Tommy Gak Gitu Deh..

Kalem, Pendiam, Tak Terlalu Meledak dalam Berekspresi di Lapangan.

Begitulah pendapat banyak orang tentang karakter Tommy Sugiarto menurut pengamatan mereka. Pembawaannya yang cenderung tenang selaras dengan tipe bermainnya yang lebih sering mengandalkan permainan reli untuk meraih poin demi poin di tiap pertandingan.

Karena itulah, ketika Tommy memutuskan untuk menolak pemanggilan ke pelatnas Cipayung untuk periode 2015 ini, mungkin banyak yang berpikiran keputusan ini merupakan keputusan yang berani dan bertolak belakang dengan karakteristik Tommy yang kalem dan tenang.

“Tommy gak gitu deh?!”

Sebuah kalimat populer di iklan sampo bertahun-tahun silam rasanya menggambarkan perasaan banyak orang yang mungkin bertanya-tanya tentang keputusan Tommy untuk menolak panggilan ke pelatnas Cipayung saat ini.

Bagaimanapun, posisi Tommy saat ini adalah sebagai pebulu tangkis tunggal putra nomor satu Indonesia setelah Pelatnas Cipayung memutuskan untuk mendepak Dionysius Hayom Rumbaka dari pelatnas, maka Tommy lah tulang punggung generasi tunggal putra saat ini. Memang masih ada Simon Santoso yang usianya lebih senior, namun secara peringkat dan performa dalam beberapa tahun terakhir, Tommy tampaknya masih lebih baik dibandingkan Simon.

Tommy adalah asa Pelatnas Cipayung untuk berbagai turnamen penting tahun ini mulai dari Piala Sudirman hingga SEA Games. Pun begitu untuk Olimpiade 2016, nama Tommy adalah deretan terdepan yang bisa diandalkan dari barisan tunggal putra Indonesia saat ini.

blog 1

Sedikit mundur ke belakang, keputusan Tommy untuk menarik diri dari keanggotaan di pelatnas Cipayung ini bukanlah yang pertama kalinya ia lakukan. Pada tahun 2010 lalu, Tommy juga sempat memutuskan keluar dari pelatnas Cipayung.

Namun keputusan Tommy untuk keluar saat itu lebih terasa masuk di akal. Saat itu, Tommy jarang sekali mendapat kesempatan untuk tampil di turnamen-turnamen BWF. Alhasil, peringkatnya pun merosot jauh terlempar dari kelompok 50 besar.

“Saya tidak berkembang di pelatnas jadi saya memutuskan untuk keluar.” Begitu kalimat yang diutarakan Tommy saat itu.

Dan lewat perjuangan yang gigih, Tommy pun mampu memberi bukti bahwa ia memiliki potensi besar sebagai seorang pemain. Terbukti, peringkatnya kembali membaik dan akhirnya tawaran untuk mengisi pos di pelatnas pun kembali datang di awal 2013 dimana Tommy menganggukkan kepalanya untuk kembali menjadi bagian dari pelatnas Cipayung.

4,5 tahun berselang dari momen pertama, ternyata Tommy kembali mengutarakan alasan yang sama kala dirinya menolak untuk memenuhi panggilan untuk berlatih di pelatnas Cipayung untuk tahun 2015 ini.

Walaupun alasannya sama, namun kondisinya jelas berbeda. Tahun 2010 lalu, Tommy masihlah seorang pemain muda potensi sementara untuk saat ini, Tommy adalah pebulu tangkis tunggal putra terbaik Indonesia, meskipun tak dimungkiri ia masih sulit untuk mematahkan dominasi para tunggal putra papan atas dunia. Tommy tetaplah tunggal putra Indonesia nomor satu saat ini dan hal itu tak terbantahkan.

Dengan karakteristik kondisi yang berbeda tersebut, maka asumsi yang paling masuk akal dari keputusan Tommy untuk keluar adalah lantaran kekecewaan Tommy terhadap keputusan Pelatnas PBSI yang mendepak Joko Suprianto sebagai pelatih tunggal putra di pertengahan tahun 2014 lalu.

Selama berada di pelatnas, Tommy memang berada di bawah arahan Joko Suprianto. Peringkatnya pun pernah melonjak masuk lima besar dan duduk di peringkat ketiga dunia, di bawah Lee Chong Wei dan Chen Long.

Di awal 2014, Tommy pun sepertinya terlihat makin diandalkan manakala Pelatnas Cipayung memutuskan untuk mencoret Simon dari skuat Pelatnas pada bulan Januari. Dengan performa Hayom yang labil, maka praktis saat itu Tommy jadi ujung tombak tunggal putra Indonesia.

