Dan Tak Ada Lagi Ungkapan ‘Kita Memang Kalah di Atas Kertas’

Sebuah jumping smash keras dilontarkan oleh Hendrawan ke sisi kanan pertahanan Roslin Hashim. Smash itu masih bisa dikembalikan namun berujung pada sebuah pengembalian tanggung di depan net. Hendrawan tak menyia-nyiakan peluang itu. Ia langsung menyergap shuttlecock tersebut dan Roslin pun tak mampu membendung serangan Hendrawan kali ini.

Masuk! Skor menjadi 7-1 untuk Hendrawan. Ia memastikan kemenangan atas Roslin. Tidak hanya itu, ia juga memastikan kemenangan Indonesia atas Malaysia di final Piala Thomas 2002 dengan skor 3-2. Hendrawan menunjuk ke arah tempat kubu Indonesia tengah duduk menonton pertandingan. Beberapa saat kemudian, Hendrawan berlari dan anggota tim lainnya mengejar Hendrawan. Mereka berpelukan dan Indonesia kembali berbahagia dalam sebuah kemenangan.

Gambar

copyright : badmintonphoto.com

Namun ternyata, selebrasi itu menjadi selebrasi terakhir yang bisa dilihat rakyat Indonesia di ajang Piala Thomas. Setelah momen itu, Indonesia selalu gagal menyabet gelar juara. Catatan gelar Indonesia di ajang Piala Thomas terhenti di angka 13, angka yang sering disebut sebagai angka sial.

Namun terhentinya gelar Indonesia di angka 13 ini sendiri jelas bukan sekedar lantaran faktor angka sial. Indonesia tak pernah lagi menjadi juara karena materi tim yang ada memang kemudian tak sementereng pada tahun-tahun kejayaan.

Alhasil kemudian muncullah kalimat ‘kita memang kalah di atas kertas’ dari berbagai pihak seiring dengan kegagalan-kegagalan Indonesia di tiap tahun penyelenggaraan Piala Thomas. Sebuah ucapan yang juga berisi pemakluman bahwa memang secara materi Indonesia sedang di bawah negara lain, utamanya Cina.Sehingga ketika kalah, apalagi jika menghadapi Cina, maka hal itu menjadi sebuah kewajaran. Kritik baru benar-benar datang ketika Indonesia terempas terlalu dini seperti misalnya pada perempat final Piala Thomas 2012 lalu. Selebihnya, kekalahan Indonesia di babak semifinal dan final seolah bisa dimaklumi dan diterima karena sudah sebagaimana mestinya.

Hal itu kemudian menjadi menarik ketika melihat situasi Indonesia jelang Piala Thomas kali ini. Bagaimana tidak, Indonesia ditempatkan sebagai unggulan pertama, di atas Cina, Korea, Denmark, Jepang dan tentunya negara-negara lainnya.

Indonesia mengoleksi 294.796 poin, hanya unggul sekian ratus dari Cina yang ada di tempat kedua. Meski demikian, posisi Indonesia jelas sah sebagai unggulan pertama dan dengan demikian kalimat ‘kita memang kalah di atas kertas’ tidak berlaku lagi di penyelenggaraan Piala Thomas kali ini. Indonesia yang nomor satu di atas kertas, dan Indonesia yang berarti paling dijagokan meraih gelar juara di penyelenggaraan Piala Thomas kali ini.

Jika ditelaah perbandingan poin antara Indonesia versus Cina, memang kemudian status sebagai unggulan nomor satu yang dimiliki Indonesia menjadi semakin menarik. Dari lima elemen yang dijadikan dasar penentuan unggulan, yaitu tiga tunggal teratas dan dua ganda teratas tiap negara, Indonesia justru selalu kalah dalam perbandingan head to head poin di tiap nomor tunggal, baik itu tunggal pertama, kedua, maupun ketiga. Indonesia sendiri akhirnya bisa melampaui total poin milik Cina lantaran memiliki selisih poin yang lebih signifikan di nomor ganda, baik ganda pertama maupun ganda kedua.

Dengan demikian, muncullah sebuah asumsi bahwa Indonesia menjadi unggulan pertama pada perhelatan Piala Thomas kali ini bukan lantaran Indonesia sudah benar-benar bangkit dari keterpurukan, melainkan lantaran posisi negara lain, khususnya dalam hal ini Cina, tengah melemah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Apapun asumsi yang ada, yang jelas tahun ini adalah tahun terbaik bagi Indonesia untuk bisa memboyong kembali Piala yang namanya diambil dari Sir George Thomas ini. Peluang bagi Indonesia di tahun-tahun sebelumnya tidak pernah sebesar tahun ini. Status unggulan pertama pun akan semakin menaikkan motivasi dan mental bertanding para pejuang-pejuang Indonesia nantinya.

Tetapi, optimisme untuk bisa menghentikan laju kemenangan beruntun Cina ini jangan sampai membuat Indonesia  lengah dan terlena menghadapi ancaman dari negara-negara lainnya. Meski jelas bahwa saingan utama menuju garis finis adalah Cina, namun negara-negara lain tetap berpotensi untuk menyingkirkan Indonesia dari arena persaingan.

Denmark menjadi salah satu tim yang patut diwaspadai mengingat barisan pemain muda mereka pun berbahaya dan siap meledakkan kejutan bagi tim-tim lawan termasuk Indonesia. Malaysia pun pastinya tak boleh ketinggalan untuk diwaspadai karena faktor Lee Chong Wei dan semangat mereka yang pastinya makin meninggi lantaran faktor rivalitas bangsa serumpun jika bertemu Indonesia.

Korea tak boleh diremehkan meskipun mereka kehilangan pasukan ganda terbaiknya sementara Jepang harus diingat dalam-dalam sebagai penjegal Indonesia di dua tahun sebelumnya sehingga patut kiranya untuk tidak lupa untuk balas dendam.

Indonesia sudah unggul di atas kertas dan kini jelas rakyat berharap keunggulan di atas kertas tersebut benar-benar diaplikasikan di lapangan. Indahnya jika Piala Thomas kali ini berjalan tanpa kejutan. Unggulan terdepan keluar sebagai pemenang, dan Piala Thomas kembali ke pangkuan.

