Perubahan Sistem Poin dan Indonesia

Badminton World Federation (BWF) kembali coba membuat terobosan agar bulu tangkis bisa semakin dinikmati dan populer di mata dunia. Salah satu tujuan utamanya jelas agar bulu tangkis tetap mendapatkan garansi tempat di Olimpiade yang merupakan pesta olahraga terbesar di dunia. Langkah terbaru mereka saat ini adalah perubahan poin dari mode 21 poin dalam format the best of three menjadi mode 11 poin dalam format the best of five. Keduanya tetap sama-sama menggunakan sistem rally point.

Walau masih dalam tahap uji coba pada turnamen level bawah di beberapa bulan ke depan, rencana perubahan sistem poin ini menarik untuk dicermati dan dikuliti. Bagi bulu tangkis sendiri, jika perubahan ini terlaksana, maka ini akan menjadi perubahan keempat dalam dua dekade terakhir. Perubahan pertama adalah pada saat BWF (dulu IBF) mengubah mode 15 poin (kecuali tunggal putri 11 poin) sistem service over dalam format the best of three menjadi mode 7 poin sistem service over dalam format the best of five pada awal dekade 2000-an.

Namun nyatanya sistem ini hanya bertahan sekitar satu tahun. BWF (IBF) kemudian kembali menggunakan metode sebelumnya  yaitu mode poin 15. Namun sepertinya kembalinya format lama hanya sekedar memberikan ruang dan waktu bagi BWF (IBF) untuk berpikir. Terbukti, pada 2005 mereka akhirnya mengumumkan perubahan dari format mode 15 poin menjadi 21 poin dengan sistem rally point dalam format the best of three.

Perubahan pada tahun 2005 ini benar-benar terasa perbedaannya. Yang paling utama jelas soal beralihnya sistem service over menjadi rally point. Alasan yang dikemukakan BWF(IBF) ketika itu adalah perihal durasi waktu yang lebih singkat dan peraturan yang menjadi lebih mudah dimengerti karena setiap bola masuk akan menjadi poin, tidak seperti halnya ada service over, seconde service di metode mode 15 poin sebelumnya.

Dan kini setelah sembilan tahun berselang, BWF kembali menggulirkan rencana untuk mengubah sistem poin. Mode 21 poin dengan format best of three dan sistem rally point akan diubah menjadi mode 11 poin dengan format best of five, tetap dengan sistem rally point.  Banyak hal yang bisa disimpulkan dari wacana perubahan yang masih perlu proses panjang untuk menuju pengesahan ini.

Dengan angka finis hanya 11, maka dengan demikian maka durasi pertandingan akan menjadi lebih singkat dibandingkan dengan sebelumnya. Berdasarkan rata-rata penghitungan kasar, maka permainan lima game di format mode angka 11 tidak akan lebih lama dibandingkan permainan tiga game di format angka 21.

Gambar

Dengan mode angka 11, diperkirakan durasi terlama sebuah pertandingan yang memakan lima game ada di angka 40-50 menit. Sementara itu untuk waktu tersingkat, jika sebelumnya ada pertandingan yang sudah selesai di durasi 20 menit, maka untuk mode 11 angka, pertandingan yang timpang dan berakhir tiga game langsung boleh jadi akan cepat berakhir dalam belasan menit.

Seperti yang diketahui , BWF sendiri melakukan terobosan ini bukan hanya dengan harapan mempersingkat durasi pertandingan agar nantinya coverage untuk tayangan langsung di televisi lebih mudah. Lebih dari itu, BWF sepertinya ingin membuat pertandingan bulu tangkis lebih menarik dan lebih berimbang dengan memangkas jarak kemampuan antara negara kuat dan negara-negara di bawahnya.

Untuk kasus kemasan pertandingan bulu tangkis lebih menarik, BWF sepertinya memiliki anggapan bahwa dengan poin 21, penonton akan butuh waktu lama untuk menunggu klimaks. Seperti diketahui, mungkin banyak orang berpendapat bahwa bulu tangkis akan seru jika dua lawan yang berhadapan memiliki angka yang rapat jelang game berakhir, misal 18-18 atau 19-19.

Nah, dengan poin hanya 11 angka, maka BWF mulai menimbang apakah dengan jarak dari start menuju akhir game hanya 11 angka akan menciptakan pertandingan yang menarik dan panas sejak awal.  Sebagai logika umum, dengan finis di poin 11, maka pemain akan secepatnya tancap gas sejak awal karena garis finis sangatlah dekat.

