Tahun 2014 beberapa hari lagi usai. Tentunya banyak kenangan tertinggal di jejak-jejak langkah yang telah dibuat sepanjang tahun ini berlangsung, baik itu kenangan manis maupun pahit. Ini berlaku untuk semuanya, baik individu maupun organisasi.
Pun begitu halnya dengan bulu tangkis Indonesia. Tahun 2014 yang sebentar lagi berlalu tentunya meninggalkan banyak kenangan, baik itu bagi Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI) maupun bagi para pemain-pemain bulu tangkis kebanggaan negeri ini.
Dimulai dari target besar, Indonesia mencanangkan lima target besar ditahun 2014 ini yaitu All England, Piala Thomas-Uber, Kejuaraan Dunia, Asian Games, dan BWF Final Super Series. Indonesia sukses memenuhi target di All England dan Asian Games namun gagal di gelaran Piala Thomas-Uber, Kejuaraan Dunia, dan BWF Final Super Series. Kelima turnamen itu sendiri memberikan penggambaran jelas bagaimana kondisi bulu tangkis Indonesia saat ini.
Di All England, bulu tangkis Indonesia diberikan kemungkinan terbaik yang bisa terjadi hanya dengan memiliki dua pemain papan atas dunia, Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan dan Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir. Ketika keduanya memiliki persiapan yang sangat cukup, kondisi tubuh yang prima, kondisi psikologis yang sempurna, mereka mampu menampilkan peak performance di tiap pertandingan yang mereka mainkan. Alhasil, dua gelar juara pun mampu dibawa pulang.
Di Thomas-Uber, bulu tangkis Indonesia ditunjukkan bahwa menjadi juara di ajang ini tanpa memiliki kekuatan yang mumpuni di nomor tunggal, baik tunggal putra maupun putri, adalah suatu misi yang bisa dikatakan hampir mustahil. Dengan format lima pertandingan dimana tiga diantaranya adalah nomor tunggal, jelas nomor ini memegang kunci penting dalam upaya Indonesia untuk kembali merebut gelar juara.
Tanpa kekuatan yang hebat di nomor tunggal, Indonesia harus menerima kenyataan pahit kalah 0-3 dari Malaysia di babak semifinal Piala Thomas dan takluk 0-3 di hadapan India pada babak perempat final Piala Uber. Pola dua kekalahan tersebut nyaris sama, yaitu di nomor tunggal kalah kelas sementara pada nomor ganda wakil Indonesia yang turun tak mampu bermain pada kemampuan terbaik mereka karena terbebani target harus menang dan menyumbang poin sebelum pertandingan.
Di Kejuaraan Dunia 2014, bulu tangkis Indonesia ditunjukkan fakta pedih bahwa minimnya andalan akan membuat keadaan berubah menjadi sangat buruk dalam waktu singkat. Cedera telapak kaki yang dialami Tontowi dan cedera pinggang yang ada pada diri Ahsan membuat Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana tak bisa berangkat ke Copenhagen untuk mempertahankan status juara dunia.
Tanpa Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana, harapan meraih dua gelar juara dunia seperti halnya pada tahun 2013 menjadi mimpi muluk belaka. Dan memang benar itu yang terjadi, jangankan gelar juara, Indonesia bahkan tak punya wakil di babak final.
Di Asian Games 2014, bulu tangkis Indonesia ditunjukkan fakta betapa menyenangkannya jika memiliki wakil lain di luar Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana yang bisa diandalkan untuk menjadi juara. Gelaran Asian Games sendiri berlangsung hanya beberapa pekan setelah Kejuaraan Dunia usai. Bagi Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana, Asian Games adalah turnamen perdana mereka pasca absen di Kejuaraan Dunia.
Walaupun langsung mendapatkan turnamen dengan tingkat tekanan tinggi pasca sembuh dari cedera, Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana mampu menjawab hal itu dengan penampilan apik dimana keduanya sukses lolos ke babak final.
Namun seperti diketahui, final selalu menghadirkan dua kemungkinan, yaitu menang dan kalah. Setelah sama-sama bersuka ria dan menjadi juara di Kejuaraan Dunia 2013 dan All England 2014, kali ini Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana berbeda jalan. Ahsan/Hendra sukses menjadi juara sementara Tontowi/Liliyana harus puas di peringkat kedua.