 

-Putra Permata Tegar Idaman-

Someday I’ll be Saturday Night

I’m feelin’ like a Monday, but someday I’ll be Saturday night 

Lirik di atas adalah penggalan dari refrain lagu Someday I’ll be Saturday Night milik Bon Jovi. Lagu itu sendiri berisi tentang orang-orang yang tengah menghadapi ujian berat dalam hidupnya. Meski tengah kesulitan dan mengalami masalah berat yang akhirnya dianalogikan sebagai hari Senin (Monday), mereka tak pernah kehilangan harapan bahwa mereka akan tetap meraih bahagia yang dianalogikan sebagai Sabtu Malam (Saturday Night) pada akhirnya.

Gambar

Lagu itu sendiri kemudian menjadi menarik didengar dan rasanya berhubungan dengan kondisi bulu tangkis Indonesia saat ini. Hal itu bisa dilihat dari hasil Swiss Grand Prix Gold yang telah usai dengan Cina menjadi peraih gelar terbanyak lewat tiga gelar sementara Denmark dan Inggris meraih masing-masing satu gelar. Indonesia ? kali ini Indonesia harus puas mengakhiri turnamen tanpa torehan gelar juara.

Maju ke turnamen tanpa kehadiran fantastic four, Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan dan Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir, Indonesia harus menerima kenyataan bahwa mereka tak mampu meraih gelar di Swiss Terbuka. Padahal jika menilik nama-nama yang dikirim ke Swiss, nama-nama itu sendiri adalah nama-nama yang juga merupakan tulang punggung utama Indonesia saat ini dan beberapa waktu ke depan.

Torehan terbaik di turnamen ini didapat oleh Greysia Polii/Nitya Krishinda Maheswari yang mampu melaju ke partai puncak. Sayang, di partai puncak mereka gagal melewati adangan dari Bao Yixin/Tang Jinhua, satu dari sekian banyak ganda tangguh milik Cina.

Berkaca dari hasil-hasil Indonesia di luar pencapaian fantastic four, Indonesia memang harus terus berbenah. Sebagai gambaran, untuk tahun lalu dari 11 gelar super series/super series premier yang didapat Indonesia, hanya dua gelar yang bukan berasal dari Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana yaitu gelar di Singapura Super Series milik Tommy Sugiarto dan gelar Prancis Super Series milik Markis Kido/Marcus Fernaldi. Untuk tahun ini, dua gelar super series premier yang sudah didapat Indonesia pun tak lepas dari kreasi Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana.

Gambar

Sulit bersaing di level super series/super series premier, pemain Indonesia memang harus lebih dulu bersabar untuk berprestasi setahap demi setahap. Namun kenyataan yang ada, level turnamen grand prix gold/grand prix sendiri pun banyak diikuti oleh pemain top di dunia, sehingga mau tak mau para pemain di luar fantastic four ini harus bekerja keras jika ingin dirinya ikut diperhitungkan oleh pemain-pemain dari negara lainnya sebagai wakil Indonesia.

Dimulai dari nomor ganda putra dimana Wahyu Nayaka/Ade Yusuf dan Ricky Karanda/Berry Anggriawan yang bertugas sebagai andalan Indonesia di ajang Swiss Grand Prix Gold. Mereka belum berhasil menembus babak akhir turnamen karena terganjal oleh lawan-lawan yang notabene juga ada di level yang sama dengan mereka.

Dua ganda ini sendiri adalah nama yang juga masuk dalam bidikan untuk memperkuat Indonesia di ajang Piala Thomas mendatang, sebagai penyokong Ahsan/Hendra dan Angga Pratama/Rian Agung yang kemungkinan menjadi dua ganda utama. Dari segi kemampuan, Hendra sendiri pernah menyebut bahwa para juniornya di pelatnas ini memiliki kemampuan yang tidak jauh berbeda dengan dirinya. Dalam tiap pertandingan latihan di pelatnas, Hendra maupun Ahsan pun sering dibuat kerepotan oleh para juniornya.

Masuk ke nomor ganda campuran, nomor ini juga terus dipantau banyak orang mengenai siapa pasangan berikutnya yang bisa diandalkan setelah Tontowi/Liliyana. Praveen Jordan dan Debby Susanto menjadi produk unggulan di awal musim ini namun mereka sepertinya masih butuh waktu untuk bisa tampil makin padu. Sementara itu, Irfan Fadhilah/Weni Anggraeni dan Riky Widianto/Richi Puspita Dili yang juga menjadi tumpuan harapan Richard Mainaky, sejauh ini masih labil penampilannya.

Jika nomor ganda putra dan ganda campuran masih terlindungi oleh kilau Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana, tiga nomor lebih mendapatkan sorotan tajam terkait prestasi yang mereka ukir sejauh ini.

Di nomor tunggal putra, Tommy Sugiarto, Dionysius Hayom Rumbaka dan pebulu tangkis lainnya masih terus berjuang untuk mengembalikan pamor tunggal putra Indonesia sebagai salah satu tunggal putra terbaik di dunia, sebuah label yang sepertinya telah melekat sejak Indonesia mulai menceburkan diri secara serius di dunia bulu tangkis berpuluh tahun yang lalu.

Masuk ke nomor tunggal putri, Linda Wenifanetri, Bellaetrix Manuputty dan lainnya pun masih terus bersusah payah untuk bisa menyaingi kedigdayaan dan dominasi tunggal putri Cina. Munculnya barisan pemain muda Thailand yang mampu mendobrak persaingan pun makin menambah tekanan kepada diri mereka. Jika Thailand bisa, mengapa Indonesia tidak, itulah pertanyaan yang kemudian semakin membenamkan tunggal putri Indonesia.

Untuk nomor ganda putri, Greysia Polii/Nitya Krishinda Maheswari dan kawan-kawan pun terus diharapkan bisa menampilkan prestasi tinggi meskipun secara tradisi Indonesia pun tak begitu bagus di nomor ini sebagaimana torehan Indonesia di empat nomor lainnya.

Dari segi latihan, para pemain di luar Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana pun sejatinya melakukan hal yang sama. Mereka sama-sama bangun pagi, sejenak beristirahat siang, untuk kemudian kembali bercucuran peluh dalam sesi latihan sore.

