Pembalasan Dendam Pasti Lebih Menyakitkan

Atmosfer di Gyeyang Gymnasium begitu meriah dan panas. Teriakan-teriakan yang ada di dalamnya merupakan energi ekstra bagi Lee Yong Dae/Yoo Yeon Seong. Dukungan penuh  publik tuan rumah jelas menjadi dorongan penambah semangat bagi mereka. Skor di lapangan sendiri sedang memunculkan angka 11-9 untuk keunggulan Lee Yong Dae/Yoo Yeon Seong di game ketiga.

Bagi Lee Yong Dae/Yoo Yeon Seong, kemenangan di depan publik sendiri pada ajang Asian Games tentunya merupakan sebuah keberhasilan yang lebih besar dibandingkan kesuksesan mereka menjadi ganda putra nomor satu dunia ataupun sederet gelar individu yang mereka kumpulkan setahun belakangan ini.

Namun Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan yang berdiri di seberang net pun berdiri dengan alasan serupa. Mereka siap menjegal ambisi Lee Yong Dae/Yoo Yeon Seong karena ambisi ganda Korea itu sama halnya dengan ambisi mereka dan tak mungkin keduanya bisa terwujud dalam sebuah kesempatan yang sama.

Meski suara untuk Indonesia di Gyeyang Gymnasium itu terbilang merupakan suara minoritas dari suara mayoritas yang mengelukan dukungan untuk Korea, namun Ahsan/Hendra paham bahwa di seberang laut jauh sana, banyak rakyat Indonesia yang berharap pada mereka. Dalam sejarah Asian Games, lagu Indonesia Raya bukanlah lagu kebangsaan Republik Rakyat Cina yang puluhan kali atau bahkan ratusan kali diputar. Emas bagi Indonesia jelas terasa lebih mahal nilainya karena Indonesia tak punya banyak atlet papan atas berlabel juara.

Dan pertarungan sengit adalah hasil dari berbenturannya dua ambisi yang sama antara Lee Yong Dae/Yoo Yeon Seong dan Ahsan/Hendra. Saat Hendra terjatuh dan tak mampu menjangkau bola dari Yoo Yeon Seong yang mengubah skor menjadi 14-12 untuk keunggulan pasangan Korea itu, meledaklah tepuk tangan dan teriakan dukungan di Gyeyang Gymnasium.

Tetapi ketika Lee Yong Dae dan Yoo Yeon Seong bergantian membuat kesalahan yang membuat Ahsan/Hendra berbalik unggul17-16, giliran suara-suara minoritas dari pendukung Indonesia yang memecah keheningan.

Saat Yoo Yeon Seong sukses menyamakan kedudukan menjadi 17-17, semua tahu bahwa pertandingan akan segera mencapai klimaksnya. Karena itulah kedua ganda setuju untuk sesaat mengambil jeda guna bersiap menghadapi momen-momen akhir pertandingan.

Dan ternyata momen menegangkan yang sudah diyakini bakal terjadi oleh banyak orang itu hanya sekelebat berlalu. Ahsan dan Hendra bergantian menyumbang poin lewat peragaan permainan cepat yang mengejutkan Lee Yong Dae/Yoo Yeon Seong. Kedua ganda Korea ini seolah tak diberi waktu untuk kembali menarik napas dan mengatur fokus. Empat poin berhasil diraih oleh Ahsan dan Hendra dalam sekejap sekaligus memastikan raihan emas kedua bagi Indonesia di ajang Asian Games kali ini.

Merah Putih berkibar dan Indonesia Raya kembali berkumandang di Incheon, dari tempat yang sama, setelah sehari sebelumnya Greysia Polii/Nitya Krishinda Maheswari menjadi lakon utama. Kini giliran Ahsan dan Hendra yang berdiri tegak dengan sikap hormat. Tatapan mata mereka tajam seirama bibir mereka yang bergerak menyanyikan Indonesia Raya mengiringi naiknya bendera Merah Putih ke posisi tertinggi. Ahsan/Hendra berdiri di tengah dua ganda Korea yang disebut-sebut sebagai salah satu kekuatan terbaik nomor ganda putra saat ini. Sungguh sebuah pemandangan yang menjengkelkan bagi tuan rumah dan tentunya indah bagi para pendukung Indonesia.

Ahsan Hendra

Sukses Ahsan/Hendra kali ini jelas lebih spektakuler dibandingkan sukses mereka menjuarai All England tahun ini. Saat itu, Ahsan/Hendra boleh dibilang merupakan favorit kuat dalam perlombaan menuju gelar juara. Memenangi All England merupakan sebuah hal yang tidak akan mengherankan banyak orang.

Namun tidak demikian untuk Kejuaraan Dunia kali ini. Ahsan/Hendra datang ke Asian Games dengan fakta bahwa mereka bukanlah favorit utama lantaran beberapa alasan. Yang pertama Asian Games adalah turnamen perdana Ahsan/Hendra sejak bulan Juni lalu. Artinya ada waktu kosong tak bertanding selama tiga bulan yang dialami oleh Ahsan dan Hendra. Hal ini jelas menyulitkan karena mereka datang ke Incheon tanpa pegangan ritme pertandingan yang cukup.

Yang kedua adalah kondisi Ahsan yang mengalami masalah pada pinggangnya sehingga memaksa duet ini harus absen dari Kejuaraan Dunia dimana mereka berstatus sebagai juara bertahan. Jelas tidak mudah datang dengan target tinggi pada turnamen perdana pasca cedera.

Yang ketiga tentunya faktor unggulan. Dalam Asian Games ini, posisi Ahsan/Hendra kalah favorit jika dibandingkan dengan Lee Yong Dae/Yoo Yeon Seong. Faktor tuan rumah plus keunggulan head to head menjadikan pasangan Korea ini berada pada posisi di depan Ahsan/Hendra dalam jabaran kekuatan di atas kertas.

Namun pada akhirnya hitungan dan prediksi di atas kertas buyaroleh semangat pantang menyerah yang ditunjukkan oleh Ahsan/Hendra di lapangan. Hendra sukses mendapatkan medali emas Asian Games keduanya sementara Ahsan kini bisa mengecap kalungan emas di lehernya untuk pertama kalinya.

Ada banyak alasan bagi Ahsan dan Hendra untuk gagal di Asian Games kali ini, namun yang jelas mereka punya satu alasan kuat untuk bisa berhasil di laga ini, yaitu demi Merah-Putih dan demi harumnya nama bangsa Indonesia di Asia. Hal lain yang bisa jadi penguat alasan tersebut mungkin adalah bahwa mereka harus menunggu empat tahun lagi jika gagal kali ini.

