Mengerti Batas Ambisi dan Ilusi

Senyum semringah menghias wajah Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Indonesia Roy Suryo saat melepas para atlet untuk berjuang di ajang Asian Games 2014 bulan September lalu. Dengan penuh percaya diri, Menpora menyebut sembilan emas menjadi target yang diemban oleh kontingen Indonesia yang siap lepas landas menuju Incheon, Korea Selatan.

Di balik kerasnya ucapan Amin yang mengiringi pernyataan Menpora, tentunya ada tanya yang lebih keras darimana rumusan target sembilan emas tersebut berasal. Pasalnya, berharap target sembilan emas itu bisa terwujud lebih sulit daripada sekedar berharap turunnya hujan deras tanpa didahului oleh pekatnya mendung. Batas antara ambisi dan ilusi pun mengapung seiring dengan mengudaranya target sembilan emas yang dibawa oleh kontingen Indonesia.

Pelepasan 1

Menilik prestasi Indonesia di ajang Asian Games dari tahun ke tahun, tentunya munculnya target sembilan emas menjadi sebuah hal yang patut ditanyakan dasarnya. Catatan medali emas terbanyak bagi Indonesia ada di tahun 1962 saat Indonesia menjadi tuan rumah dimana ketika itu Indonesia meraih 11 emas. Di luar itu, torehan terbaik Indonesia ada di tahun 1978 dimana Indonesia meraih 8 medali emas.

Walaupun kemudian ada argumen bahwa medali emas yang diperebutkan saat ini jumlahnya jauh lebih banyak dibandingkan dekade 1960-an dan 1970-an, 400-an medali emas berbanding 200-an medali emas sehingga mungkin itu nantinya diharapkan berbanding lurus, hal itu justru semakin menunjukkan kemunduran prestasi olahraga Indonesia di kancah persaingan Asia.

Pasalnya semenjak era ketersediaan medali emas di kisaran 400-an, Indonesia hanya mampu meraup paling banyak empat medali emas di tahun 2002 dan 2010 serta dua medali emas di tahun 2010. Banyaknya jumlah medali emas yang diperebutkan kemudian nyatanya tidak signifikan dengan perolehan emas Indonesia.

Semua fakta sejarah yang ada sejatinya pun kemudian bisa dikesampingkan untuk menegaskan bahwa target sembilan medali emas di Asian Games 2014 ini bukanlah sebuah hal yang main-main. Namun kemudian ketika pernyataan ini diuji oleh fakta di lapangan tentang persiapan menuju Asian Games ini yang tak sesuai harapan.

Andaikata persiapan Asian Games ini adalah persiapan jangka panjang yang sudah dirumuskan sejak jauh-jauh hari, tentunya target sembilan emas kemudian menjadi lebih masuk akal. Namun yang terjadi adalah persiapan para atlet masih akrab dengan kalimat telatnya uang saku, suplemen dan nutrisi yang tidak tercukupi, belum turunnya peralatan latihan, belum adanya peralatan pertandingan, dan beberapa hal lainnya yang jelas mengganggu fokus dan konsentrasi.

Dalam pesta olahraga antar bangsa seperti Asian Games ini, jelas pemerintah tidak bisa serta merta berharap pada tekad mengharumkan nama bangsa dan rasa nasionalisme yang terpatri dalam dada para atlet. Yakinlah, atlet di Indonesia memiliki semua hal itu namun kemudian nasionalisme dan tekad mengharumkan nama bangsa tidaklah menjadi istimewa karena atlet dari negara lainnya pun memiliki hal yang serupa. Ketika tekad mengharumkan nama bangsa sama besar, tentunya pemenang dari persaingan kembali ditentukan oleh kemampuan dari hasil persiapan yang matang. Secara umum, atlet dengan persiapan yang lebih matang tentunya lebih berpeluang besar untuk menang.

Alhasil, Asian Games selesai dengan torehan empat medali emas di tangan. Capaian ini terbilang gagal jika mengacu pada target bombastis yang dikumandangkan saat keberangkatan, namun kemudian capaian ini menjadi luar biasa ketika Indonesia merefleksi pada fakta bagaimana mereka menyiapkan atlet-atletnya.