Sebelum berpikir bahwa mereka harus bekerja lebih keras dari Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana, para pebulu tangkis Indonesia lainnya sepertinya mutlak bertanya masih adakah keyakinan dalam diri mereka bahwa mereka mampu berprestasi.

Meskipun keyakinan tanpa kerja keras adalah jalan di tempat, namun kerja keras tanpa keyakinan sendiri pun hanyalah berjalan tanpa arah.

Karena itu, para pebulu tangkis Indonesia mutlak tetap harus memelihara keyakinan dalam diri mereka. Keyakinan bahwa kerja keras mereka akan menunjukkan hasil nantinya. Keyakinan bahwa saat ini adalah masa-masa sulit bagi mereka sebelum nantinya mereka bisa berdiri di tempat yang sama dengan Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana.

Hey man I’m alive I’m takin’ each day and night at a time
Yeah I’m down, but I know I’ll get by
Hey hey hey hey, man gotta live my life
Like I ain’t got nothin’ but this roll of the dice
I’m feelin’ like a Monday, but someday I’ll be Saturday night

-Putra Permata Tegar Idaman-

Soekarno-Hatta, 11 Maret 2014

Gelap masih belum terlalu pekat ketika jam di dinding membentuk sebuah garis lurus vertikal. Pukul 6 sore demikian jarum panjang dan jarum pendek tersebut terbaca oleh mata manusia. 11 Maret 2014, Suasana Terminal Kedatangan Internasional Bandar Udara Soekarno-Hatta ramai oleh hilir mudik orang-orang. Ada yang hanyut dalam pelukan dan ada pula yang hanyut dalam tawa penuh kesenangan. Semua itu karena sebuah pertemuan, antara mereka yang pulang dan mereka yang menunggu di pintu kedatangan.

Setiap orang yang datang dari terminal kedatangan internasional itu pastinya merupakan sosok yang istimewa bagi mereka yang telah menunggunya. Maka ketika orang yang sudah ditunggu mulai samar-samar terlihat sosoknya, maka senyum pun mulai merekah dari mereka yang sedari tadi menunggunya.

Pertemuan di pintu kedatangan internasional pun banyak ragamnya. Ada satu orang yang juga menunggu satu orang, ada satu orang yang menunggu dua orang, dan ada pula satu orang yang menunggu banyak orang. Banyak orang menunggu satu orang atau banyak orang menunggu sekelompok orang pun juga bisa jadi kemungkinan yang terjadi di pintu kedatangan Bandara Soekarno-Hatta tersebut.

11 Maret 2014, tampak suasana di pintu keluar Bandara Soekarno-Hatta terlihat lebih ramai dibandingkan biasanya. Sudah lewat satu jam dari pukul enam ketika kumpulan orang semakin memadat dan membentuk blokade barisan di pintu kedatangan. Tidak hanya masyarakat umum, sejumlah peliput dengan kamera-nya pun turut berjejal sesak di kerumunan tersebut. Sejumlah pejabat pemerintahan dan PBSI pun menambah esensi dan arti dari keramaian ini.

Hari itu, empat orang yang sukses merebut dua gelar All England 2014, Mohammad Ahsan dan Hendra Setiawan serta Tontowi Ahmad dan Liliyana Natsir dijadwalkan tiba dan kembali menjejakkan kaki ke Indonesia. Sorak-sorai dari para penggemar bulu tangkis pun sudah mulai terdengar ketika waktu kedatangan mereka tinggal kurang dari 10 menit lagi.

Dan ketika akhirnya bayangan-bayangan orang-orang yang telah mereka tunggu mulai tampak di kejauhan, para penggemar pun sudah makin memanaskan suasana di sekitar Bandara dengan teriakan-teriakannya.

Gambar

Gambar

Gambar

Keriuhan pun mencapai klimaksnya ketika Ahsan, Hendra, Tontowi, dan Liliyana keluar dari pintu kedatangan dan benar-benar berdiri di hadapan mereka. Dinginnya malam sama sekali tak mampu meredam panasnya sambutan yang diadakan pada 11 Maret 2014 lalu.

Bagi para penggemar bulu tangkis, tentunya tak masalah untuk sekedar berdesak-desakan dalam suasana panas di Soekarno-Hatta malam itu. Semua itu pastinya bisa ditolerir dengan kebanggaan yang ikut mereka dapat sebagai bangsa Indonesia karena Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana sudah menjadi juara.  

Sementara itu bagi Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana, lelah karena perjuangan selama seminggu dan penerbangan selama belasan jam itu pun berganti dengan senyum bahagia karena sambutan yang mereka terima. Memang sambutan yang terbilang sederhana, namun cukup untuk menyentuh hati mereka. Sebagian lelah mereka pun terhapus oleh fakta bahwa kepulangan mereka dengan kemenangan ini dinanti oleh banyak orang.

Gambar

Gambar

Dan semoga hari seperti Selasa, 11 Maret 2014 akan terus hadir di waktu-waktu mendatang. Hari dimana Terminal dan Pintu Kedatangan Bandara Soekarno-Hatta memanggungkan sebuah pertemuan penuh kebahagiaan, antara bangsa Indonesia dengan para pahlawan yang pulang membawa kemenangan di tangan.

 -Putra Permata Tegar Idaman-

Musuh Terkuat Ahsan/Hendra

Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan sukses menjadi yang terbaik di All England 2014. Gelar ini jelas berarti banyak bagi Indonesia. Pertama, Indonesia kini bisa kembali bertepuk dada dan membanggakan nomor ganda putra sebagai nomor andalan mereka dan yang kedua Indonesia pun akhirnya meraih lebih dari satu gelar di All England dalam kurun waktu 20 tahun terakhir.

Untuk yang pertama, sejak Candra Wijaya/Sigit Budiarto menjadi juara pada tahun 2003, total Indonesia sudah tak lagi pernah meraih gelar juara All England di nomor ganda putra dalam 10 tahun terakhir. Hampa gelar ini merupakan durasi terlama, mematahkan rekor tanpa gelar ganda putra Indonesia di All England sebelumnya yang berlangsung dari tahun 1985-1991.

Yang kedua, bersama Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir, mereka pun sukses membuat Indonesia meraih lebih dari satu gelar untuk pertama kalinya sejak tahun 1994. Sebuah torehan yang seolah menggarisbawahi Indonesia masihlah negara besar di olahraga ini.