Perbedaan lainnya yang juga masih menyangkut kemasan pertandingan yang lebih seru, dengan finis di poin 21, rata-rata pertandingan sudah bisa diketahui hasilnya jika seorang pemain mendapat game point dengan selisih enam poin atau lebih. Hanya sedikit contoh kasus dimana keajaiban terjadi dan pemain yang tertinggal  lima poin atau lebih mampu menyusul dan memenangkan pertandingan.

Dengan poin 11, seperti yang sudah disebutkan di atas dimana pemain pasti akan berusaha mati-matian sejak awal, maka kemungkinan pemain tertinggal dengan selisih skor terlalu jauh bisa diperkecil. Hal itu terjadi karena tensi pertandingan diyakini sudah panas sejak awal.

Tensi panas sejak awal itu pula yang diyakini bisa membuat perbedaan kekuatan antar negara bisa semakin rapat dan berimbang. Semakin besar jarak menuju finis, maka pemain yang lebih diunggulkan akan lebih diuntungkan karena mereka masih memiliki waktu untuk mengatur ritme jika sempat goyah di awal.

Dengan hanya berjarak 11 angka menuju game, para pemain yang lebih diunggulkan akan menghadapi rintangan yang tidak mudah karena mengambil contoh pada banyak pertandingan bulu tangkis saat ini, biasanya permainan masih berimbang di awal pertandingan dan mulai mengalami perubahan signifikan saat interval game.

Soal coverage, masih harus menunggu perkembangan lebih lanjut apakah dengan durasi yang diperpendek akan membuat bulu tangkis lebih mudah menjual hak siar pertandingan dibandingkan sebelumnya. Soal kemasan pertandingan yang lebih menarik, BWF juga sepertinya masih ingin menilai apakah klimaks benar-benar didapat oleh penonton jika tiap game disudahi di angka 11 atau malah para penonton justru mengalami anti-klimaks karena game menjadi lebih cepat selesai dari yang mereka harapkan.

Kembali ke awal, perubahan poin menuju mode 11 angka ini masih masuk dalam tahap rencana yang akan diujicobakan. Setelah proses uji coba itu, barulah BWF mengadakan rapat dan pertemuan. Entah bagaimana nanti metodenya dan cara apa yang digunakan oleh BWF sebelum akhirnya memutuskan langkah mereka ke depan. BWF sendiri juga menyediakan polling di internet untuk mengetahui bagaimana reaksi publik meskipun belum diketahui sejauh mana pengaruh dari suara masyarakat ini.

Menarik dilihat bagaimana sikap Indonesia dan PBSI terhadap rencana perubahan poin yang sedang digarap BWF ini. Jika tujuannya mempersempit jarak kemampuan Indonesia dengan Cina, sepertinya menyetujui format baru akan menjadi salah satu solusi untuk hal itu. Tapi perlu diingat, pilihan itu tentu beresiko karena Indonesia juga berpeluang lebih mudah disusul oleh negara-negara yang selama ini sejajar ataupun di belakang.

-Putra Permata Tegar Idaman-

Istora (Saat Ini) Bukan Milik Kita

Istora Gelora Bung Karno adalah Istana Olahraga milik Indonesia yang begitu dibanggakan oleh rakyatnya.  Karena itu begitu Istora disandingkan dengan ajang Indonesia Terbuka, maka membludaklah antusiasme publik untuk menyaksikan kiprah para pebulu tangkis terbaik di Tanah Air dalam perjuangan merebut gelar juara. Bagaimanapun, bulu tangkis sudah mendarah daging di Indonesia dan tradisi yang ada adalah Indonesia selalu mampu berdiri di papan atas persaingan bulu tangkis Indonesia.

Namun ternyata yang tampak di Istora dalam beberapa tahun belakangan jauh dari angan. Tak banyak senyum yang berasal dari pahlawan lokal yang melintas di babak final. Istora sudah benar-benar diintervensi oleh pebulu tangkis asing dan kedaulatannya sebagai arena yang angker bagi tim lawan pun semakin tergoyahkan.

Terlihat jelas dari lima partai final yang ada pada Minggu, 22 Juni 2014 kemarin, hanya ada satu wakil yang coba mempertahankan kedaulatan Indonesia sebagai negara kuat di peta bulu tangkis dunia. Dan akhirnya Minggu, 22 Juni kemarin benar-benar memberikan akhir cerita sedih yang telak. Satu gelar di rumah sendiri saja sejatinya sudah merupakan cerita sedih bagi negara bulu tangkis sebesar Indonesia dan kali ini kembali tanpa gelar, tentunya semua sudah tahu sebesar apa skala sedih yang ada.