Dan kalimat pembalasan dendam pasti lebih menyakitkan jelas tergambar pada momen ini. Lee Yong Dae/Yoo Yeon Seong boleh selalu dominan di laga-laga sebelumnya atas Ahsan/Hendra, termasuk di Indonesia Super Series Premier bulan Juni lalu dimana ketika itu ganda Korea tersebut memastikan nihil gelar Indonesia usai membekap Ahsan/Hendra di partai terakhir. Namun, kemenangan Ahsan/Hendra atas mereka di Incheon dalam ajang Asian Games tentu akan berbekas selamanya dalam diri Lee Yong Dae/Yoo Yeon Seong.

Sukses Ahsan/Hendra di Asian Games ini juga merupakan sebuah pesan kuat bahwa mereka belumlah tenggelam. Memang grafik penampilan mereka sempat menurun namun itu bukanlah sebuah pergerakan konstan karena Ahsan/Hendra selalu optimistis bahwa grafik performa mereka akan kembali menjulang ke atas dan Asian Games ini jadi contoh paling tepat.

Menariknya, selepas ini Ahsan dan Hendra akan pergi ke seri turnamen Eropa pada bulan depan untuk mengikuti Denmark Super Series Premier dan Prancis Super Series. Setelah nantinya mereka berpasangan di Denmark, Ahsan dan Hendra akan dipecah di Prancis. Hendra bakal berpartner dengan Rian sementara Ahsan akan berpasangan dengan Angga.

Pemecahan ini sepertinya hanya bersifat sementara guna merangsang perkembangan Angga dan Rian yang selama ini boleh dibilang stagnan dan sulit untuk menapak ke level berikutnya sebagai ganda putra papan atas dunia.

Meski demikian, perpisahan sementara ini pun juga berguna bagi Ahsan dan Hendra. Dengan berpisah sementara, mereka berdua bisa melepaskan diri sejenak dari tekanan sebagai pasangan andalan dan menambah variasi gaya bermain. Dan ketika nantinya Ahsan dan Hendra kembali bersatu sebagai pasangan, tentunya mereka diharapkan makin solid dan makin variatif. Seperti yang telah ditulis sebelumnya, banyak alasan bagi Ahsan/Hendra untuk gagal, namun Ahsan/Hendra pasti akan berpaling dari jalan itu, karena itu bukan jalan dari Ahsan dan Hendra.

Putra Permata Tegar Idaman

Emas Greysia/Nitya, Kemenangan Ganda Putri dan Kemenangan Indonesia

GPNK

I don’t mind if I might seem like going slowly, as long as I know I’m on the right track and keep moving ahead. Sooner or later my dreams do come true.

Kalimat itu pernah terpampang dalam halaman profil akun twitter milik Greysia Polii, entah sejak dan sampai berapa bulan yang lalu, tidak tahu tepatnya.

Bersama Nitya Krishinda Maheswari, duet Greysia/Nitya merupakan ujung tombak Indonesia pada nomor ganda putri dalam dua tahun terakhir. Berpasangan pada 2009, Greysia dan Nitya sempat berpisah sebelum akhirnya kembali bersatu pada tahun 2013.

Tidak seperti halnya dengan empat nomor lainnya, tunggal putra, tunggal putri, ganda putra, dan ganda campuran, nomor ganda putri boleh dibilang adalah nomor yang penuh dengan pemakluman jika menggunakan kata halus, atau nomor yang paling dianggap sulit berprestasi dan disepelekan jika memilih kalimat penuh terus terang.

Sejak Cina ikut turun berkompetisi di bulu tangkis dunia pada era 1980 (untuk Asian Games mereka sudah ikut berkompetisi di era 70-an) para ganda putri Indonesia memang menghilang dan seolah tersembunyi dalam bayang-bayang kebesaran Cina. Tak seperti empat nomor lainnya yang pernah melahirkan sosok hebat meskipun Cina datang, ganda putri Indonesia terbukti sulit bersaing dan gagal mengoleksi gelar-gelar besar meskipun sejumlah nama masuk dalam jajaran ganda putri papan atas.

Pemakluman atau penganggapan remeh kemampuan nomor ini untuk berprestasi makin menjadi manakala fakta sejarah menunjukkan bahwa memang bukan hanya Indonesia saja yang mengalami kesulitan untuk meredam Cina, tetapi juga negara-negara kuat bulu tangkis lainnya. Denmark, Malaysia, Jepang boleh saja memiliki pemain andalan di nomor lainnya namun tidak untuk menggoyahkan dominasi Cina di event-event penting.

Sebagai gambaran, hanya Korea yang bisa memberikan riak-riak kecil terhadap supermasi Cina di nomor ini. Melihat grafik prestasi di dua ajang multi event, Asian Games dan Olimpiade, serta Kejuaraan Dunia, dalam tiga dasawarsa terakhir tergambar jelas bahwa Cina begitu dominan di nomor ganda putri.

Kegagalan Cina di nomor ini pada tiga turnamen tersebut sejak tahun 1990, tercatat hanya ada pada Olimpiade 1992 yang dimahkotai oleh Hwang Hye-young/Chung So-young, Asian Games 1994 yang dimenangkan oleh Shim Eun-Jung/Jang Hye-Ock, Kejuaraan Dunia 1995 yang dijuarai Gil Young-ah/Jang Hye-ock, dan Asian Games 2002 yang direbut oleh Ra Kyung-min/Lee Kyung-won.

Hanya ada empat momen dimana Cina gagal menjadi pemenang dan sebaliknya sejak tahun 1990-2012, ganda putri Cina selalu meraih medali emas pada 23 kesempatan dengan rincian Asian Games 4 kali, Olimpiade 5 kali, Kejuaraan Dunia 14 kali. Yang lebih mengerikan, ganda putri Cina tak pernah gagal memenangi Asian Games, Kejuaraan Dunia, dan Olimpiade pasca kegagalan terakhir mereka di Asian Games 2002.

Berkaca dari hal-hal itulah, jalan Greysia/Nitya sebagai ujung tombak ganda putri begitu berat dan berliku. Misi Greysia/Nitya untuk bisa menjadi pemain juara mungkin boleh dikatakan menjadi misi paling mustahil dibandingkan misi yang sama untuk empat nomor lainnya. Cina punya Lin Dan namun kesulitan untuk menemukan regenerasi yang sepadan, namun tidak demikian halnya dengan ganda putri. Nama-nama baru terus datang dengan kualitas yang tak kalah dengan seniornya. Sebagai ganda yang tergolong kenyang pengalaman, Greysia/Nitya sendiri pastinya menyadari betapa dalamnya materi ganda putri Cina dan kehebatan regenerasi yang mereka miliki.