Keberhasilan Ahsan/Hendra menjadi yang terbaik di All England tahun ini sendiri jelaslah bukan sebuah hal yang di luar dugaan dan prediksi banyak orang. Jika pada tahun lalu masih banyak yang meremehkan kemampuan mereka, Ahsan/Hendra yang datang ke tahun 2014 adalah duet yang sudah melewati berbagai ujian dan tantangan sehingga mendapat reputasi dan respek yang tinggi. Status sebagai ganda putra nomor satu dunia dan unggulan pertama All England pun tak pelak membuat Ahsan/Hendra sedari awal sudah difavoritkan menjadi juara. Dan di akhir turnamen, Ahsan/Hendra sukses membuat pertarungan di ganda putra sesuai alur cerita dimana unggulan pertama menjadi juara.

Gambar

copyright : badmintonindonesia.org

Keberhasilan Ahsan/Hendra di All England ini sendiri kemudian membuat Ahsan/Hendra kini semakin sah menggenggam status sebagai ganda putra terbaik di planet ini. Dan jalan yang terbentang di depan pun seolah makin lapang bagi Ahsan/Hendra untuk makin menancapkan kekuasaan.

Melihat daftar peringkat BWF yang sering digunakan sebagai acuan, Ahsan/Hendra sendiri unggul jauh dari peringkat kedua Hiroyuki Endo/Kenichi Hayakawa. Tidak sampai di situ, para ganda kuat yang biasa jadi batu sandungan Ahsan/Hendra pun tengah bergulat dengan permasalahan masing-masing.

Pasukan ganda Korea saat ini tengah terjembab setelah Lee Yong Dae dan Kim Ki Jung terbelit sanksi lantaran alpa memberikan laporan terkait tes doping. Tidak adanya Yong Dae dan Ki Jung membuat Korea kehilangan dua ganda andalan sementara ini. Dua nama ganda senior Cai Yun/Fu Haifeng dan Koo Kien Keat/Tan Boon Heong pun kini tinggal menjadi cerita. Mereka telah berpisah dan mungkin akan mencoba peruntungan dengan pasangan masing-masing. Praktis tantangan Ahsan/Hendra di waktu depan mungkin hanya Endo/Hayakawa, Mathias Boe/Carsten Mogensen, atau Liu Xiaolong/Qiu Zihan yang saat ini pun masih terus berjuang untuk bisa tampil konsisten.

Lalu siapa sebenarnya musuh terkuat Ahsan/Hendra saat ini? Musuh terkuat Ahsan/Hendra adalah mereka yang terlihat di cermin ketika Ahsan dan Hendra bangun pagi sebelum latihan. Musuh terkuat Ahsan/Hendra adalah mereka yang juga terlihat kelelahan di cermin ketika Ahsan/Hendra usai latihan. Musuh terkuat Ahsan/Hendra adalah mereka yang juga terlihat tersenyum bahagia di cermin Ahsan/Hendra tertawa bahagia seusai menjadi juara. Musuh terkuat Ahsan/Hendra saat ini tak pelak adalah diri mereka sendiri. Bagaimana Ahsan/Hendra bisa menjaga performa mereka saat ini adalah hal yang paling menarik untuk disaksikan setelah ini.

Ahsan tahun ini 27 tahun dan Hendra tahun ini 30 tahun. Dengan demikian, Ahsan/Hendra sendiri akan berkejaran dengan waktu untuk mengumpulkan prestasi tertinggi. Tentang hal ini, Ahsan/Hendra sendiri pun tak perlu memaksakan diri untuk berlari sekencang mungkin di tiap lintasan mengimbangi waktu yang berputar. Mereka dan tim pelatih harus jeli menentukan mana perlombaan yang penting bagi mereka untuk berlari dan mana perlombaan yang bisa mereka tinggalkan sejenak untuk rehat.

Meski berusia tiga tahun lebih muda dari Hendra, Ahsan sendiri memiliki riwayat cedera dalam dirinya, yang utama adalah cedera pinggang dan cedera bahu. Sementara itu Hendra sendiri sudah tak lagi muda sehingga ritme permainannya pun mesti dijaga dengan tidak terlalu sering berangkat ke tiap turnamen yang ada. Sekedar melongok ke belakang, salah satu sebab terhentinya torehan kemenangan beruntun Ahsan/Hendra di Indonesia GPG tahun lalu adalah karena mereka sudah lelah dalam hal fokus bertanding.

Selain itu, tak selalu berlomba dengan waktu di tiap lintasan pun membuat Ahsan/Hendra bisa sejenak lepas dari sorotan. Karena ketika Ahsan/Hendra ada di dalam lintasan, maka semua pun berharap mereka menjadi yang terdepan dan jelas itu merupakan sebuah beban. 

Yang melegakan, Ahsan/Hendra sama sekali tidak mengalami kendala soal motivasi untuk mengukir prestasi. Soal pengumpulan prestasi, Hendra yang koleksi gelar bergengsinya sudah lengkap pun telah menyatakan komitmennya. Sebagai pribadi, koleksi gelar Hendra memang sudah lengkap, mulai dari juara dunia, juara Olimpiade, juara All England, hingga juara Asian Games. Namun sebagai elemen dalam duet Ahsan/Hendra, Hendra menganggap dirinya masihlah lapar gelar. Masih banyak gelar yang ingin dimenanginya setelah ini.

Selain itu, Ahsan dan Hendra sendiri mendapatkan motivasi tambahan tahun ini lewat kehadiran anak-anak mereka. Tentunya baik Ahsan dan Hendra ingin tetap dikenal sebagai raja ganda putra ketika anak-anak mereka sudah mulai belajar mengenai dunia dan orang-orang di sekitarnya.

 

 

Tontowi/Liliyana dan Three-Peat All England (Mission Completed)

Harapan publik Indonesia dan Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir terwujud. Setelah melalui tiga match point, Tontowi/Liliyana sukses memastikan torehan three-peat mereka di ajang All England. Keberhasilan mereka meraih tiga gelar juara ini jelas memberikan bukti tegas bahwa kelak nantinya Tontowi/Liliyana adalah sah masuk dalam kategori legenda dalam ensiklopedia bulu tangkis Indonesia.

