Lee Chong Wei di Persimpangan Jalan

“Lee Chong Wei itu hebat. Pemain Malaysia lainnya tidak.”

Kalimat itulah yang diucapkan oleh seorang supir taksi di Malaysia saat penulis berkesempatan mengunjungi negara tersebut beberapa waktu lalu. Dari gayanya berbicara setelah itu, terlihat jelas bahwa pria tersebut mengikuti jelas perkembangan bulu tangkis di negerinya dan dunia secara global.

Menurutnya, kemunduran bulu tangkis Malaysia tidak lepas karena banyak pemain yang merasa tinggi hati dan cepat puas saat karir mereka mulai menanjak. Alhasil, mereka tidak benar-benar menjadi pemain bintang.

Dan sosok Lee Chong Wei inilah yang merupakan pengecualian dari sudut pandang si supir taksi tersebut. Dalam pendapatnya, semua pemain bulu tangkis di Malaysia sepatutnya meniru tingkah dan perilaku Lee Chong Wei. Meskipun Lee Chong Wei sudah lama menjadi pemain papan atas dunia, namun dia tidak pernah sombong dan berpuas diri. Ia selalu berlatih keras dan performa konsisten adalah hasil dan buah jerih payahnya selama ini.

Bagaimana besarnya kharisma Lee Chong Wei bisa dilihat dari banyaknya dukungan yang mengalir padanya saat bermain. Di Cina, walaupun ia adalah musuh besar Lin Dan, Lee Chong Wei tetap mendapat applause meriah di sana. Di Indonesia pun, tempat dimana rivalitas Malaysia-Indonesia terasa atmosfernya, Lee Chong Wei pun masih banyak mendapatkan dukungan saat turun bermain. Sungguh pemandangan langka dimana tidak semua pemain Malaysia bisa mendapatkannya.

Tidak hanya di dalam lapangan, di luar lapangan pun sosok Lee Chong Wei benar-benar merupakan sosok yang membumi. Di tiap perjumpaan dengan media, Lee Chong Wei selalu ramah dalam meladeni tiap pertanyaan-pertanyaan yang ada.

Lee Chong Wei adalah gambaran sosok yang nyaris ideal. Ia mampu berada di papan atas tunggal putra selama satu dekade dan meraih banyak gelar juara sepanjang karirnya. Di usianya yang sudah melewati 30 tahun, ia masih sulit untuk ditaklukkan. Mengalahkan Lee Chong Wei atau bahkan sekedar bermain imbang melawan dirinya masih menjadi cita-cita banyak pebulu tangkis muda di dunia ini.

Satu-satunya celah yang mungkin membuatnya disebut ‘nyaris ideal’ adalah lantaran ia belum pernah mengecap manisnya gelar Olimpiade dan juara dunia di antara puluhan gelar super series yang sudah dimenanginya, tak seperti dua rivalnya Taufik Hidayat dan Lin Dan yang sudah mampu melakukannya.

Meski demikian hal itu tidak lantas membuat kekaguman pada Lee Chong Wei menjadi surut. Ia tetap dipuja diidolakan oleh banyak anak kecil di dunia ini. Sosoknya merupakan cerminan bagi banyak orang untuk lebih termotivasi menjalani hidup ini. Gelar Dato pun didapat oleh Lee Chong Wei sebagai bentuk pengakuan negara terhadapnya

lcw

Sampai akhirnya, sebuah kabar mengejutkan itu datang sebulan lalu. Lee Chong Wei gagal dalam tes doping acak pada sampel A miliknya dan ternyata sampel B miliknya yang diuji pada pekan lalu tetap menunjukkan bahwa dalam diri Lee Chong Wei terdapat kandungan zat terlarang bernama dexamethasone.

———————

Berbalik ke belakang sejenak, pada era 2000-an terdapat sebuah sosok fenomenal dalam dunia olahraga balap sepeda bernama Lance Armstrong. Pria asal Amerika Serikat ini tujuh kali beruntun memenangi Tour de France, sebuah balapan sepeda jalan raya paling populer di dunia ini dalam periode 1999-2005.

Itu adalah kali pertama ada seorang pembalap sepeda yang mampu menjadi juara Tour de France selama tujuh tahun beruntun. Catatan itu semakin fenomenal melihat bagaimana latar belakang Lance Armstrong yang merupakan penderita kanker.