Atlet sudah berusaha memberikan yang terbaik bagi bangsa walaupun hasilnya sejauh ini belum memuaskan. Begitu kalimat yang sering menjadi kalimat penghias di balik melesetnya target pada sebuah nomor. Atlet memang sudah berusaha memberikan yang terbaik, namun hal itu kemudian tidaklah cukup karena perangkat negara tidak memberikan yang terbaik untuk mendukung para atletnya di pesta olahraga ini.

Saya bertanggung jawab dan meminta maaf atas kegagalan ini. Itu kalimat susulan yang kemudian mengikuti kalimat pada awal paragraf sebelumnya. Sekedar tanggung jawab tentunya tidak cukup karena kemudian yang lebih dibutuhkan adalah kesadaran dan petikan pelajaran yang bisa diambil dari kejadian ini.

Dalam beberapa tahun terakhir, persiapan para atlet menuju ajang multi event tak pernah lepas dari kendala. Dana dukungan pemerintah untuk olahraga yang jumlahnya terbatas itu kemudian makin tak bisa diharapkan menjadi penolong karena berbelit-belitnya proses pencairan. Alhasil, tiap cabang olahraga harus memutar otak bagaimana program yang mereka susun bisa tetap berjalan tepat waktu di saat dana yang diperlukan tidak datang tepat waktu. Masalah itu sudah sangat familiar dan akrab di telinga namun belum juga ditemukan solusi dan jalan keluarnya.

Berbicara Asian Games, empat tahun lagi Indonesia menjadi tuan rumah pesta olahraga bangsa Asia ini. Dua sukses sudah pasti akan kembali dibidik, yaitu sukses penyelenggaraan dan sukses prestasi. Untuk sukses prestasi, Indonesia nantinya tentu akan berharap pada keistimewaan status tuan rumah.

Ada 36 cabang olahraga yang akan dipertandingkan pada Asian Games nanti dimana 28 cabang olahraga adalah cabang olahraga Olimpiade, 5 cabang olahraga regional (Asia Tenggara), dan 3 cabang olahraga yang merupakan hak prerogatif OCA (Olympic Council Asia) dimana tuan rumah mendapatkan jatah untuk memilih satu cabang olahraga yang bisa dijadikan andalan meraih emas.

Dengan gambaran itu, maka setidaknya Indonesia minimal bisa mendapatkan dua cabang olahraga yang diyakini bisa menjadi tambang emas, yaitu lewat jalur prerogatif tuan rumah dan lewat jalur cabang olahraga regional.

Namun sebelum berbicara lebih jauh kesana, dalam tiga tahun ke depan ada tiga multi event penting yaitu SEA Games 2015 di Singapura, Olimpiade 2016 di Rio de Janeiro, dan SEA Games 2017 di Kuala Lumpur. Dengan paket empat multi event tersebut, harusnya tiap PB Cabang Olahraga mulai bisa menyusun program jangka panjang hingga empat tahun ke depan namun tentunya semua itu baru akan berjalan dengan baik jika ada dukungan total dari pemerintah, baik itu lewat penyediaan dana APBN ataupun upaya mendorong pihak swasta untuk terlibat. Namun jika kondisi persiapan masih sama dengan yang sudah berlalu, maka marilah mengulang cerita yang sama atau bahkan lebih buruk dibandingkan gelaran multi event sebelumnya.

-Putra Permata Tegar Idaman-

Indonesia U-19, Harapan dan Kewajaran

Sudah satu tahun terakhir, pemberitaan sepak bola lokal didominasi oleh tim nasional Indonesia U-19. Sebuah fenomena yang unik karena anak-anak muda berusia belasan ini mampu mengalahkan pamor para senior-seniornya, baik itu tim nasional U-23 maupun tim nasional Indonesia dalam hal pemberitaan dan daya tarik publik.