Melihat sukses Tontowi/Liliyana meraih tiga gelar All England beruntun, tentunya pujian langsung datang mengalir deras kepada mereka. Terlebih, performa mereka di babak final melawan Zhang Nan/Zhao Yunlei kemarin sungguh mengesankan. Cara defense, transisi posisi di lapangan, dan cara serangan mereka terangkum sempurna dan selalu seirama.

Mempertahankan lebih sulit daripada merebut. Itu yang sering dikatakan banyak orang. Lalu dari dua kali kesuksesan mempertahankan gelar juara All England (tahun 2013 dan 2014), manakah yang lebih sulit?

Tahun lalu, Tontowi/Liliyana berada dalam kondisi sulit. Kegagalan di Olimpiade London 2012 masih membayangi performa mereka setelah itu. Duet ini bahkan sempat mendapat ulitimatum akan dipecah jika tak juga menemukan momentum untuk bangkit. Tambah lagi, saat itu Tontowi/Liliyana boleh dibilang satu-satunya pemain papan atas yang dimiliki oleh Indonesia saat itu. Tontowi/Liliyana kemudian diperam selama awal tahun sebagai bagian dari tekad menciptakan kebangkitan. Strategi ini berhasil. Tontowi/Liliyana meledak di All England dan sukses mempertahankan gelar juara yang pertama kali diraih tahun 2012 lalu.

Untuk tahun ini, praktis rintangan yang ada berkurang. Kondisi Tontowi/Liliyana sedang dalam kondisi yang bagus karena berstatus sebagai juara dunia 2013. Tidak hanya itu, dari segi tumpuan meraih gelar, mereka kini bisa berbagi nasib dengan Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan. Jadilah mereka terlihat lebih rileks dalam menghadapi All England tahun ini.

Satu kendala besar yang mengadang mereka di All England kali ini terletak pada besarnya ambisi mereka untuk kembali menjadi juara itu sendiri. Hal itu yang kemudian malah dikhawatirkan akan membebani diri mereka ketika tampil di lapangan.

Tetapi ternyata rintangan berupa diri sendiri itu berhasil mereka taklukkan. Tontowi/Liliyana tampil sempurna dari pertandingan ke pertandingan. Puncak perjalanan mereka di All England bahkan ditutup dengan penuh gaya lewat penampilan agresif melawan Zhang Nan/Zhao Yunlei asal Cina.

Gambar

copyright : badmintonindonesia.org

Kemenangan di All England untuk ketiga kalinya ini sendiri jelas menunjukkan bahwa Tontowi/Liliyana sudah semakin matang sebagai pasangan ganda. Tak terlihat lagi Tontowi yang canggung di lapangan dan Liliyana yang tak mampu mengontrol emosi ketika mereka dalam kondisi tertekan. Tontowi sudah semakin paham bagaimana berdiri di samping Liliyana, dan Liliyana pun semakin mengerti bagaimana bermain bersama Tontowi.

Tahun 2013 yang gemilang ternyata tak menyilaukan Tontowi/Liliyana. Mereka justru kini berada dalam posisi tenang dan tanpa beban namun bermotivasi tinggi di tiap turnamen yang mereka ikuti. Mereka paham bahwa tak selamanya mereka bisa juara di tiap turnamen yang mereka mainkan, namun mereka kini semakin mengerti apa yang harus dipersiapkan.

Berbicara kelanjutan kiprah mereka di tahun 2014 ini, jelas nyata bahwa gelar-gelar terpenting yang mereka bidik setelah ini adalah Kejuaraan Dunia dan Asian Games. Untuk Kejuaraan Dunia, ada satu hal menarik berkaitan dengan kiprah Tontowi/Liliyana nantinya. Jika mereka berhasil mempertahankan gelar juara, maka mereka akan menjadi ganda campuran kedua sepanjang sejarah yang sukses mempertahankan gelar juara dunia. Yang pertama? Park Joo-bong/Chung Myung-hee, ganda campuran yang baru saja mereka samai catatan tiga gelar beruntun-nya di All England.

Kemudian Asian Games. Kejuaraan ini juga memiliki kesan tersendiri bagi Tontowi/Liliyana. Empat tahun lalu saat Tontowi/Liliyana masih hijau, Richard Mainaky memilih mereka untuk diterjunkan ke ajang Asian Games ketimbang duet Nova Widianto/Liliyana Natsir yang lebih berpengalaman. Pengalaman empat tahun lalu jelas termasuk pengalaman yang kurang menyenangkan karena Tontowi/Liliyana langsung tersingkir di babak 16 besar. Karena itu, tahun ini ketika Tontowi/Liliyana sudah semakin matang sebagai pasangan, adalah tahun yang tepat untuk melakukan pembalasan di ajang Asian Games.

Harapan untuk meraih itu semua pastinya tak akan semudah itu diwujudkan. Tahun 2013, Tontowi/Liliyana meraih dua gelar paling prestisius di tahun itu, All England dan Kejuaraan Dunia. Tahun 2014, Tontowi/Liliyana sudah kembali menggenggam All England, karena itu pastinya duo Cina Zhang Nan/Zhao Yunlei, Xu Chen/Ma Jin, Joachim Fischer Nielsen/Christinna Pedersen dari Denmark dan ganda campuran lainnya tak akan tinggal diam melihat Tontowi/Liliyana kembali berada di podium tertinggi Kejuaraan Dunia dan Asian Games.

Empat besar ini sendiri sudah saling mengalahkan di berbagai pertemuan. Namun yang terpenting dalam duel mereka semua adalah dimana mereka bisa tampil sempurna di ajang prestisius serupa Asian Games dan Kejuaraan Dunia. Semoga Tontowi/Liliyana berhasil mengatur irama mereka dan selalu sukses mencapai peak performance di turnamen prestisius yang tersisa di tahun ini.

 

-Putra Permata Tegar Idaman-

Indonesia dan Dua Kupon Lotre Miliknya

All England telah usai. Indonesia dan Cina sama-sama meraih dua gelar dan satu gelar tersisa menjadi milik Malaysia. Namun boleh dipastikan, Indonesia akan lebih bahagia dari Cina pasca turnamen ini. Hal tersebut tidak lain karena dua kupon lotre yang dimiliki Indonesia tepat sasaran dan membawa kebahagiaan.