Kesuksesan Lance Armstrong menaklukkan kanker dan kemudian menjuarai Tour de France selama tujuh tahun beruntun adalah salah satu kisah fenomenal yang ada di dunia ini. Seorang biasa yang mampu survive dari kanker saja sudah merupakan seorang yang luar biasa hebatnya, apalagi jika seorang yang pernah divonis kanker testis stadium tiga mampu selamat dan kemudian menjadi juara Tour de France tujuh kali beruntun tentu merupakan seorang yang sangat luar biasa hebatnya.

Kesuksesan dan semangat juang Lance Armstrong benar-benar memotivasi banyak orang untuk tidak terus terpuruk dalam hidupnya. Jika Lance Armstrong saja mampu memenangi Tour de France, maka seharusnya semua orang punya kemungkinan untuk melawan ketidakmungkinan. Lance Armstrong benar-benar tokoh yang mampu membuat perubahan besar. Yayasan Amal miliknya Livestrong Foundation pun kebanjiran donatur. Semua membuka mata dan peduli terhadap gebrakan besar yang tengah dilakukan Armstrong pada dunia ini.

Namun cerita manis itu kemudian menjadi sebuah cerita yang menyakitkan hati bagi banyak orang. Bertahun-tahun setelah masa kejayaannya berlalu, USADA (Badan Anti Doping Amerika Serikat) menegaskan bahwa Lance Armstrong positif menggunakan doping dan mempublikasikan temuan-temuan baru mereka terkait hal ini pada tahun 2012 lalu.

Doping Lance Armstrong bukan cerita baru. Sepanjang karirnya, Lance Armstrong sering dikait-kaitkan dengan doping. Banyak kesaksian pembalap sepeda rekan setimnya dan juga para rivalnya yang menyebut Lance Armstrong melakukan doping. Namun semua itu terbantah karena Lance Armstrong tidak pernah terbukti positif doping dalam tiap tes yang dilakukan. Publik dunia makin bersimpati dan mendukung Lance Armstrong karena menganggap semua tudingan itu merupakan tudingan tak beralasan.

Untuk kasus 2012, masih banyak pihak yang berada di kubu Lance Armstrong. Mereka terus menyerang USADA, UCI, dan WADA yang dianggap mencoba merusak citra hebat Lance Armstrong. Keyakinan para fans dan pengagum Lance Armstrong itu terus bertahan sampai akhirnya Lance Armstrong buka suara di awal tahun 2013 dengan mengakui bahwa dirinya memang menggunakan zat doping sepanjang karirnya. Dia meminta maaf kepada publik dunia atas apa yang telah ia lakukan selama ini.

———————

Saat seseorang menjadi atlet, dia harus bisa menyadari bahwa dia berdiri di panggung itu bukan hanya untuk dirinya sendiri. Seperti halnya ilmuwan, seorang atlet bisa membuat perubahan besar pada dunia ini lewat torehan prestasi atau rekor yang telah dibuatnya.

Keberhasilan seorang atlet bisa menginspirasi banyak orang untuk bangkit dari keterpurukan dan berubah menjadi lebih baik. Pada pundak tiap atlet, banyak dititipkan mimpi-mimpi orang lain dalam hidupnya. Tak perlu dirinya sendiri yang mencapainya, banyak orang yang akan dengan sangat gembira jika atlet idolanya sukses mengukir prestasi yang luar biasa.

Atlet memang bukan sosok sempurna dimana tetap ada celah-celah kesalahan dalam tiap langkahnya. Namun untuk kategori doping, tentunya hal ini termasuk pelanggaran berat karena mencederai semangat sportivitas dan fair play. Banyak wajah yang akan kecewa dan berpaling jika atlet pujaannya ternyata berbuat curang untuk bisa mewujudkan mimpinya dan juga mimpi mereka.

Namun kasus doping sendiri tidak semudah menebak warna hitam dan putih di depan mata. Banyak hal yang bercampur di dalamnya dan terbagi dalam beberapa hal mulai dari kesengajaan, keteledoran, hingga ketidaktahuan.

Untuk kasus Lee Chong Wei, dalam tubuhnya ditemukan zat dexamethasone yang masuk dalam kategori steroid. Dengan terbukti positinya sampel A dan sampel B milik Lee Chong Wei, maka bisa dipastikan bahwa zat tersebut ada dalam jumlah yang banyak dalam tubuh pebulu tangkis nomor satu dunia tersebut.