Namun enam bulan berselang, pada Juni 2014, Pelatnas Cipayung memutuskan untuk tidak menggunakan jasa Joko Suprianto sebagai pelatih tunggal putra. Di saat bersamaan, Simon yang berada dalam ‘pembuangan’ justru mampu bangkit di bawah polesan Hendry Saputra.

PBSI yang melihat hal itu mengambil keputusan kilat, memanggil kembali Simon beserta sang pelatih ke Cipayung. Tentunya dengan harapan Simon bisa meneruskan performa gemilangnya karena sang pelatih sudah ikut serta.

Walaupun tak pernah terucap, mungkin inilah yang menyulut kekecewaan dalam diri Tommy. Bagi Tommy, mungkin tidak masalah jika PBSI memanggil kembali Simon berikut sang pelatih, namun bisa jadi yang membuat Tommy kecewa adalah lantaran PBSI tak mau mengabulkan harapan Tommy untuk tetap bisa berlatih di bawah asuhan Joko Suprianto.

Sebagai pebulu tangkis tunggal putra nomor satu Indonesia yang tengah mencoba untuk menggoyahkan dominasi Chong Wei, Chen Long, dan Lin Dan, Tommy jelas butuh semua komponen yang menurutnya bisa membuat dirinya nyaman, dan Joko sebagai pelatih adalah termasuk dalam komponen itu.

Bisa diduga, setelah Joko tak ada dan Hendry mulai bertugas di Cipayung, sempat ada masalah komunikasi antara Tommy dan Hendry. Meskipun beberapa saat kemudian Rexy Mainaky mengatakan bahwa semua permasalahan itu sudah selesai, namun ternyata masalah komunikasi itu pada akhirnya tidak benar-benar selesai sampai akhirnya masalah tersebut tuntas di awal tahun ini dengan keputusan Tommy untuk tidak lagi menjadi bagian dari pelatnas.

Tommy membuat keputusan besar dalam karirnya. Keluar dari pelatnas saat dirinya tengah diharapkan untuk jadi tumpuan pada tahun-tahun mendatang. Pembawaannya yang tenang dan kalem ternyata tidak menutup keberanian Tommy pada sikap berani untuk mengambil keputusan.

Tommy gak gitu deh?

Ternyata Tommy berani bersikap begitu dan tentu sudah sangat sadar dan siap dengan segala resiko yang mungkin terjadi setelah ini terutama tentang lebih beratnya perjuangan di luar pelatnas. Bahwa hidup adalah selalu tentang memilih dimana setiap orang akan dihadapkan pada dua sisi yang berlawanan.

Meski demikian tentunya tak perlu khawatir secara berlebihan karena nama Indonesia tetap berada di belakang punggung Tommy, dan dia pun pastinya tetap akan bermain dengan tekad mengangkat nama beserta identitas negaranya.

 

-Putra Permata Tegar Idaman-

Tancap Gas Jelang Lap Terakhir

Jika periode kepengurusan adalah sebuah perlombaan balapan, maka Olimpiade yang merupakan titel paling bergengsi di dunia bulu tangkis adalah putaran terakhir.  Kebetulan, periode kepengurusan PBSI sangat sinkron dengan laju gelaran Olimpiade yang berlangsung dalam periode empat tahun sekali.

Ketika PBSI era Gita Wirjawan resmi dilantik di pengujung 2012, mereka mulai resmi mencanangkan program kerja selama empat tahun dimana target bidikan terbesar terakhir ada di Olimpiade Rio de Janeiro 2016. Semua program yang mereka susun saat itu bermuara pada harapan Indonesia mampu bisa kembali meraih medali emas setelah pada Olimpiade London 2012 babak belur dan pulang tanpa kalungan medali.

Jika dipaparkan menjadi detil per detil, petualangan tim bulu tangkis Indonesia dalam periode kepemimpinan Gita Wirjawan, boleh jadi dibagi menjadi empat putaran yang dihitung per tiap tahun.

blog 1

Pada putaran pertama alias tahun 2013 dimana PBSI menganggapnya sebagai bagian awal dan permulaan, ternyata mereka malah mendapatkan hasil mengejutkan. Ibarat mobil balap yang masih diproyeksikan untuk memanaskan mesin di lap pertama, ternyata mobil balap tersebut mampu melaju lebih cepat dari catatan waktu yang diproyeksikan.