Jika kompetisi bulu tangkis saat ini diibaratkan sebagai sebuah perjudian dan gelar juara adalah tujuan, maka Indonesia hanya memiliki dua kupon lotre di tangan dengan nama Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan dan Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir. Dua kupon lotre itulah yang kemudian dilempar ke meja pertaruhan dan di akhir perjudian ternyata dua kupon yang dimiliki Indonesia itu tepat sasaran dan berujung pada kemenangan.

Dua gelar dengan hanya memiliki dua andalan memang benar-benar sebuah berkah  yang luar biasa bagi Indonesia. Betapa tidak, Indonesia meraih lebih dari satu gelar di All England adalah 20 tahun lalu yaitu pada tahun 1994 dimana Indonesia meraih tiga gelar ketika itu.

Setelah tahun 1994, kejayaan Indonesia di All England seolah luntur dan lambat laun memudar. Padahal di periode setelah itu, para legenda bulu tangkis Indonesia pun masih banyak bertebaran. Piala Thomas masih digenggam hingga tahun 2002 dan Piala Uber masih sempat didapat tahun 1996 yang menandakan bahwa saat itu masih banyak wakil-wakil yang bisa diandalkan.

Namun nasib berkata lain. Indonesia tak pernah lagi mendapat lebih dari satu gelar di All England setelah tahun 1994. Jangankan berharap lebih dari satu gelar, Indonesia bahkan harus tanpa gelar pada All England periode 2004-2011. Karena itulah, dua gelar hanya dari dua andalan yang dimiliki Indonesia pada All England kali ini sangatlah mencengangkan dan semua perlu angkat topi tanda penghormatan atas perjuangan Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana.

Gambar

copyright : badmintonindonesia.org

Karena kehebatan Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana lah, Indonesia bisa berdiri sejajar dengan Cina di akhir All England tahun ini, yaitu dengan dua gelar di tangan. Padahal jika dibandingkan lebih jauh, dua gelar yang didapat Cina itu merupakan hasil dari lebih banyak kupon lotre yang mereka punya. Dari lima nomor yang dipertandingkan di All England ini, Cina selalu memiliki andalan di tiap nomornya. Bahkan untuk nomor tunggal putri, ganda putri, dan ganda campuran mereka sangat dominan dan boleh dibilang memiliki 2-3 kupon lotre alias andalan.

Ahsan/Hendra bisa saja mengalahkan seluruh ganda putra yang ada di dunia, namun mereka pastinya tidak akan bisa melawan waktu yang terus berputar. Tontowi/Liliyana bisa saja menaklukkan seluruh ganda campuran yang ada di planet ini, namun mereka pastinya tidak akan bisa melawan usia.

Kemenangan mereka di All England kali ini tak boleh membuat Indonesia dan PBSI sebagai pelaksana tugas menjadi lengah dan berlega hati bahwa target dua gelar juara di All England tahun ini sudah dipenuhi. Dua gelar juara memang berhasil dibawa pulang namun melihat lebih dalam jelas masih banyak perbaikan yang mesti dilakukan.

Indonesia dan PBSI memang jelas butuh kupon lotre baru dalam memenangkan perjudian selanjutnya. Indonesia dan PBSI jelas butuh andalan baru dalam menghadapi target-target besar selanjutnya dan tak boleh terus-terusan bertumpu hanya pada Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana. Semua ini pastinya sudah disadari benar oleh PBSI yang terus merintis jalan untuk mengembalikan raihan emas di Olimpiade Rio de Janeiro 2016 mendatang.

Ini adalah kali kedua Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana sukses menunaikan tugasnya secara bersamaan. Yang pertama adalah Kejuaraan Dunia 2013 lalu dan disusul hasil All England 2014 ini. Pada tahun ini, masih ada dua target besar Indonesia dan PBSI yaitu pada Kejuaraan Dunia 2014 dan Asian Games 2014. Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana sudah pasti menjadi dua kupon lotre yang kembali digenggam. Tetapi alangkah indahnya jika ada kupon lotre tambahan yang dimiliki oleh Indonesia nantinya.

Tommy Sugiarto di nomor tunggal putra dan Angga Pratama/Rian Agung di ganda putra boleh jadi adalah wakil Indonesia yang paling dekat dengan status sebagai ‘kupon lotre baru.’ Meski demikian, mereka masih harus bekerja keras dan mengasah konsistensi mereka setelah ini.

Selain Tommy dan Angga/Rian, pemain lain pun mutlak didorong untuk bisa segera berstatus sebagai kupon lotre baru Indonesia. Sehingga ketika nantinya perjudian besar selanjutnya datang, Indonesia tak hanya menggenggam dua kupon lotre di tangan dan menyesali diri mengapa tak memiliki kupon lotre yang lebih banyak ketika perjudian berakhir dengan kekalahan dan kegagalan.

-Putra Permata Tegar Idaman-

Iverson dan Nomor Tiga Sixers yang Abadi

Allen Iverson tidak pernah membawa gelar juara NBA ke Kota Philadelphia. Dalam 12 musim yang ia habiskan bersama Philadelphia 76ers, prestasi terbaik yang ia berikan kepada Sixers hanyalah finalis NBA pada tahun 2001. Namun hal itu tidak menghalangi Iverson mendapatkan sebuah penghargaan terbaik yang bisa didapat seorang pemain, yaitu berupa pengabadian nomor jersey miliknya.

Iverson memang sudah menjadi pusat perhatian di awal kedatangannya ke Philadelphia. Maklum, statusnya adalah draft pilihan pertama yang pastinya membuat kedatangannya diiringi oleh ekspektasi tinggi tiap pendukung Sixers. Dan hal itu pun seolah dijawab Iverson dengan tanpa halangan berarti.

Gambar

Bermain di 76 pertandingan, Iverson mencatat rata-rata poin per game hingga 23,5 poin per game. Tentu saja hal ini merupakan sebuah pencapaian luar biasa yang tak semua pemain rookie bisa melakukannya. Karena itu tak heran jika akhirnya Iverson menjadi rookie of the year tahun 1997, mengungguli sejumlah nama rookie tenar lainnya macam Ray Allen, Steve Nash, hingga Kobe Bryant.

