sebelumnya namun tetap saja jalan menuju prestasi dunia yang digaungkan beberapa orang masihlah tetap sejauh mata memandang. Indonesia U-19 masih harus bersaing dengan negara-negara kuat di belahan dunia ini nantinya untuk membuktikan kualitas mereka. Itu pun baru dalam tataran memperebutkan status tim terbaik di kelompok umur di bawah 20 tahun yang artinya mereka masih terkurung dalam beberapa batasan dan tidak benar-benar menjadi yang terbaik di dunia ini.

Pun jika Indonesia U-19 nanti gagal di Myanmar, janganlah buru-buru kemudian mengecap generasi ini sebagai generasi gagal yang tak mampu menjaga harapan. Piala AFC U-19 hanyalah bagian dari proses pematangan para pemain ini, karena finalisasi hasil yang benar-benar bisa dibanggakan nantinya tetaplah ketika mereka sudah membela tim nasional di level senior.

Biarkan Evan Dimas dan kawan-kawan berusaha dan berjuang sekuat tenaga di lapangan, sambil kita terus menyadarkan diri bahwa ini bukanlah turnamen hidup-mati bagi mereka. Perjalanan mereka masih panjang dan masih terlalu cepat untuk mengambil kesimpulan tentang mereka setelah Piala AFC U-19 nantinya berakhir, baik itu berakhir dengan suka maupun berakhir dengan duka.

-Putra Permata Tegar Idaman-