 

Pada tahun perdana, Tim bulu tangkis Indonesia sukses memenuhi target meraih titel All England, merebut dua gelar juara dunia, dan mengamankan tiga medali emas SEA Games. Satu target yang gagal mereka raih adalah Piala Sudirman namun itupun dimaklumi karena Indonesia kalah tipis 2-3 dari Cina di babak perempat final.

Rexy Mainaky, sebagai penanggung jawab teknis tentunya bangga bahwa ‘mobil balap’ tim bulu tangkis Indonesia mampu melaju lebih cepat dari perkiraan dirinya pada putaran pertama alias di tahun 2013 silam.

Hal itu yang kemudian mencuatkan optimisme bahwa tim bulu tangkis Indonesia akan bisa lebih cepat  di putaran kedua alias tahun 2014. Sejumlah proyeksi dan target dicanangkan termasuk mengorbitkan pemain-pemain lainnya di luar nama-nama macam Tontowi Ahmad, Liliyana Natsir, Mohammad Ahsan, dan Hendra Setiawan.

Namun ternyata kecepatan ‘mobil balap’ tim bulu tangkis kali ini justru tak sesuai harapan dari Rexy selaku penanggung jawab performa tim. Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana memang terbilang masih cukup bersinar, namun harapan untuk melihat pemain-pemain lainnya muncul ke permukaan harus dipendam dalam-dalam.

Hanya Greysia Polii/Nitya Krishinda Maheswari yang mampu menyeruak ke permukaan sementara Tommy Sugiarto, Simon Santoso, Angga Pratama/Rian Agung dan pemain lainnya masih tak sanggup untuk menembus dominasi persaingan papan atas.

Sebagaimana perlombaan, maka finis dan tujuan akhir Pengurus PBSI periode kali ini adalah tahun 201 dimana di sana terdapat Piala Thomas dan Uber serta Olimpiade. Dibanding Thomas-Uber, emas Olimpiade menjadi hal yang lebih realistis untuk kondisi bulu tangkis Indonesia saat ini.

Namun sebelum nantinya beradu cepat di 2016 untuk memperebutkan medali emas Olimpiade, Indonesia butuh kepastian bahwa ‘mobil balap’ mereka sudah berada dalam posisi yang benar pada akhir tahun 2015 dan awal tahun 2016.

Itu berarti, tahun ini harus benar-benar ada gebrakan besar dari para pemain Indonesia di level kompetisi kasta atas. Indonesia harus mampu melaju cepat, menutup keterlambatan yang terjadi di 2014, sehingga nantinya Indonesia berada dalam posisi siap bertarung di lap terakhir pada 2016.

PBSI pun meracik banyak program. Mulai dari perlakuan khusus atlet berprestasi, fisik dan gizi yang dipantau, aspek psikologis yang terus diperhatikan, hingga pemanggilan para legenda bulu tangkis untuk turun gunung dan menjadi mentor bagi para juniornya.

Semua program yang disusun rapi dan manis ini jelas diharapkan berujung pada konsistensi penampilan para pemain yang sudah bisa diandalkan sejauh ini ditambah munculnya pemain baru yang bisa menggebrak dominasi bulu tangkis dunia.

Perlombaan di Olimpiade 2012 ibarat kenangan buruk yang bisa jadi contoh termanis. Saat itu, di kondisi ‘mobil balap’ Indonesia jelas sudah kepayahan di lap terakhir. Ini ditandai dengan hanya munculnya nama Tontowi/Liliyana sebagai wakil Indonesia yang mampu meramaikan persaingan di papan atas kompetisi bulu tangkis dunia.

Alhasil, ‘mobil balap’ Indonesia butuh keajaiban besar untuk bisa finis di tempat yang diharapkan. Dan nyatanya, selain performa yang buruk dari tim bulu tangkis Indonesia di tahun-tahun sebelumnya jelang 2012, keberuntungan pun menjauh dari Indonesia. Jadilah Indonesia pulang dari London tanpa kalungan medali emas, bahkan tanpa kalungan medali apapun.

Untuk Olimpiade 2016, sebelum hanya berharap pada keberuntungan, jelas Indonesia harus mencari posisi terbaik di akhir tahun ini serta awal tahun depan. Itu berarti PBSI harus mampu mendorong agar bukan hanya Ahsan/Hendra, Tontowi/Liliyana, dan Greysia/Nitya saja yang berdiri pada podium kemenangan turnamen-turnamen besar, melainkan juga para pemain lainnya.

 

 

-Putra Permata Tegar Idaman-