Berakhirnya era Michael Jordan dan Chicago Bulls di pengujung 1990-an pun membuat Iverson seolah menjadi salah satu bintang baru yang berpotensi besar menggantikan posisi Jordan sebagai magnet utama NBA. Apalagi di musim perdananya, Iverson sudah dikenal publik lewat keberhasilannya melakukan cross over di tengah pengawalan Jordan. Pesaingnya tentu saja Bryant yang merupakan rekan seangkatannya.

Gambar

Musim terus berganti dan Iverson pun terus menjadi bagian penting dari Sixers. Ia selalu mencetak rata-rata poin per game di atas 20 dan akhirnya mendapat kesempatan emas untuk mengantar Sixers juara pada musim 2000-2001. Lawannya di final tak lain adalah Bryant dan Los Angeles Lakers. Keduanya sama-sama menunjukkan perlawanan gigih, namun Bryant yang hadir dengan bantuan Shaquille O’Neal akhirnya sukses membawa Lakers mengalahkan Sixers. Harapan Iverson untuk memakai cincin juara pun menguap.

Gambar

Setelah itu, Iverson terus bermain di level atas. Tubuhnya yang kecil namun tak pernah gentar menghadapi lawan-lawan yang lebih besar membuat dirinya dikagumi oleh banyak orang. Gerakan crossover pun seolah menjadi trade mark dirinya. Gaya rambut Iverson plus cara berpakaiannya pun banyak ditiru oleh penggemar NBA. Dengan demikian, mutlak sudah nama Iverson sebagai pemain NBA paling berpengaruh di awal dekade 2000-an. Berbagai penghargaan individu telah dia raih, mulai dari MVP NBA, MVP All Star, pencetak poin terbanyak selama empat musim, hingga pencetak steals terbanyak selama tiga musim. Namun di balik itu semua, tak ada satu pun gelar NBA yang ia menangi.

Hal itulah yang kemudian membawa Iverson pada keputusan untuk pergi meninggalkan Philadelphia, meninggalkan kota yang begitu ia cintai. Iverson hijrah ke Denver Nuggets dan bergabung dengan Carmelo Anthony sebagai duet maut mesin angka NBA. Harapan Iverson jelas, memenangi trofi NBA untuk pertama kali sepanjang karirnya.

Meski tergolong masih hebat dalam urusan mencetak angka, namun performa Iverson tetap menurun jika dibandingkan saat ia berseragam Sixers. Dua musim perdana di Nuggets ia masih sukses mencetak rata-rata poin di atas 20 poin per game, namun memasuki musim ketiganya di Nuggets, yaitu musim 2008-2009, Iverson untuk pertama kalinya mencatatkan poin per game di bawah 20, yaitu dengan 18,7 poin per game.

Setelah momen itu, performa Iverson terus merosot. Ditambah dengan masalah keluarga yang menghampirinya, Iverson tak pernah lagi tampil 100 persen saat berkostum Detroit Pistons, Memphis Grizzlies, hingga saat ia kembali ke Sixers di musim 2009-2010. Saat mencoba peruntungan di Besiktas, Iverson pun tak pernah kembali ke ritme permainan miliknya. Alhasil, Iverson pun kemudian memutuskan untuk meninggalkan dunia yang sudah membesarkan namanya.

“The passion for basketball is still there, but the desire to play is not.”

Itulah kalimat yang diucapkan oleh Iverson ketika dirinya mengumumkan pengunduran diri dari dunia bola basket pada akhir Oktober tahun lalu. Tempatnya di Wells Fargo Center, markas Sixers yang merupakan taman bermain Iverson sejak dulu kala. Taman bermain yang sempat ia tinggalkan di pertengahan karirnya. Sebuah keputusan yang entah disesalinya atau tidak.

“I’ll always be a Sixer until I die.”

Fans Sixers pun langsung memberikan standing ovation kepada Iverson. Iverson mungkin memang pernah pergi dari Sixers dan itu menyakitkan, namun cinta pendukung Sixers pada Iverson sudah terlanjur melekat. Iverson selalu disambut bagai pahlawan ketika ia kembali ke Wells Fargo Center.

Gambar

Dan ketika Sixers mengumumkan akan mengabadikan nomor 3 milik Iverson di Wells Fargo Center dan tak akan pernah memberikannya lagi untuk pemain lainnya sampai kapanpun, semua pun mendukung keputusan tersebut. Hal ini terlihat jelas dari seremoni proses pengabadian jersey nomor tiga milik Iverson. Bahkan 12 kekalahan beruntun yang sedang diderita Sixers di NBA saat itu tetap tak menyurutkan fans Sixers untuk memberikan pesta meriah sebagai tanda penghormatan kepada Iverson. Sekitar 20 ribu orang memadati Wells Fargo Center dan tak henti-hentinya memberikan tepuk tangan setiap Iverson selesai berkata-kata.

Gambar

“It feels good, but some part of my heart hurts because I know it’s over.”

Iverson mungkin merasa sedih karena karirnya di NBA kini sudah berakhir. Namun ia pasti bahagia karena aksi-aksinya selama berkostum Sixers akan terus dikenang sepanjang masa. Setiap saat orang yang masuk ke Wells Fargo Center dan melihat kostum nomor 3 milik Iverson tergantung di langit-langitnya, saat itu pula orang akan mengingat bahwa di arena ini pernah ada pemain yang bergerak lincah di lapangan, tak gentar menghadapi lawan, dan tak bosan-bosannya mencetak poin demi poin bagi Sixers. Iverson memang tak memberikan cincin juara, namun hal itu tak menghalangi Sixers dan para pendukungnya memberikan keabadian cinta mereka terhadap dirinya.

Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir dan Three-Peat All England

Repeat adalah mengulang sedangkan three-peat adalah kembali mengulang apa yang sudah diulang. Jadi three-peat adalah gabungan dari kata three dan repeat.Istilah ini erat kaitannya dengan dunia olahraga dimana ditujukan kepada seseorang  atau tim yang mampu dua kali mengulangi hal yang sama sehingga total ia melakukannya tiga kali secara beruntun, tentu saja berkaitan dengan keberhasilan menjadi juara.