Namun, Indonesia pada akhirnya bisa tersenyum lantaran target dua emas dari cabang bulu tangkis bisa tetap dipenuhi walau Tontowi/Liliyana gagal juara. Hal ini tidak lain lantaran performa gemilang Greysia Polii/Nitya Krishinda Maheswari sepanjang Asian Games berlangsung. Ditargetkan meraih medali, Greysia/Nitya sukses menjawabnya dengan kalungan medali emas di leher mereka.
Di BWF Final Super Series, bulu tangkis Indonesia diperlihatkan bahwa semestinya target besar yang dicanangkan harus sinkron dengan persiapan yang dilakukan. Pemetaan fokus pemain dan durasi persiapan harus dilakukan dengan lebih jeli. Pada BWF Final Super Series kemarin, terlihat jelas bahwa pemain datang ke Dubai dengan kondisi lelah, baik fisik maupun psikis sehingga Indonesia pun harus pulang dengan tangan hampa pada ajang ini.
Di luar target-target besar yang dicanangkan oleh Indonesia, secara umum prestasi bulu tangkis Indonesia pada tahun ini boleh dibilang hanya sedikit mengalami kemajuan dengan tetap meninggalkan banyak pekerjaan rumah setelah ini.
Dari total 12 turnamen super series/premier plus 1 super series finals, Indonesia hanya mampu mendapat enam gelar juara saja dari kemungkinan meraih 65 titel juara. Memang titel itu masih membuat Indonesia menempati urutan ketiga di bawah Cina yang begitu superior dengan 33 titel juara dan Korea (7 gelar juara), namun jika torehan ini dikaitkan dengan ambisi bangkitnya bulu tangkis Indonesia di era kepemimpinan Gita Wirjawan, sepertinya hal ini masih sangat jauh dari harapan.
Belum lagi jika menengok fakt bahwa lima dari enam gelar tersebut diraih oleh Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana, maka makin tergambar jelas bahwa Indonesia masih begitu bergantung pada empat sosok ini di tiap kejuaraannya.
Di ajang grand prix gold/grand prix, Indonesia meraih total 17 gelar dan berada di bawah Cina yang membukukan 23 gelar. Namun yang patut menjadi catatan, pelatnas hanya mampu meraih tujuh gelar dari keseluruhan gelar Indonesia di ajang grand prix gold/grand prix, sebuah pertanda bahwa pemain yang ada di Cipayung belum unjuk gigi sejauh ini.
Hal paling positif dari pelatnas Cipayung tahun ini adalah kesuksesan Greysia/Nitya di ajang Asian Games 2014. Greysia/Nitya sukses membuktikan bahwa nomor ganda putri yang dalam beberapa dekade terakhir sering disebut sebagai nomor paling lemah yang dimiliki Indonesia, justru mampu memberikan kepingan medali emas di saat nomor lainnya terkulai tak berdaya.
Untuk Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana, performa dua wakil ini masih terbilang konsisten di tiap turnamen yang masuk dalam target besar PBSI. Namun dibandingkan tahun lalu, beban Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana jelas terasa makin berat saat ini lantaran belum banyak pemain Indonesia lainnya yang mampu diandalkan menjadi juara.
Performa para pemain lapis utama di luar para pemain yang disebut di atas masih sangat jauh dari harapan. Dengan demikian, hanya Greysia/Nitya yang mampu masuk line up sebagai andalan tambahan menemani Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana pada tahun mendatang, itu pun masih perlu pembuktian lebih lanjut.
Di tingkat pemain muda, sejumlah prestasi menggembirakan terjadi namun tentunya prestasi tersebut lebih condong ke arah investasi masa depan mengingat mereka akan belum cukup matang untuk menghadapi target jangka pendek untuk dua tahun ke depan seperti Kejuaraan Dunia 2015 dan Olimpiade 2016.
Kemajuan yang terbilang sedikit ini tentu harus dibayar PBSI dan seluruh atlet bulu tangkis Indonesia di tahun 2015. Mereka harus berlari lebih kencang untuk bisa menutup kekurangan yang mereka lakukan di tahun ini.