From zero to hero adalah alasan mengapa Indonesia U-19 akhirnya menjadi idola banyak orang dalam setahun belakangan. Mereka berangkat dengan status bukan siapa-siapa, namun perlahan tapi pasti mampu unjuk gigi dan akhirnya sukses menjuarai Piala AFF U-19 pada 2013 lalu.

Hal ini jelas berbeda dengan tim senior mereka. Tim senior diisi oleh sosok-sosok yang sudah dikenal oleh banyak orang namun akhirnya selalu berujung pada nihil prestasi di setiap keikutsertaan mereka pada tiap event, baik itu event level dunia, Asia, atau bahkan Asia Tenggara.

Gaya permainan yang menarik yang diperagakan oleh para pemain Indonesia U-19 makin membuat cinta itu melekat dalam tiap hati orang Indonesia yang melihatnya. Peragaan umpan satu-dua yang rapi, organisasi tim yang jelas, dan kecendurangan bermain ofensif menjadi alasan-alasan penguat cinta itu.

evan dimas

Namun kemudian yang terjadi adalah over dosis pujian dan perlakuan. Porsi pemberitaan di media terkait tim nasional ini pun sangat berlebihan. Bahkan untuk tur nusantara mereka saja stasiun televisi rela melakukan kontrak kerja sama demi bisa mengcover perjuangan Evan Dimas dan kawan-kawan selama tampil di lapangan.

Penulis kemudian kembali terkenang pada momen 18 tahun lalu. Ketika itu, penulis duduk di depan layar televisi menyaksikan tayangan Olimpiade cabang olahraga sepak bola. Nigeria, negara asal Afrika sukses meraih medali emas cabang olahraga sepak bola dengan mengalahkan Argentina yang lebih diunggulkan di babak final. Tidak hanya itu, di babak sebelumnya, Nigeria juga sukses mengempaskan Brasil yang juga masuk dalam daftar unggulan.

Banyak yang kemudian menganggap bahwa sukses Nigeria di Olimpiade itu adalah salah satu tanda bahwa mereka nantinya bakal berjaya di ajang Piala Dunia seiring makin matangnya para pemain muda macam Nwankwo Kanu, Jay-Jay Okocha, Taribo West, Tijani Babangida, Sunday Oliseh, Celestine Babayaro, dan lain-lainnya.

Euforia di Nigeria sendiri tentunya pasti tak kalah besar menghadapi sukses ini. Namun yang kemudian terjadi adalah mereka dibenturkan oleh kenyataan pahit. Generasi yang disebut generasi emas ini tak mampu menorehkan prestasi di Piala Dunia. Pada ajang Piala Dunia 2002 enam tahun kemudian, Nigeria yang dimotori para pemain jebolan Olimpiade 1996 saat usia mereka matang ini gagal di babak penyisihan. Brasil yang hanya mendapat perunggu di Olimpiade Atlanta malah sukses meraih status juara dunia dengan nama Ronaldo, Roberto Carlos, dan Rivaldo yang menjadi barisan pesakitan di Atlanta menjadi andalan.

Cerita dan fantasi publik Nigeria walaupun akhirnya tidak terwujud terasa lebih logis dibandingkan dengan kondisi yang ada di Indonesia saat ini. Ketika itu tim junior Nigeria sudah sukses menjuarai Olimpiade yang merupakan panggung internasional, sementara Indonesia saat ini jelas masih sangatlah jauh dari sebuah harapan akan datangnya generasi emas di masa datang.

Boleh saja permainan memikat umpan pendek dari kaki ke kaki disertai pergerakan cepat masih terlihat dominan saat menjalani tur nusantara dan beberapa uji coba internasional, namun celah bagi Indonesia U-19 akhirnya jelas terlihat saat menjalani try out terakhir ke Tanah Spanyol. Di tengah pressing ketat lawan, Indonesia U-19 kesulitan mengembangkan pola permainan mereka.

Satu hal lain yang tak juga penting untuk diingat, tahun lalu Indonesia U-19 bermain di Indonesia, di tengah dukungan publik yang pastinya memberi motivasi ekstra. Status belum dikenal makin membuat mereka termotivasi untuk bisa mengukir prestasi tinggi-tinggi.