Karena itu pada momen jelang keberangkatan menuju Asian Games ini pula, Greysia/Nitya pun berangkat dengan target sewajarnya dan semampunya sesuai pandangan banyak orang terhadap mereka. Kalungan medali perunggu ketika mereka pulang sudah dianggap sangat menggembirakan dan lebih dari cukup.

Tercatat sebagai pemain 10 besar dunia dengan performa yang terbilang konsisten tahun ini di seri turnamen BWF masih belum cukup meyakinkan karena Greysia/Nitya justru tampil terbebani dalam ajang-ajang besar seperti Piala Uber 2014 dan perempat final Kejuaraan Dunia 2014 dimana mereka tinggal selangkah lagi bisa meraih medali perunggu. Catatan kegagalan mereka menjuarai SEA Games yang selevel Asia Tenggara di pengujung 2013 menjadi catatan tambahan bahwa Greysia/Nitya seperti sulit keluar dari tekanan saat kesempatan emas ada di depan mata.

Namun untuk kali ini, Greysia/Nitya sepertinya sukses untuk menghapus bayang-bayang buruk terhadap kegagalan saat kesempatan emas datang dan mengonversi kegagalan-kegagalan di masa lalu tersebut sebagai suntikan motivasi untuk menampilkan yang terbaik di Asian Games kali ini. Greysia/Nitya paham bahwa kerja keras selama latihan saja tidak akan mampu membawa kemenangan jika tidak diimbangi oleh kepercayaan diri dan kengototan saat tampil di arena pertarungan.

Dan momen Greysia serta Nitya bersorak kegirangan, bergulingan di lapangan, dan berpelukan dengan pelatih boleh jadi momen yang jarang ditemukan jika dibandingkan dua nomor ganda lainnya, ganda putra dan ganda campuran yang sudah sangat sering menampilkan adegan-adegan seperti itu. Tingkat keharuannya pun kemudian terasa menjadi lebih tinggi.

Kegagalan demi kegagalan yang ada pada Greysia/Nitya pun seolah terbayar dengan kemenangan kali ini. Kalimat yang pernah terpampang di laman profil Greysia Polii itu tak lagi sekedar kata-kata mutiara melainkan juga merupakan deret kalimat yang sudah teruji keabsahannya.

Momen kemenangan Greysia/Nitya sendiri kemudian menjadi terasa sangat pas ketika melihat perjalanan kontingen Indonesia secara keseluruhan. Mengumandangkan target sembilan medali emas sebelum keberangkatan, Indonesia nyatanya malah belum mendapat medali emas ketika Asian Games sudah sepekan berjalan. Harap-harap cemas pastinya mulai kuat bergema seiring dengan tumbangnya satu per satu atlet yang diharapkan mampu memberikan suka cita. Dan tak dinyana, emas pertama yang sudah ditunggu-tunggu Indonesia yang diiringi debut naiknya Merah-Putiih dan berkumandangnya Indonesia Raya di Incheon justru datang dari nomor ganda putri, nomor yang tidak masuk target proyeksi medali emas dalam berbagai paparan ataupun ulasan serta analisa para pakar.

Kemenangan Greysia/Nitya ini juga merupakan kemenangan nomor ganda putri Indonesia secara keseluruhan karena mereka kini bisa tersenyum ada torehan emas dalam perjalanan sejarah mereka yang sebelumnya kering prestasi dalam tiga dasawarsa terakhir. Kemenangan yang sangat membanggakan karena Greysia/Nitya menang di ajang Asian Games dimana persaingan antar-negara terasa lebih kuat dibandingkan saat turnamen individu yang reguler diadakan.

Lalu bagaimana jika ada anggapan dan opini yang menyebut bahwa sukses Greysia/Nitya ini sebagai sebuah kebetulan, keberuntungan, atau keajaiban? Silahkan ajukan jawaban berupa fakta bahwa Greysia/Nitya mendapat kalungan medali emas setelah mereka secara beruntun mengalahkan tiga unggulan teratas karena tentunya sulit berharap keberuntungan akan datang pada orang yang sama pada tiga hari beruntun plus sebelumnya mereka mampu dengan gigih bertahan saat tertinggal 17-20 dari Cheng Wen Hsing/Hsieh Pei Cheng pada sebuah game penentuan. Tetapi sepertinya akan lebih menarik jika kita biarkan Greysia/Nitya sendiri yang menjawab pertanyaan itu, bukan dengan kata-kata, melainkan dengan gelar-gelar bergengsi lainnya setelah ini. Semoga.

-Putra Permata Tegar Idaman-

‘The Power of Kepepet’ yang Tak Sempurna

Di Indonesia ada sebuah istilah bernama ‘The Power of Kepepet’ yang berarti kemampuan seseorang atau sekelompok orang mengeluarkan nilai-nilai terbaik dalam diri mereka yang bahkan di luar batas maksimal yang mereka perkirakan. ‘The Power of Kepepet’ akan membuat mereka-mereka yang tengah dalam kondisi terdesak, baik terdesak waktu maupun ruang, secara ajaib dan mengaggumkan mampu menyelesaikan tuntutan yang ada dan mengarah pada diri mereka.

‘The Power of Kepepet’ inilah yang kemudian diharapkan bisa muncul dalam pasukan Merah-Putih saat mereka dilepas untuk berangkat ke Kejuaraan Dunia Bulu Tangkis dua pekan lalu. Syarat untuk munculnya kekuatan magis bernama ‘The Power of Kepepet’ pun sudah berada di tangan.

Tidak adanya Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan dan Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir adalah sebuah indikasi kuat bahwa posisi Indonesia memang tengah berada dalam situasi yang tidak nyaman dan terjepit. Tanpa juara bertahan, peluang Indonesia untuk kembali meraih medali emas di Kejuaraan Dunia ini pun berubah menjadi sangat tipis.

Dalam kondisi normal, para pemain di luar Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana jelas belum siap untuk memikul beban target juara. Dalam rekam jejak para pemain tersebut, mereka belum mampu bersaing dengan para jagoan dari negara-negara lainnya.