Namun meski demikian, hitam-putih atas hal ini tetaplah belum jelas. Proses sidang atas kasus ini masih akan berlangsung. Kini, Lee Chong Wei ditunggu proses hearing atau pembelaan atas hasil tes yang menyatakan bahwa dalam kandungan tubuhnya terdapat zat doping.

Dari cerita Lee Chong Wei dan analisa BWF ini nantinya titik terang atas kasus ini akan semakin terlihat. Apakah Lee Chong Wei benar-benar dengan sengaja dan sadar menggunakan zat doping untuk mempertahankan performanya ataukah zat tersebut masuk ke dalam tubuhnya karena sebuah proses pengobatan terhadap Lee Chong Wei dalam beberapa bulan terakhir atau ada hal-hal lainnya di luar itu.

Sulit bagi sang atlet untuk mengelabui tim anti-doping karena hal itu berkaitan dengan zat-zat yang sudah barang tentu bukan merupakan ranah keahlian atlet. Akan ada ketidakcocokan alur nantinya jika seorang atlet coba memaksakan alibi yang tidak pernah benar-benar ia alami.

Entah bagaimana akhir dari cerita ini, tapi yang pasti akan banyak raut wajah kecewa dan hati yang terluka jika memang kemungkinan terburuk dari kasus Lee Chong Wei berakhir menjadi fakta. Bukan hanya publik Malaysia, melainkan juga penggemar bulu tangkis dunia. Karena seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, di pundak atlet, disematkan mimpi-mimpi banyak orang dan juga sebuah kepercayaan.

-Putra Permata Tegar Idaman-

Berapa Lama Senyum Imam Nahrawi Bertahan?

Senyum mengembang menghias wajah Imam Nahrawi di hari-hari awal pada pekan pertamanya setelah resmi ditunjuk sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga untuk masa bakti lima tahun mendatang. Semoga ekspresi itu tak lantas berubah 180 derajat hanya dalam waktu dekat setelah melihat lebih dalam permasalahan dunia olahraga Indonesia yang akan segera menjadi tantangan baginya.

Senin sore, Imam Nahrawi menjejakkan kaki ke Kantor Kementerian Pemuda dan Olahraga untuk pertama kalinya sejak dirinya berstatus sebagai Menpora. Dua hari berselang, di tempat yang sama, dirinya melakukan prosesi seremoni serah terima jabatan. Sehari setelah itu, Kamis, Imam Nahrawi langsung berkeliling ke beberapa tempat latihan atlet nasional.

Dalam hari-hari pertamanya, Imam Nahrawi selalu terlihat ceria. Ia seperti anak kecil yang baru saja dibelikan hadiah sepeda baru dan ingin segera mengeksplorasi serta terus menerus mengotak-atik sepeda barunya tersebut.

Pada tiap kesempatan, Imam Nahrawi selalu berucap bahwa dirinya akan mendengar masukan dari berbagai pihak tentang masalah yang ada di olahraga Indonesia saat ini. Janji ini setidaknya menepis kekhawatiran yang muncul sebelumnya bahwa dengan tidak memiliki latar belakang olahraga, maka Imam Nahrawi dikhawatirkan tidak mampu memajukan olahraga Indonesia.

Memang sebelumnya, penunjukan Imam Nahrawi untuk duduk di kursi Menpora lebih seperti perwujudan rasa terima kasih kepada partai-partai yang telah mendukungnya dalam koalisi pada Pemilihan Presiden lalu. Tidak diisi oleh orang profesional seperti pada beberapa kursi menteri lainnya, wajar kemudian ada asumsi bahwa sektor Pemuda dan Olahraga bukanlah sektor vital dalam Kabinet Jokowi pada periode lima tahun ke depan.

Pesimisme yang mengiringi kedatangan Imam Nahrawi ke Kantor Kemenpora inilah yang kemudian dijawab olehnya dengan senyum mengembang dan optimisme yang tidak berlebihan. Imam Nahrawi menyebutkan beberapa hal yang menjadi agenda besarnya namun tetap dalam koridor kesadaran dan kerendahan hati bahwa dirinya masih perlu banyak belajar.

Dengan demikian, maka perbedaan antara profesional yang sudah memiliki latar belakang dunia olahraga dengan orang baru yang mengaku masih harus banyak mendengar tentunya tidak akan terasa selebar yang dibayangkan.