Sementara itu saat ini reputasi Indonesia U-19 sudah diakui oleh publik Tanah Air. Seperti sinar terang yang selalu diikuti hadirnya bayangan, iringan dukungan dan doa yang mengalir tentunya disertai oleh beban untuk berprestasi yang tak kalah besar. Indonesia U-19 baru melakukan sebuah langkah maju tahun lalu namun ekspektasi banyak orang sepertinya berada pada posisi lebih jauh di depan.

Satu kesimpulan yang harus diingat adalah ketika keberhasilan lolos ke semifinal dan mendapat tiket Piala Dunia kembali menjadi milik Indonesia U-19 di Myanmar nanti, patut kiranya untuk tidak membuat euforia terhadap hal tersebut semakin membesar.

Jika Indonesia U-19 mampu lolos ke Piala Dunia U-20 tahun depan, memang langkah menuju mimpi menjadi lebih dekat dibandingkan sebelumnya namun tetap saja jalan menuju prestasi dunia yang digaungkan beberapa orang masihlah tetap sejauh mata memandang. Indonesia U-19 masih harus bersaing dengan negara-negara kuat di belahan dunia ini nantinya untuk membuktikan kualitas mereka. Itu pun baru dalam tataran memperebutkan status tim terbaik di kelompok umur di bawah 20 tahun yang artinya mereka masih terkurung dalam beberapa batasan dan tidak benar-benar menjadi yang terbaik di dunia ini.

Pun jika Indonesia U-19 nanti gagal di Myanmar, janganlah buru-buru kemudian mengecap generasi ini sebagai generasi gagal yang tak mampu menjaga harapan. Piala AFC U-19 hanyalah bagian dari proses pematangan para pemain ini, karena finalisasi hasil yang benar-benar bisa dibanggakan nantinya tetaplah ketika mereka sudah membela tim nasional di level senior.

Biarkan Evan Dimas dan kawan-kawan berusaha dan berjuang sekuat tenaga di lapangan, sambil kita terus menyadarkan diri bahwa ini bukanlah turnamen hidup-mati bagi mereka. Perjalanan mereka masih panjang dan masih terlalu cepat untuk mengambil kesimpulan tentang mereka setelah Piala AFC U-19 nantinya berakhir, baik itu berakhir dengan suka maupun berakhir dengan duka.

-Putra Permata Tegar Idaman-

Start Buruk, Finish Sesuai Harapan  

Jika Tim Bulu tangkis Indonesia pada Asian Games 2014 lalu diibaratkan sebagai seorang pelari, maka mereka adalah pelari yang melakukan start buruk dan sempat terjatuh, namun akhirnya sukses finis sesuai harapan dan target yang dibebankan sebelum pertandingan. Meskipun akhirnya mampu finis sesuai dengan harapan, namun tentunya hal itu tidak lantas membuat kesalahan yang dilakukan selama perlombaan kemudian dilupakan begitu saja.

Tim Bulu tangkis Indonesia di ajang Asian Games 2014 jelas melakukan sebuah start yang buruk. Nomor beregu putra dan putri tidak mampu mendapatkan medali, bahkan untuk sekedar sebuah medali perunggu. Mereka semua terhenti di babak perempat final. Tim putra kalah di hadapan Cina Taipei sementara tim putri harus mengakui keunggulan Jepang.

Kekalahan nomor beregu, terutama tim putra jelas tidak bisa diabaikan begitu saja. Berstatus sebagai unggulan kedua, maka jelas sudah dimana posisi Indonesia seharusnya berada, yaitu paling tidak masuk babak final.

Dalam kasus kalahnya Indonesia dari Cina Taipei, tentunya para pemain macam Tommy Sugiarto dan Angga Pratama/Rian Agung sudah harus menyadari posisi mereka saat ini. Dengan adanya nama Jonatan Christie dan Ihsan Maulana di dalam skuat, itu berarti sosok Tommy dan Angga/Rian tidak lagi sama seperti beberapa tahun sebelumnya. Tommy dan Angga/Rian sudah harus menyadari status mereka yang kini menjelma sebagai pemain senior dengan beban untuk menyumbang poin lebih besar dibandingkan sebelumnya.