Namun lantaran ini adalah kondisi kritis dimana Indonesia tak lagi bisa berharap pada Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana, maka kemudian muncullah optimisme bahwa pemain-pemain lainnya justru kini bisa menunjukkan kemampuan terbaik mereka. Momen itu menjadi momen terbaik dimana mereka bisa membuktikan bahwa Indonesia bukan hanya memiliki Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana. ‘The Power of Kepepet’ diharapkan hadir dan memberikan senyum untuk Indonesia.

Kejuaraan Dunia pun dimulai dan para pemain level utama macam Tommy Sugiarto, Angga Pratama/Rian Agung, Greysia Polii/Nitya Krishinda Maheswari, dan Praveen Jordan/Debby Susanto pun maju menghadapi satu per satu lawan yang mengadang.

Babak demi babak mampu mereka lewati dan akhirnya mereka semua sukses menapak ke fase delapan besar. Kesuksesan sementara ini makin menggembirakan dengan adanya bonus berupa munculnya Anggia Shitta Awanda/Della Destiara di babak perempat final.

Publik jelas tak berharap muluk. Mereka tetap realistis dalam meminta dan bagi mereka lolos ke semifinal sudah merupakan sebuah pencapaian yang memuaskan bagi para pemain level utama di luar Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana. Dengan masuk empat besar, maka mereka setidaknya sudah bisa memastikan medali perunggu di tangan sambil tetap memiliki kesempatan untuk mengubah warna medali yang nanti akan dikalungkan.

Lima wakil di perempat final tentu akan menggembirakan jika semuanya bisa menjejak ke babak semifinal. Namun bagi penulis, bisa meloloskan dua dari lima wakil tentu masih termasuk harapan yang wajar.

Sayangnya, kemudian harapan itu tidak terwujud. Angga/Rian, Greysia/Nitya, dan Praveen/Debby kalah dalam ‘partai hidup-mati’ menuju babak semifinal. Anggia/Della pun tak mampu melanjutkan kejutan mereka dan harus berpuas diri bahwa capaian mereka hanya sampai di babak ini.

Tommy sendirian berdiri di babak semifinal dan bila Tommy mampu melangkah lebih jauh, maka setidaknya kesedihan lantaran hanya memiliki satu wakil di babak semifinal akan tertutupi. Namun ternyata semifinal adalah fase terakhir dimana Tommy bisa bertahan.

tommy pbsi

copyright : badminton indonesia

Satu medali perunggu jelas merupakan sebuah kemunduran dibandingkan torehan dua medali emas tahun lalu. ‘The Power of Kepepet’ yang diharapkan bisa menaungi perjalanan Indonesia di turnamen ini, ternyata muncul dengan tidak sempurna. Semangat unjuk gigi dan pembuktian diri terasa mengiringi hingga babak perempat final namun setelah itu ‘The Power of Kepepet’ tak cukup untuk mendatangkan lebih banyak tiket menuju babak semifinal dan kepastian medali perunggu di tangan.

Waktu memang telah memberikan banyak kelonggaran bagi para pemain utama Indonesia untuk terus menempa diri dan memaklumi ketertinggalan. Kini, saatnya pemain-pemain utama Indonesia harus bangkit dan berlari dari kejaran waktu yang mulai mengancam di belakang. Tommy, Angga/Rian, Greysia/Nitya, Praveen/Debby, dan pemain lainnya harus bisa membuktikan diri dan membuktikan pada waktu bahwa mereka pun bisa berada pada level yang sejajar dengan pemain-pemain top dunia lainnya.

Tommy telah membuktikan semangat dan daya juang yang tangguh sewaktu menghadapi Chen Long. Ke depannya, ia harus menjaga performa seperti laga semifinal kemarin sebagai standar terendah dalam level permainannya agar dirinya bisa terus bersaing dengan pemain-pemain top lainnya.

Untuk Angga/Rian situasinya memang kemudian menjadi dilematis. Dengan kegagalan maju ke semifinal, maka Angga/Rian terus melanjutkan inkonsistensi mereka dalam beberapa tahun belakangan. Angga/Rian sudah sejak lama diharapkan bisa menjadi ganda tangguh Indonesia berikutnya namun mereka kesulitan untuk meningkatkan performa. Di pertengahan tahun, pasangan ini sendiri sempat mendapat ultimatum andai tak jua menunjukkan prestasi.

Namun pemecahan Angga/Rian juga sepertinya solusi yang tak mudah untuk dilakukan mengingat saat ini nama-nama lain di pelatnas juga sudah memiliki pasangan dan umur pasangan tersebut belumlah terlalu lama.

Bagi Greysia/Nitya apa yang mereka tampilkan di Copenhagen sudah sangat bagus termasuk aksi mereka menyingkirkan ganda tuan rumah unggulan kedua Christinna Pedersen/Kamilla Rytter Juhl. Sayangnya aksi impresif Greysia/Nitya kemudian seolah tak berbekas karena mereka tak bisa keluar dari tekanan ganda Jepang di babak perempat final.

Ke depannya, Greysia/Nitya harus bisa lebih mempertahankan konsistensi permainan mereka di level terbaik, bukan hanya dari turnamen ke turnamen, melainkan juga dari babak demi babak dalam turnamen yang mereka ikuti.

Untuk Praveen/Debby, mereka sepertinya masih butuh waktu untuk bisa menarik keluar seluruh potensi terbaik dari kolaborasi mereka berdua sebagai pasangan. Belum genap setahun mereka berpasangan jadi memang semestinya masih banyak ruang kosong untuk meningkatkan kemampuan.

Setelah ‘The Power of Kepepet’ yang tak sempurna di Kejuaraan Dunia kali ini, besar kiranya harapan bahwa momen seperti ini tidak boleh terulang lagi di event-event penting pada tahun-tahun mendatang. Pemain-pemain di lapis utama diharapkan bisa selekasnya menaikkan level permainan mereka. Sehingga nantinya andai Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana kembali berhalangan hadir, setidaknya wakil-wakil lainnya bisa benar-benar berdiri sebagai pemain dengan status andalan dan harapan. Dengan demikian Indonesia tak lagi harap-harap cemas dan akhirnya menggantungkan peluang pada munculnya magis bernama ‘The Power of Kepepet.’

 

Putra Permata Tegar Idaman

Terima Kasih TopSkor!

topskor 5

Jumat, 29 Agustus 2014. Menyusuri rute Pluit menuju Bekasi. Tanah telah basah karena hujan baru saja turun dengan derasnya. Dalam sepinya jalanan, kemudian terpapar jelas bahwa rute inilah yang enam tahun telah dilewati. Dan ke depannya, jalan ini tidak akan lagi menjadi jalan yang akrab untuk dilewati setiap harinya.