Kata three-peat pertama kali mulai dipopulerkan Pat Riley dan Los Angeles Lakers dimusim 1988-1989 dimana ketika itu Lakers yang menjadi juara NBA di tahun 1987 dan 1988 kembali membidik gelar juara di tahun 1989. Karena mereka sudah melakukan repeat dengan menjadi juara kembali di tahun 1988, maka mereka pun memopulerkan istilah three-peat yang artinya kembali mengulang hal yang pernah mereka ulang. Dengan begitu, maka jika mereka mampu menjadi juara 1989, maka mereka menorehkan three-peat dan frasa ini sendiri sudah mereka populerkan dengan penulisan-penulisan di kaos, jaket, dan topi.

Namun nyatanya, Lakers justru gagal menjadi juara dan istilah three-peat baru benar-benar menjadi populer ketika Michael Jordan dan Chicago Bulls mampu menjadi juara NBA pada musim 1991, 1992, dan 1993 yang disebut three-peat jilid satu karena Bulls kembali mampu memenangi NBA tiga kali beruntun pada tahun 1996, 1997, dan 1998 yang disebut three-peat jilid dua. Setelah itu kata three-peat pun mulai populer ke berbagai cabang olahraga lainnya di dunia ini.

Berkaitan dengan Indonesia dan bulu tangkis, maka kini ada olahragawan Indonesia yang tengah berada di ambang apa yang disebut three-peat. Mereka adalah Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir yang akan segera terjun di All England tahun ini dengan status sebagai juara tahun 2012 dan 2013. Jika kembali menjadi juara, maka Tontowi/Liliyana akan menorehkan apa yang disebut three-peat.

Gambar

Berkaca pada fakta sejarah yang ada, maka meraih tiga gelar All England secara beruntun tidaklah mudah dilakukan oleh Tontowi/Liliyana. Di nomor ganda campuran, ganda terakhir yang mampu melakukannya adalah Park Joo-Bong/Chung Myung-hee pada tahun1989, 1990, 1991.

Sekedar catatan tambahan, ketika itu nomor ganda campuran masihlah merupakan nomor yang tidak terlalu diperhatikan dan dianggap sebagai nomor anak tiri karena di Olimpiade Barcelona 1992 pun, nomor ini belum dipertandingkan. Dengan demikian, banyak negara yang tidak terlalu memfokuskan diri pada pengembangan nomor ini sehingga tingkat persaingan pun belum seramai dekade saat ini.

Sejatinya pun ada pemain ganda campuran yang sudah melakukan three-peat setelah itu yaitu Gao Ling pada tahun 2006, 2007, dan 2008. Namun saat itu, Gao Ling melakukannya dengan pasangan yang berbeda yaitu Zhang Jun (2006) dan Zheng Bo (2007 dan 2008). Dengan demikian, maka tidak ada satu pun ganda campuran yang mampu mencatat prestasi meraih tiga gelar All England beruntun setelah Joo-Bong/Myung-hee melakukannya pada tahun 1989, padahal setelah itu banyak bermunculan ganda campuran top dunia macam Kim Dong-moon/Ra Kyung-min, Zhang Jun/Gao Ling, Nathan Robertson/Gail Emms atau bahkan dua ganda campuran top Indonesia Tri Kusharjanto/Minarti Timur dan Nova Widianto/Liliyana Natsir yang malah tak mencicipi gelar All England sama sekali.

Betapa sulitnya melakukan three-peat juga bisa dilihat dari sejarah panjang para pebulu tangkis Indonesia di All England. Dalam catatan sejarah, hanya Rudy Hartono (tujuh kali beruntun) dan Tjun Tjun/Johan Wahjudi (empat kali beruntun) yang mampu menjadi juara All England tiga kali beruntun atau lebih. Di luar itu, tak ada lagi legenda Indonesia yang mampu melakukannya. Susi Susanti juara All England empat kali namun tak pernah mencatat tiga gelar beruntun, sedangkan Liem Swie King juara All England tiga kali namun tidak mampu melakukannya secara berurutan. Di luar itu, bahkan tak ada legenda bulu tangkis Indonesia yang mampu menjadi juara All England hingga tiga kali.

Dengan fakta tersebut, maka jelas andai Tontowi/Liliyana mampu mencatatkan three-peat tahun ini, maka hal itu akan menjadi jaminan bahwa kelak mereka akan menjadi salah satu legenda yang tidak akan kalah pamor dari deretan legenda-legenda bulu tangkis Indonesia lainnya. Mereka punya three-peat All England dan mereka tak akan minder berdiri berjajaran dengan para pengharum nama Indonesia di kancah bulu tangkis dunia.

Gambar

Betapa luar biasanya Tontowi/Liliyana andai mampu melakukan three-peat juga bisa dilihat dari persaingan bulu tangkis dunia secara keseluruhan. Sejak Cina aktif ambil bagian dari kompetisi bulu tangkis dunia, hanya Ye Zhaoying (1997, 1998, 1999), Xie Xingfang (2005, 2006, 2007), Ge Fei/Gu Jun (1996, 1997, 1998) Gao Ling/Huang Sui (2001, 2002, 2003, 2004, 2005, 2006), dan Park Joo-Bong/Chung Myung-hee (1989, 1990, 1991) yang mampu meraih tiga gelar All England atau lebih secara beruntun. Ini artinya hanya sedikit dari bintang-bintang bulu tangkis dunia yang mampu menampilkan konsistensi, fokus, dan determinasi di All England secara kontinyu dan konsisten selama tiga tahun beruntun.

Persiapan yang dilakukan Tontowi/Liliyana sudah matang. Motivasi mereka untuk menjadi juara pun tetap tinggi. Kini tinggal menunggu bagaimana performa mereka di lapangan. Banyak yang menyebut bahwa persaingan ganda campuran saat ini dikontrol oleh empat besar yaitu Zhang Nan/Zhao Yunlei, Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir, Xu Chen/Ma Jin, dan Joachim Fischer Nielsen/Christinna Pedersen. Kemampuan empat ganda ini sejajar dan pertarungan sengit yang sulit diprediksi pasti terjadi ketika mereka bentrok di lapangan. Jika sudah begitu, tinggal berharap bahwa Minggu 9 Maret mendatang adalah memang Minggu untuk Tontowi/Liliyana berbahagia di podium teratas National Indoor Arena.

-Putra Permata Tegar Idaman-