Pada awalnya, mungkin orang yang selama ini sudah akrab dengan dunia olahraga akan terlihat lebih unggul jika dijadikan Menteri karena tidak banyak hal yang perlu dipelajari, namun pada akhirnya berbicara soal posisi Menteri bukan lagi sekedar berbicara pengetahuan tentang olahraga melainkan tentang keberanian mengambil keputusan setelah melihat situasi dan suasana yang ada.

Namun demikian jalan menuju pengakuan status bahwa dirinya adalah seorang Menteri Pemuda dan Olahraga yang hebat di pengujung masa jabatannya nanti boleh dibilang gampang-gampang susah. Terbilang gampang karena indikator suksesnya sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga adalah jika Indonesia lewat atlet-atletnya mampu berbicara di berbagai ajang olahraga tingkat internasional, bukan sebuah indikator yang ukuran suksesnya sulit dan abu-abu seperti pada beberapa sektor kementerian lainnya. Terbilang susah karena memang untuk mewujudkan hal itu kerja keras saja tidak cukup.

Setelah duduk di kursi Menteri Pemuda dan Olahraga pada beberapa minggu ke depan, nantinya mungkin Imam Nahrawi akan semakin menyadari bahwa persoalan olahraga di Indonesia saat ini ternyata lebih dalam dari yang mungkin pernah ia bayangkan. Banyak masalah yang bakal ia hadapi dalam hari-harinya sebagai Menpora nantinya.

menpora bulutangkis

Yang pertama, tentunya konflik Komite Olimpiade Indonesia (KOI) dengan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI). Konflik tubrukan wewenang dan tanggung jawab ini harus segera diselesaikan dan dicari jalan keluarnya dan Kemenpora harus bisa bertindak sebagai penengah dalam hal ini. Entah nantinya akan tetap berdiri sendiri-sendiri atau kembali bergabung menjadi satu organisasi yang tentunya harus mengubah Undang-Undang SKN tahun 2005, diharapkan perang dingin menjurus terbuka yang selama ini terjadi bisa segera dihentikan.

Pasalnya, jika KONI dan KOI saja berseteru, maka bukanlah hal yang mengherankan jika di setiap Pengurus Pusat (PP) atau Pengurus Cabang (Pengcab) ada banyak pertikaian. Dan inilah yang sudah terjadi di beberapa PP Cabor di Indonesia.

Kemelut akan bertambah panjang jika KOI dan KONI berseteru karena pihak-pihak dari PP Cabor akan kebingungan mencari tempat untuk mengadukan masalah. Jika pihak A mengadu kepada KONI bukan tidak mungkin pihak B meminta dukungan pada KOI sehingga konflik yang ada malah kemudian menjadi berlarut-larut.

Jika konflik di salah satu PP Cabor terus terjadi, tentunya ini akan berdampak langsung pada proses pembinaan atlet. Waktu yang seharusnya mereka gunakan untuk menyusun program, akhirnya malah dihabiskan untuk berdebat memperebutkan kekuasaan.

Lebih lanjut, Imam Nahrawi pun mesti melihat kalender ajang multi event yang terbentang hingga empat tahun ke depan. Memang benar, bahwa ajang Asian Games 2018 yang merupakan puncak unjuk kemampuan olahraga Indonesia mengingat ajang tersebut akan diselenggarakan di rumah sendiri dan berada di ujung periode kepemimpinan Imam Nahrawi.

Namun hal itu kemudian tidak lantas membuat Indonesia harus melupakan Olimpiade Rio de Janeiro pada tahun 2016. Bagaimanapun, Olimpiade adalah ajang multi event tertinggi dan sudah sepantasnya tetap menjadi prioritas utama Indonesia.

Bagaimana Indonesia melihat seberapa penting Olimpiade 2016 nantinya bisa dilihat dari cara Indonesia memperlakukan pelatnas angkat besi di tahun 2015. Dengan tidak dipertandingkan di SEA Games 2015 di Singapura, menarik dilihat apakah pemerintah masih akan menunjang dan mendukung program angkat besi dengan baik dan memastikan kontinuitasnya tetap berjalan.