Kepingan-kepingan kenangan lama pun hadir bergantian seiring laju roda yang bergerak pelan karena memang ku menghendakinya demikian. Kenangan pertama saat mencari lokasi kantor ini di pengujung 2007 untuk keperluan skripsi bersama Endah Lestari. Diiringi dengan jeda di warung minum sebanyak 3-4 kali, tibalah kami di Pluit. Sebelum momen ini, hanya dua kali aku menjejakkan kaki di tanah Pluit, pertama saat pergi servis ke bengkel menemani kerabat dan kedua adalah saat ingin menyelesaikan tugas kampus di Pulau Seribu.

Dan ternyata, kantor TopSkor di Pluit itu akhirnya tidak hanya kudatangi untuk keperluan skripsi. Tak disangka, garis jodoh kami lebih panjang dari sekedar urusan tugas akhir kuliah. Sebulan setelah kuliah usai, TopSkor menghubungiku dan menyatakan bahwa aku diterima bekerja di sana. Tawaran itu datang hanya satu jam lebih cepat dari telepon media lain kepadaku setelahnya. Andai saja media lain tersebut yang lebih dulu menelepon, mungkin jalan ceritanya bakal berbeda. Namun begitulah mungkin yang dinamakan jodoh, tak bakal hilang karena sudah digariskan.

Aku pun akhirnya resmi menjadi wartawan di TopSkor. Dengan usia 22 tahun, aku adalah wartawan termuda di kantor ini dan status itu bertahan hingga dua tahun lamanya sebelum Paundra Jhalugilang datang dan tentunya juga lantaran usiaku yang semakin tua. Belum pernah kulupa betapa bahagianya pada saat namaku terpampang di halaman koran, di atas berita yang kutulis saat kubaca koran TopSkor dengan status sebagai karyawan di sana pada keesokan harinya.

Pada awal kerja di TopSkor, kekuatan fisik mutlak perlu kujadikan senjata andalan. Maklum, jarak sepanjang 90 km pergi-pulang bukanlah termasuk sebuah jarak kantor yang ideal. Belum lagi jika mesti harus ditambah tugas-tugas liputan sebelum tiba di kantor. Variasi Bekasi-Cipayung-Pluit, Bekasi-Senayan-Pluit, Bekasi-TB.Simatupang-Pluit, Bekasi-Lebak Bulus-Pluit adalah sedikit variasi jalan yang pernah kulakukan selama enam tahun belakangan.

Jarak 90 km pergi-pulang di luar jarak menuju lokasi liputan memang terbilang jauh, namun kemudian secara psikologis bisa menjadi jauh lebih dekat. Semakin waktu berlalu, ada magnet kuat yang seolah bisa membuat jarak tempuh makin singkat. Kehangatan di kantor dan canda tawa yang ada di sana membuat perjalanan ke kantor akhirnya mulai bermetamorforsis, dari sebuah kewajiban menjadi keinginan. Setiap usai liputan, ingin rasanya selekasnya ke kantor untuk bekerja dalam balutan tawa dan suka-ria dan itulah yang makin kurasakan.

Jalinan pertemuan yang berubah menjadi pertemanan itu pun berkembang menjadi pertalian persahabatan. Dunia kerja yang kualami ini ternyata masih menawarkan persahabatan, layaknya dunia-dunia sebelumnya yang pernah kukenal. Dan kami, para wartawan-wartawan muda yang ada di kantor ini pun saling menopang untuk sama-sama berkembang. Ruang kecil di kantor lama seolah sesak oleh ide dan harapan kami tentang sudut pandang mengenai berbagai hal yang ada di kehidupan.

Kini enam tahun telah berselang, dan seperti bagaimana awal kami dipertemukan, garis jodoh dengan TopSkor sepertinya harus berakhir di sini. Kalimat ‘Don’t cry because it’s over, smile because it happened’ terus berulang-ulang kali kuteriakan dalam pikiran saat mengambil keputusan untuk berbeda jalan dan turun dari rombongan kantor ini.

Meski demikian, ternyata tetap ada air mata yang menetes di kalimat perpisahan. Sedih karena harus pergi meninggalkan tempat ini, namun di balik itu juga ada bahagia karena aku punya ikatan yang dalam dengan kantor ini. Enam tahun yang kuhabiskan di sini tak hanya sia-sia dengan hubungan kerja semata.

Dan tentunya terima kasih tak terhingga pada rekan-rekan yang sudah naik derajat menjadi sahabat dan saudara bagiku, baik yang saat ini masih berada di TopSkor maupun yang sudah lebih dulu pergi dan memulai babak baru dalam hidupnya. Semua memiliki kesan mendalam sebagaimana akan kuabadikan di sini :

Ahmad Bachrain

Kami memanggilnya Kapten. Usia tak mencerminkan kelakuan dan ini yang tergambar darinya. Meskipun dia lebih tua dari umur kami kebanyakan, tetapi hal itu tidak lantas membuatnya menjadi bijak. Dia hanya bisa bijak, atau mungkin lebih tepatnya mencoba bijak jika ada sebatang rokok menyala di tangannya.

Partner liputan lapangan pertamaku di Indonesia Open 2008. Menguasai banyak topik pembicaraan sehingga kadang seperti gabungan orator ulung dan agen MLM. Susah liputan pagi dan paling mesra dengan telepon kantor karena bisa berjam-jam bercengkrama hingga membuat yang lain bersabar menunggu giliran.

Lily Indriyani Sukmawati

Partner desk paling lama selama bekerja di TopSkor, mungkin hampir empat tahun bersamanya dan entah sudah berapa banyak makanan miliknya yang berada dalam perut ini. Banyak liputan khusus yang sudah dijalani bersama, dari liputan khusus yang menantang hingga liputan khusus yang seru dan mengasyikkan.

Walaupun berada dalam casing perempuan, soal ketahanan fisik kakak Lily tak ubahnya seperti laki-laki. Jarang sakit dan jarang bolos. Kata-kata ‘Monyet’ adalah salah satu kata mesra dari Kakak Lily untuk memanggil kami semua. Tidak ada yang marah dengan kata-kata itu karena marah berarti hilang sudah satu tiket masuk ke mejanya untuk mengambil cemilan secara gratis.