Pun begitu halnya dengan beregu putri. Meskipun di atas kertas Indonesia kalah dari Jepang, namun tentunya kekalahan yang diterima seharusnya tidaklah dengan skor telak 0-3.

Pasalnya jika kekalahan Indonesia dari negara-negara macam Cina Taipei dan Jepang di nomor beregu terus dimaklumi dan dibiarkan, nama dan reputasi Indonesia nantinya akan terus merosot. Di masa depan, Indonesia bisa jadi akan dipandang sebelah mata di mata negara-negara lainnya, baik itu negara-negara yang seharusnya berada di level yang sama dengan Indonesia seperti Cina dan Korea ataupun negara-negara yang semestinya memiliki level di bawah Indonesia.

Beruntung bagi Indonesia, kekalahan di nomor beregu kemarin tidak berimbas besar di nomor perorangan. Hal itu ibarat, seorang pelari yang terjatuh dan terjembab parah di awal start, namun justru kemudian mampu bangkit dan berlari mengejar target yang telah diberikan kepadanya. Tim Bulu Tangkis Indonesia sukses mengubah kekalahan di nomor beregu menjadi cambuk motivasi untuk tampil bagus di nomor perorangan.

Meski tunggal putra dan tunggal putri babak belur dan gagal menyumbangkan medali, namun setidaknya Indonesia masih bisa bernapas lega karena ada empat wakil yang bisa memastikan raihan medali di hari-hari terakhir cabang bulu tangkis yaitu Greysia Polii/Nitya Krishinda Maheswari, Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan, dan Praveen Jordan/Debby Susanto.

AG 31

Dan senyum Tim Bulu Tangkis Indonesia makin lebar saat Greysia/Nitya dan Ahsan/Hendra mampu meraih dua emas dalam dua hari beruntun. Indonesia bahkan nyaris saja memasuki garis finis dengan penuh gaya, berpeluang meraih tiga medali emas dan melebihi target yang dibebankan, namun sayang Tontowi/Liliyana gagal dalam duel di panggung akhir tersebut. Meski demikian, Tim Bulu Tangkis Indonesia tetap bisa meninggalkan lintasan perlombaan dengan kepala tegak lantaran mampu membawa pulang dua emas, plus satu perak dan satu perunggu di tangan.

Sukses Greysia Polii/Nitya Krishinda Maheswari dan Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan meraih medali emas tentunya menjadi amat melegakan bagi PBSI. Dua emas ini, terutama emas dari ganda putri seolah menutupi start buruk yang dilakukan oleh tim beregu, baik putra maupun putri, di ajang ini.

Setelah ucapan suka cita dan rasa gembira bertebaran di udara, tentunya PBSI harus kembali menengok ke belakang melihat jalannya perlombaan. Proses tersingkirnya tim putra dan putri dari nomor beregu jelas tak bisa diremehkan dan dilupakan begitu saja. Indonesia adalah negara yang memploklamirkan diri sebagai negara bulu tangkis jadi sudah sepantasnya Indonesia harus memiliki reputasi kuat di nomor beregu, bukan hanya di nomor perorangan.

Sementara itu di nomor perorangan, keberhasilan Greysia/Nitya menjadi juara juga tentunya menjadi contoh paling pas bahwa Indonesia dan PBSI tentunya akan lebih baik jika memiliki jumlah pemain andalan yang lebih banyak di masa depan. Tidak mungkin berharap Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana selalu tampil sempurna. Greysia/Nitya kali ini telah menunjukkan bahwa kemenangan mereka sekaligus bisa menutupi celah target satu emas yang tadinya dibebankan kepada Tontowi/Liliyana.

Baik nomor beregu maupun perorangan, keduanya ini jelas berkaitan. Semakin banyak pemain yang mampu dijadikan tumpuan dan andalan untuk juara di nomor perorangan, maka semakin besar kemungkinan Indonesia memiliki tim kuat di nomor beregu nantinya.

-Putra Permata Tegar Idaman-