Angkat besi adalah salah satu dari sedikit cabang olahraga yang mampu menyumbangkan medali emas di Olimpiade. Sudah sepatutnya cabang ini mendapat keistimewaan terlebih terbukti di Olimpiade terakhir saat bulu tangkis gagal memberikan medali, angkat besi sukses menyelamatkan muka Indonesia lewat torehan satu perak dan satu perunggu. Karena itu kontinuitas pelatnas angkat besi tahun ini adalah harga mati. Jangan sampai hanya dengan alasan ‘prioritas cabang olahraga di SEA Games 2015’ membuat angkat besi terpinggirkan karena itu artinya Pemerintah akan memperbesar resiko hampa medali di Olimpiade 2016 mendatang.

Untuk bulu tangkis yang juga menjadi andalan di Olimpiade, rasanya Imam Nahrawi tidak akan mengalami kendala besar karena pelatnas bulu tangkis sudah berjalan dengan baik tanpa kendala dana. Satu-satunya yang mesti cermat dilakukan Imam Nahrawi adalah bentuk dukungan nyata berupa kehadiran dan dorongan moril secara berkala yang tentunya membuat para pemain bulu tangkis merasa semakin diharapkan untuk berprestasi.

Kontinuitas kompetisi dalam negeri tentu kemudian menjadi salah satu hal yang masih menjadi pekerjaan rumah bagi Indonesia. Tak mungkin akan lahir atlet-atlet hebat jika roda kompetisi di dalam negeri tidak berputar dengan baik.

Sepak bola misalnya. Indonesia pun masih kesulitan untuk menggerakan laju sepak bola di negeri ini menjadi sebuah industri. Salah satu contoh kecil dari belum sehatnya kompetisi di Indonesia adalah perihal gaji telat dibayar atau bahkan tak dibayarkan hingga musim kompetisi selesai.

Hal itu tak lepas dari minimnya kesadaran klub-klub di Indonesia yang terlalu tinggi mengukur kemampuan diri. Mereka berani menjanjikan nominal rupiah dalam jumlah besar sementara pemasukan pun masih jauh api dari panggang. Masalah-masalah itu masih harus ditambah sejumlah masalah lain seperti kualitas wasit yang belum mumpuni, pemain yang kurang menjunjung tinggi fair play, dan pelaksana dan pengawas liga yang terkadang membuat aturan yang membingungkan.

Dalam tahap berproses menuju olahraga industri, NBL Indonesia dan Proliga juga turut ambil bagian di dalamnya. Namun lantaran menggunakan sistem seri, maka klub-klub peserta kompetisi di dalamnya masih sulit untuk menemukan cara bagaimana mendapat pemasukan selain dari dana pemilik klub dan sponsor yang jumlahnya masih tak seberapa.

Pada kompetisi profesional, tentunya peran pemerintah sudah sangat minim karena kompetisi tersebut sudah bisa bergerak dengan sistemnya sendiri. Namun dalam proses transisi, peran pemerintah pastinya diharapkan sebagai jembatan menuju ke arah sana.

Untuk olahraga lainnya yang masih jauh dari kata industri olahraga, pemerintah sepatutnya harus bisa mendorong agar kejuaraan nasional, kejuaraan antar daerah, dan kejuaraan tingkat di bawahnya bisa berlangsung secara intensif. Karena dari kompetisi yang konsisten inilah bibit-bibit pemain hebat bisa lebih mudah didapatkan.

Menarik lingkup lebih luas, Imam Nahrawi juga harus bisa mendorong agar kondisi Indonesia dalam menghadapi persiapan sejumlah multi event tidak lagi seperti yang sudah terjadi. Dana untuk program pelatnas yang sering telat, uang saku bulan Maret yang baru dibayar bulan Juni, peralatan latihan yang baru datang jelang pertandingan, adalah deret-deret masalah yang harus siap dihadapi dan diselesaikan oleh Imam Nahrawi.

Asian Games 2018 memang masih empat tahun lagi, namun persiapannya mesti benar-benar dilakukan sejak saat ini. Bukan hanya sekedar mengacu pada hasil, melainkan pula pada sistem manajemen persiapan menghadapi ajang multi event yang lebih baik lagi nantinya.

Percuma jika Indonesia bisa mencapai target masuk lima besar di Asian Games 2018, namun manajemen persiapan atlet menuju tiap ajang multi event masih berantakan dan tidak terpola dengan baik. Karena warisan pembentukan manajemen, proses persiapan, dan perilaku negara terhadap atlet akan jauh lebih berharga dan bisa bertahan lebih lama.