Rizky Nurmansyah

Teman satu angkatan kuliah yang akhirnya harus skripsi di tempat yang sama dan terdampar di tempat yang sama pasca lulus. Selalu tertawa jika mengingat kejadian dan proses bagaimana gue dan Rizky bisa masuk dan jadi karyawan di kantor TopSkor.

Karena pemikirannya lebih dewasa dibanding anak-anak lainnya sepertinya, makanya ia lebih suka berkumpul dan ngobrol bersama orang-orang tua. Agak kasihan juga ngeliat Rizky dituduh udah nikah diem-diem oleh beberapa orang hanya karena perubahan bentuk tubuhnya yang jauh lebih subur dibandingkan pada awalnya. Hahahaha..

Muhammad Rais Adnan

Semua memanggilnya Tuan Muda. Ucapannya adalah perintah dan perkataannya adalah titah. Entah dilandasi faktor turunan Raja atau memang dalam darahnya mengalir sel keegoisan yang kuat, setiap ucapan Rais memang selalu berkesan memberi perintah. Tentunya ucapan Rais tersebut bukan lantas dituruti oleh yang lainnya melainkan hanya menjadi bahan tertawaan dan candaan.

Selain Tuan Muda, julukan Rais lainnya adalah Robonews, yaitu teknologi robot yang dibuat untuk mencari berita tanpa kenal lelah. Julukan Robonews makin klop saat Rais datang dengan Astrea Grand Limited Edition, dimana saat ini di dunia hanya Rais dan pemilik Honda saja yang memilikinya.

Paundra Jhalugilang

Bintang sepak bola Tim TopSkor yang sejak kedatangannya sukses menaikkan derajat permainan tim lawak ini meskipun berpenampilan seperti kutu buku. Jadi aktor utama saat TopSkor juara Piala Ngabuburit namun sayangnya tak lagi menjadi bagian dari tim saat TopSkor berjaya di Standard Chartered Cup.

Selain sepak bola, Popon juga dikenang dengan celetukan ‘mas-mas pegawai Robinson’ lewat ucapan ‘yak baju atasan ini lagi promo dan dipilih-dipilih’ sambil memainkan irama musik dari speaker milik Surya. Penggalan lagu Agnes ‘Getaran di Hatiku yang Haus akan Belaianmu’ pun akan selalu mengingatkanku pada sosoknya saat dengan ekspresif saat menghayati lagu tersebut.

Surya Sumirat

Juragan Angkot atau Surya Si Pemarah adalah julukan anak satu ini. Sebagai warga Tangerang pertama yang menjejakkan kaki di Pasar Pluit, Surya adalah salah satu sosok andalan untuk liputan antar kota antar propinsi dimana dia sukses melakukan perjalanan rutin Tangerang-Cibubur-Pluit. Jika sudah gandrung pada satu hal, maka Surya akan fokus untuk berada dalam hal terdepan tentang hobi barunya itu, mulai dari pelihara landak sampai merakit sepeda fixie.

Di kantor lama, Surya adalah penyedia jasa speaker dan musik gratis. Jika ada teman yang berulang tahun, maka sepanjang hari playlist nya akan diisi dengan lagu-lagu ulang tahun, mulai dari versi anak-anak yang riang gembira hingga versi horor mencekam yang entah siapa yang menyanyikannya.

Xaveria Yunita

Kakak dalam wujud adik. Gaya berpakaian kakak Xave setiap berangkat kerja seperti anak-anak orang kaya di daerah Pluit yang baru saja pulang dari les piano atau berenang. Sehingga kami kadang khawatir kakak Xave jadi sasaran pelaku penculikan anak-anak saat berjalan menuju halte busway tiap malam selepas kerja.

Jika ada Petugas Depnaker datang ke kantor, maka Kakak Xave sebaiknya harus bersembunyi karena dikhawatirkan nantinya kantor terkena tuduhan memperkerjakan anak di bawah umur. Partner tetap nongkrong di warung indomie dan selalu terdepan dalam urusan gosip, baik itu sebagai sumber berita maupun pemburu berita.

Juprianto Alexander Sianipar

“Apalah kita ini bro?” itu kalimat andalan Jupri ketika sedang dilambung-lambungkan perasaannya oleh rekan-rekan lainnya. Jupri telah dikenal sebagai si raja sial bersaing dengan raja midas. Jika apa yang disentuh raja midas berubah jadi emas, maka tim apapun yang dipilih Jupri akan kalah. Gelar Premier League Manchester City yang didapat lewat dua gol injury time adalah bukti sahih kesialan Jupri yang ketika itu sudah bernyanyi-nyanyi ‘Glory Glory Man.United’ dan yakin MU yang bakal jadi juaranya.

Meski demikian Jupri tetaplah sosok yang baik. Kakinya telah berulang kali menjadi pendorong roda motorku saat rutin mogok bulanan. Jarak Pluit sampai Pancoran tentu bukan jarak yang dekat, tetapi bagi Jupri yang terbiasa berolahraga, mendorong motor teman sampai jarak itu bukanlah masalah!

Adyaksa Vidi Wirawan

Bertubuh kurus dan pada awal masuk TopSkor tidak pernah makan dan minum membuat teman-teman lain bertanya ritual apa yang sedang dijalaninya. Dari segi penampilan, gaya Vidi masih seperti remaja SMA kebanyakan, sehingga kadang terlalu seperti ‘adik bungsu’ jika berjalan di rombongan kami. Lama kelamaan, Vidi menjadi sparring partner-ku dalam upaya memperlancar Javanese Conversation. Sebelum bertemu Vidi, skill bahasa jawa ku mungkin ada di elementary 3 dan setelah berjumpa dengannya, kini naik hingga fase intermediate 2.

Menghabiskan waktu bersama meliput ASEAN Paragames 2011 di Solo dan sampai-sampai harus menginap di rumahnya dan menjalankan rencana darurat. Rumahnya di Pancoran pun sering jadi tempat singgah jika kami pulang larut malam dan liputan pagi sudah melambai-lambai dari kejauhan.

Hendry Wibowo

Terapis Pria nomor 99, begitulah julukan Hendry Wibowo karena tingkahnya yang sering menjamah pinggul rekan-rekan lainnya. Walaupun sering jadi sasaran kemarahan Surya, namun Hendry yang juga sama-sama berasal dari Tangerang ini selalu ikhlas menerimanya. Dengan potongan rambut anak SMP baru naik kelas, Hendry sukses bersaing dengan Vidi sebagai karyawan dengan tampang sok dimuda-mudain di TopSkor.

Semboyan paling terkenal dari Hendry adalah cari pacar yang berasal dari daerah yang sama dan baginya kota di luar Tangerang sudah termasuk LDR.  Tas selempang khas tukang kredit selalu dibawa setiap saat, entah apa isinya. Jadi orang paling bahagia saat TopSkor juara futsal Standard Chartered dengan mencium trofi berulang-ulang, padahal hanya trofi plastik. Momen bersejarah Maradona cium trofi Piala Dunia pun kalah dengan itu.

Rizki Haerullah

Alternatif imam shalat di luar Tuan Muda Rais Adnan.  Walaupun masih muda, tapi kayaknya lebih mateng daripada umurnya. Buktinya paling berani nikah muda dibandingkan anak-anak lainnya yang ada di kantor TopSkor.

Agak pendiam kalau dibandingkan dengan anak-anak lainnya yang kelakuannya ajaib-ajaib. Yaa kadang juga becanda walaupun kadang becandaannya suka gak jelas. Karena umurnya masih lebih muda dibandingkan anak-anak yang lain, maka Riki gak pernah diganti setiap TopSkor tanding futsal. Dan dia selalu jadi pemain yang diminta untuk lari kesana kemari mengejar bola.

Ahmad Fickry Hackiki

Kami memanggilnya penari latar. Gayanya yang klimis dan baju yang rapi memang membuatnya tampak seperti penari-penari pria di acara-acara televisi. Walaupun hanya setahun, Fikri membuktikan daya adaptasi yang luar biasa dengan langsung akrab dengan anak-anak lainnya. Wajar, meski usianya masih muda, ia sudah memiliki pengalaman di lebih dari 8 perusahaan dan berbagai macam profesi.

Sama-sama dari Bekasi, Fikri sering jadi temen bareng iring-iringan pulang naek motor. Seenggaknya kalo bareng, gak perlu khawatir kalo mogok di jalan karena ada tenaga bantuan. Anehnya setiap bareng Fikri selalu aja ada razia polisi. Entah mengapa….

Selain teman-teman terbaikku di atas, tak lupa juga kuucapkan terima kasih pada Bos Yusuf, Mas Edu, dan Mas Irfan yang sudah mau sabar menghadapi satu staff yang sering protes ini. 😀 😀 😀

Terima kasih pada Mas Cahyo dan Mas Kunta yang jadi atasan langsung selama tugas di TopSkor dan telah mengajari banyak hal, dan tak lupa pula terima kasih pada para redaktur lainnya Mas Ocki, Mas Kunta, Mas Dedhi, Mbak Ika, Mbak Dini, Mas Rijal, Pak Slamet Ari dan Pak Husni atas waktu-waktu yang menyenangkan. Maaf jika sering keluar irama berisik dan kata-kata ultrasonic dari mulut ini yang mungkin tak bisa ditolerir dan mengganggu jalannya proses deadline. Terima kasih Pak Jumadi selaku sekretaris redaksi yang jadi tumpuan anak-anak untuk mengurus segala keperluan.

Terima kasih pada temen-temen grafis yang selalu membuat ruangan makin ramai dengan tingkah-tingkah ajaibnya. Terima kasih pada seluruh jajaran redaksi yang kalau semuanya disebutkan satu per satu di sini maka surat ini tak akan ada ubahnya dengan boks redaksi di halaman dua. Terima kasih pada seluruh karyawan yang ada di TopSkor tanpa terkecuali.

Ada masa dimana aku ingin terus berada di kantor ini, ada masa dimana aku ingin pergi serta mencari tantangan baru dalam hidup ini, dan pastinya ada masa dimana nantinya aku akan merindukan tempat ini. Sebagai manusia, aku belum tahu bagaimana nantinya perjalanan ini berakhir, namun aku selalu tahu dan bisa dengan bangga menceritakan darimana aku memulainya. Dari utara Jakarta, dari Jalan Pluit Kencana Raya..

 Terima Kasih TopSkor! Terima Kasih atas Segalanya!

 

Bekasi, Jumat 28 Agustus 2014

Putra Permata Tegar Idaman

 

Nb : Terima Kasih kepada seluruh tukang dagang, tukang mie ayam yang memberi ayam lebih banyak, tukang nasi padang yang memberi sambal lebih banyak, tukang gado-gado yang memberi kecap lebih banyak, tukang gorengan yang memberi bonus gorengan lebih banyak, tukang bubur yang selalu ingat tak pernah memberi kacang pada pesanan, tukang ayam bakar yang selalu memberi nasi lebih banyak, dan tukang-tukang lainnya di Pluit. Terima kasih!

 

 

topskor 1

 

 

foto 1

 

foto 2

 

 

foto 4

 

_MG_8001

 

topskor 42

 

topskor 20

Carolina Marin dan Tunggal Putri Indonesia

“Saya senang bermain di Indonesia. Penonton begitu meriah hingga membuat para pemain makin bersemangat.”

Itulah kata-kata yang diucapkan oleh Carolina Marin di Surabaya, setahun lebih yang lalu ketika dirinya ikut bermain di ajang Axiata Cup. Bersama Tim Eropa, Marin memang ambil bagian dalam turnamen dengan format beregu campuran tersebut.

Marin 1

Saat itu, Marin hanyalah pemain muda yang belum terlalu dikenal kiprahnya oleh publik bulu tangkis Indonesia dan mungkin juga dunia. Ia hanya dianggap sebagai salah satu pebulu tangkis muda berbakat dan belum sampai pada taraf level pemain papan atas dunia.

Dan di tahun 2013 itu, ketika publik dunia dikejutkan oleh keberhasilan Ratchanok Inthanon menjadi juara dunia 2013 dengan mengalahkan sang juara Olimpiade Li Xuerui, sinar Marin belumlah terlihat jelas. Pebulu tangkis kelahiran 1993 ini kalah dari Ratchanok di babak perempat final namun kegemilangan Ratchanok menjadi tunggal putri Thailand pertama yang memenangi titel juara dunia membuat ‘sukses kecil’ Marin yang menembus babak perempat final seolah menguap begitu saja.

Setahun berselang, Marin sukses melakukan pembalasan. Cerita heroik tentang Ratchanok Inthanon setahun sebelumnya tak bertahan lama dari ingatan orang-orang karena aksi dan perjuangan Marin di Kejuaraan Dunia edisi kali ini. Decak kagum terus berdatangan dari mulut-mulut mereka yang menyaksikan perjuangan Marin babak demi babak. Pada partai puncak, jelas tergambar bagaimana Marin tak kenal lelah dan patah semangat memburu shuttlecock, melompat, dan terjatuh sambil terus menggenggam keyakinan bahwa dirinya bisa menang di tangan.