Sejauh mana senyum optimisme Imam Nahrawi bisa bertahan menghadapi kumpulan masalah di dunia olahraga Indonesia saat ini, biar waktu yang memberikan sendiri jawabannya.

menpora 1

-Putra Permata Tegar Idaman-

Saat Tontowi/Liliyana Masuk Jalur Lambat

Tidak ada yang aneh dengan kuda yang bisa berlari dengan cepat di alam bebas karena kuda memang memiliki karakteristik seperti itu dan orang secara umum pun kemudian menganggap hal itu sebagai sebuah hal yang jamak dan lumrah.

Jika suatu hari, ada kura-kura yang mampu berlari dengan cepat, maka itu akan menjadi sebuah hal yang luar biasa sampai pada akhirnya hal itu kemudian menjadi biasa setelah kura-kura tersebut mampu berulang kali melakukannya.

Sebuah hal luar biasa yang dilakukan berulang-ulang kemudian terkadang menjadi sebuah hal biasa dan lumrah untuk terjadi. Dan itulah yang kiranya sedang dialami oleh Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir.

Setelah gagal menjadi juara atau bahkan sekedar meraih medali di Olimpiade 2012, Tontowi/Liliyana sejatinya telah sukses menampilkan pertunjukan balas dendam yang sangat memukau. Pada 2013, mereka memenangi dua titel terbesar yang ada pada tahun itu, yaitu All England dan Kejuaraan Dunia. Puja-puji bahwa Tontowi/Liliyana kali ini adalah sosok yang berbeda kemudian mengalir.deras.

Masuk ke tahun 2014, pujian terus mengalir seiring keberhasilan Tontowi/Liliyana mampu menyabet gelar juara All England untuk ketiga kalinya secara beruntun. Namun sayangnya, setelah menang di Singapura Super Series, lemari trofi Tontowi/Liliyana tak lagi kedatangan trofi juara.

Gagal menuntaskan ambisi untuk menjadi juara di rumah sendiri pada ajang Indonesia Super Series Premier, Tontowi/Liliyana malah justru harus menerima nasib buruk harus terparkir selama tiga bulan lantaran cedera kaki yang dialami oleh Tontowi dalam masa persiapan mereka di Australia Super Series.

Lantaran cedera itu pula, Tontowi/Liliyana harus melupakan ambisi mereka untuk mencoba mempertahankan gelar juara dunia yang mereka miliki. Mereka harus rela menjadi penonton di layar televisi dan menyaksikan bagaimana rival-rival mereka selama ini berebut trofi juara tanpa kehadiran mereka di sana.

Melewatkan Kejuaraan Dunia 2014, harapan tetap ditumpukan oleh Tontowi/Liliyana agar mereka mampu mendapatkan medali emas di Asian Games. Publik berharap absennya mereka dari arena pertandingan selama tiga bulan bisa jadi dorongan dan penambah rasa lapar untuk meraih trofi juara.

Dan mungkin hal itu kemudian yang membuat publik melupakan atau mencoba mengacuhkan bahwa Asian Games adalah turnamen perdana Tontowi/Liliyana pasca sembuh dari cedera. Jelas tidak mudah menemukan ritme permainan terbaik di turnamen perdana pasca cedera terlebih turnamen tersebut adalah turnamen dengan tensi yang sangat tinggi.

Namun ternyata Tontowi/Liliyana mampu melakukannya dengan baik atau hampir melakukannya dengan baik bagi sebagian orang. Tontowi/Liliyana sukses melaju ke babak final Asian Games dengan mengesankan namun sayangnya mereka takluk dengan mudah di tangan Zhang Nan/Zhao Yunlei di babak final.

Bagi sebagian orang, performa Tontowi/Liliyana di babak final Asian Games sangatlah mengecewakan. Mungkin mereka bisa menerima jika Tontowi/Liliyana harus kalah, namun tentunya dengan cara yang tidak semudah hari itu.

Mungkin ada yang mereka lupa bahwa ada hari dimana mereka mendapat ‘bad day’ dan bermain jauh di bawah kemampuan terbaik mereka. Dan sayangnya, hari itu ternyata datang bertepatan dengan babak final Asian Games lalu. Hal itu bukan berarti kemampuan mereka kalah jauh dari Zhang Nan/Zhao Yunlei saat ini, melainkan mereka gagal menerapkan strategi yang tepat saat itu dan kemudian menjadi tertekan sepanjang pertandingan. Belum lagi faktor bahwa Asian Games adalah turnamen perdana setelah tiga bulan mereka tak pernah turun bertanding sama sekali.