Kemenangan pun akhirnya bisa diraih oleh Marin. Dia adalah orang Spanyol pertama yang mampu menjadi juara dunia bulu tangkis. Momen manis Marin makin terasa lantaran Marin bisa berdiri di puncak tertinggi  justru di saat beberapa aktor olahraga penting negeri itu seperti tim nasional sepak bola dan super star tenis Rafael Nadal tengah tidak dalam performa terbaiknya. Alhasil, Marin pun menjadi topik perbincangan banyak orang.

Jika sebelumnya Marin memimpikan bisa ditonton dan dipuja banyak orang, maka boleh jadi Marin kini mendapat hal yang lebih dari itu. Bisa jadi sukses Marin menjadi juara dunia kemarin mampu menginspirasi banyak anak-anak di Spanyol untuk memilih bulu tangkis sebagai jalan hidup mereka, sebagaimana Rudy Hartono dulu juga sukses menghipnotis anak-anak di Indonesia untuk bermimpi menjadi pemain bulu tangkis  lewat suksesnya di All England selama bertahun-tahun.

Marin menjadi juara dunia adalah sebuah kejutan, namun bukanlah kejutan besar. Sebelum menjadi juara dunia, Marin sendiri sudah merintis langkah dan meniti jalan yang benar untuk menuju kesana. Proses Marin menjadi juara dunia kemudian memang datang lebih cepat dari dugaan, namun jikapun tidak sekarang, Marin sendiri memang sudah diproyeksi setidaknya menjadi salah satu pemain papan atas dunia nantinya. Semua itu bisa dilihat dari track record miliknya mulai dari saat dirinya masih junior.

Carolina Marin adalah pembenaran dari kalimat bahwa segala impian bisa saja terwujud dan bukan pemakluman bahwa kekuatan bulu tangkis dunia semakin merata sehingga wajar saja ada saatnya Indonesia berada di bawah dalam roda kompetisi tingkat dunia.

Melihat sukses Marin di Kejuaraan Dunia, seharusnya sudut pandang yang dilihat adalah jika Spanyol dan Marin saja mampu menjadi juara dunia, mengapa Indonesia tidak mampu melakukannya lagi dalam dua dekade ini. Sukses Marin harus jadi cambuk dan motivasi memperbaiki diri dan bukan malah jadi alasan pembenaran bahwa negara yang secara tradisional memiliki tunggal putri kuat layaknya Cina pun gagal meredam laju kemunculan kekuatan baru macam Marin dari Spanyol atau Ratchanok dari Thailand.

Membahas perbandingan kekuatan tunggal putri Indonesia di hadapan negara-negara lainnya, maka akan terpapar sebuah fakta yang menarik. Dalam perkembangan bulu tangkis saat ini, Wang Yihan menjadi pemain tertua di deretan 10 besar dunia dimana dirinya merupakan pemain kelahiran 1988. Selebihnya, pemain-pemain lain merupakan kelahiran tahun 1990-an ke bawah, sebut saja Saina Nehwal, Wang Shixian, dan Bae Yeon-Ju (1990), Sung Ji Hyun dan Porntip Buranaprasertsuk (1991), Carolina Marin, Tai Tzu Ying (1994), serta Ratchanok Inthanon (1995).

Sementara itu dari deretan pemain Indonesia, dua andalan Indonesia saat ini adalah Bellaetrix Manuputty (1988) dan Linda Wenifanetri (1990) sementara pemain lainnya di level prestasi seperti Aprilia Yuswandari, Maria Febe Kusumatuti dan Hera Desi dalam lingkup generasi yang sama. Loncat ke kelas potensi, pelatnas tunggal putri memiliki nama seperti Hanna Ramadini (1995), Russeli Hartawan (1997), dan beberapa nama lainnya.

Melihat tren yang mulai bergeser ke bawah dimana pemain-pemain macam Marin, Ratchanok, Tai Tzu Ying, plus Sindhu sudah mulai bisa berbicara banyak, rasanya pergeseran kekuasaan memang sebentar lagi akan terjadi. Respon Indonesia kemudian menjadi menarik mengingat di level kelahiran 1990 ke atas Indonesia saat ini tertinggal dan di level kelahiran 1995-an Indonesia juga belum bisa mencuri perhatian.

Memang tidak ada yang tahu pasti peak performance seorang atlet sehingga rasanya tidak logis juga meramalkan bahwa kemampuan Bellaetrix dan Linda sudah maksimal dan hanya sampai pada titik ini. Peak performance seorang atlet baru bisa dinilai dan dianalisis ketika sang atlet tersebut nantinya sudah pensiun sehingga dari grafik yang terdata bisa terekam jelas dimana puncak karirnya dan dimana masa penurunan prestasinya.

Namun membiarkan Marin dan rival-rivalnya di tahun kelahiran 1993 ke bawah mulai merajalela, rasanya juga mengesalkan jika Indonesia tak mampu ambil bagian dalam pesta tersebut. Mendorong Hanna dan rekan segenerasinya langsung terjun ke kolam yang sama dengan Ratchanok dan kawan-kawan saat ini jelas bukan ide brilian. Mereka hanya akan jadi sasaran empuk lawan-lawan karena masih kalah dari segi pengalaman dalam pertempuran.

Yang bisa dilakukan saat ini adalah mempercepat laju tumbuh kembang Hanna dan kawan-kawan namun tetap sesuai dengan tata tertib di jalan persaingan. Jika memang Indonesia ingin selekasnya mengandalkan Hanna dan kawan-kawan untuk berhadap-hadapan dengan Marin, Ratchanok dan pemain muda dunia lainnya, maka setidaknya mereka harus bisa memastikan bahwa Hanna dan kawan-kawan memang sudah melewati kemampuan Linda dan kawan-kawan dan berdiri sebagai pebulu tangkis tunggal putri terbaik di Indonesia.

Jika Carolina Marin yang dari Spanyol dan pernah ‘numpang belajar di Cipayung’ saja mampu menjadi juara dunia, maka harapan Indonesia untuk setidaknya memiliki pemain tunggal putri papan atas dunia saat ini bukanlah harapan yang terlalu muluk di masa depan, entah itu diwujudkan oleh generasi Linda dan Bella atau generasi Hanna dan kawan-kawan seangkatannya.

-Putra Permata Tegar Idaman-