Tak bisa dimungkiri, Tontowi/Liliyana jelas merupakan satu dari sedikit pemain yang dipunyai Indonesia yang tampil hebat saat ini. Hal itu bisa dilihat dari torehan prestasi mereka selama ini. Tahun ini, mereka tidak pernah terhenti sebelum babak semifinal jika mengikuti sebuah turnamen. Kegagalan terakhir Tontowi/Liliyana masuk semifinal di turnamen super series adalah pada turnamen Prancis Super Series 2013 lalu.

Seperti yang sudah tertulis di atas, ada kecenderungan hal-hal luar biasa akan terlihat menjadi biasa jika terus terjadi selama berulang-ulang dan konsisten. Seperti dalam dua turnamen super series terakhir Tontowi/Liliyana di Eropa, Denmark dan Prancis. Kemenangan Tontowi/Liliyana di Prancis pun terlihat sangat biasa dan sewajarnya.

Dengan adanya harapan Tontowi/Liliyana bisa terus menjadi andalan hingga Olimpiade Rio de Janeiro 2016 mendatang, memang mutlak kiranya PBSI perlu melakukan terobosan terhadap perkembangan ganda ini.

AG 23

Pasalnya, Tontowi/Liliyana tak berdiri sendiri sebagai penguasa nomor ganda campuran. Zhang Nan/Zhao Yunlei, Xu Chen/Ma Jin, dan Joachim Fischer Nielsen/Christinna Pedersen berdiri sejajar bersama mereka sebagai penguasa nomor ini. Konsistensi Tontowi/Liliyana memang sudah teruji dengan selalu masuk semifinal, namun tetap saja mereka harus bertarung mati-matian di fase akhir melawan musuh-musuh besar mereka yang juga selalu tampil konsisten dan sulit dikalahkan oleh ganda campuran lainnya di luar ganda empat besar.

Ide untuk melepaskan sejenak duet Tontowi/Liliyana di Hong Kong Super Series mendatang rasanya bukan sebuah ide yang buruk untuk dicoba. Hal itu tidak lain karena selama ini Tontowi/Liliyana selalu datang dengan instruksi dan tekad untuk berlari sekencang-kencangnya di lintasan perlombaan.

Dengan tidak lagi berpasangan untuk sementara, Tontowi dan Liliyana nantinya bisa sejenak melepaskan diri dari beban dan tuntutan untuk selalu berprestasi di tiap turnamen yang diikuti.

Bersama Debby, Tontowi mungkin bisa lebih banyak belajar dan berperan sebagai pemain yang lebih senior di lapangan setelah selama ini Tontowi lebih berperan sebagai ‘sosok junior’ bersama Liliyana. Tontowi dituntut lebih bertanggung jawab di lapangan dan membimbing Debby.

Sementara itu Liliyana juga mungkin akan mendapat banyak pelajaran tambahan saat berpasangan dengan Praveen. Jika Liliyana telah terbukti sukses membimbing Tontowi, kini saatnya Liliyana membuktikan dalam satu turnamen ini bahwa ia juga merupakan sosok hebat yang fleksibel dan tetap mampu memberikan performa hebat saat berpasangan dengan Praveen yang merupakan ‘anak kemarin sore’ di Pelatnas Cipayung. Bersama Praveen, Liliyana juga dituntut untuk lebih sabar dalam bersikap di lapangan dibandingkan ketika ia berduet bersama Tontowi.

Menariknya, semua tantangan dan pelajaran ini akan didapat Tontowi dan Liliyana tanpa diiringi oleh beban untuk berprestasi. Berlabel “duet coba-coba” maka mereka akan bermain dengan leluasa dan tanpa beban berlebihan.

Tontowi dan Liliyana selama ini sudah terus berlari dan bertarung di jalur cepat dan dituntut untuk terus berprestasi. Tidak ada salahnya jika mereka diberi sedikit waktu untuk menepi. Agar mereka bisa saling merefleksi diri untuk kemudian kembali berlari ke jalur cepat dan berlomba untuk menjadi yang terhebat lagi.

-Putra Permata Tegar Idaman-