Usai kegagalan kali ini, harapan bahwa publik Istora masih diberikan kepercayaan dan keyakinan kepada pebulu tangkis Indonesia tentu mengemuka. Jangan sampai mereka kehilangan keyakinan dan akhirnya pergi meninggalkan sepi dan sunyi di Istora pada gelaran bulu tangkis di tahun-tahun mendatang lantaran tak tega atau bahkan bosan melihat para pebulu tangkis tuan rumah yang terus terkulai tak berdaya. Karena bagaimanapun, pedih memang rasanya menyaksikan para pebulu tangkis yang berstatus tamu itu terlihat dominan dan akhirnya bahagia pada sebuah final yang digelar di Istora…

Gambar

Gambar

Gambar

Gambar

Gambar

Gambar

Gambar

Gambar

Gambar

Gambar

-Putra Permata Tegar Idaman-

Luka yang Kembali Tersayat

Luka yang menganga itu belum kering, namun kini justru kembali diperdalam oleh sayatan yang baru yang makin memperparah luka yang ada. Luka yang ditinggalkan kini semakin dalam dan menyakitkan. Ke depannya, luka parah ini bisa jadi momentum kebangkitan atau malah membuat terpuruk tak berdaya menghadapi lawan yang semakin perkasa.

Indonesia, baru saja mengalami luka yang menyakitkan di ajang Piala Thomas dan Uber 2014 di India pada bulan Mei lalu. Ketika itu, Indonesia yang ditempatkan sebagai unggulan pertama Piala Thomas 2014 gagal memenuhi target juara lantaran tumbang di tangan Malaysia yang bukan negara favorit peraih trofi juara. Sementara tim putri pun dibuat tak berdaya dan kembali harus tersungkur di babak perempat final, berjarak satu langkah dari target semifinal yang diberikan.

Pada awalnya, jelas semua berharap luka yang didapat pada bulan Mei itu bisa membuat para pemain Indonesia terbakar amarah. Layaknya binatang buas yang terluka, publik tentunya menyimpan asa bahwa pemain-pemain Indonesia akan tampil lebih beringas dan tak membiarkan lawan bisa kembali melukai mereka dengan mudah. BCA Indonesia Open Super Series Premier 2014 diyakini menjadi ajang balas dendam yang tepat. Bermain di arena sendiri dengan dukungan penonton yang luar biasa, maka semua tentu meyakini para pemain akan tampil lebih ganas.

Namun yang terjadi kemudian adalah kesadaran bahwa harapan memang tidak akan selalu sesuai dengan kenyataan. Indonesia mengakhiri turnamen di rumah sendiri dengan hasil nihil gelar. Torehan hampa gelar ini merupakan yang kelima dalam delapan edisi terakhir, tepatnya sejak Indonesia Terbuka didaulat menjadi salah satu seri turnamen super series yang diperkenalkan pada tahun 2007. Status sebagai Tuan di rumah sendiri pun semakin luntur dimakan dominasi pebulu tangkis asing yang semakin menunjukkan taring dan geliatnya.

Hampa gelar tahun ini boleh jadi memang terasa lebih menyakitkan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pasalnya, hampa gelar tahun ini juga disertai catatan minimnya jumlah wakil di perempat final, yaitu hanya tiga wakil saja, terburuk sejak tahun 2007.

Gambar

Tragis. Mungkin itu kata yang paling pas untuk menggambarkan kondisi Indonesia pasca Indonesia Open ini. Jika dilihat dari pencapaian para pemain pelatnas, otomatis PBSI sudah harus menumpukan beban untuk menjadi juara kepada Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan dan Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir sejak babak perempat final, alias tiga langkah sebelum menggenggam gelar juara. Jarak yang sungguh jauh, terlebih melihat fakta bahwa mereka semua bermain di depan publik sendiri.

Sudah  jadi rahasia umum bahwa sejak tahun lalu, Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana adalah tumpuan dan harapan PBSI untuk setiap ajang besar yang mereka ikuti. Pada awalnya hal ini terasa wajar sambil menunggu melesatnya pemain-pemain andalan lainnya untuk menyamai posisi Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana saat ini. Namun jika melihat perkembangan dalam enam bulan terakhir, para pemain lainnya sepertinya masih menyisakan jarak yang cukup jauh dengan Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana.

Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana boleh saja selalu berkata bahwa mereka sudah terbiasa dengan beban dan harapan yang berlebihan di pundak mereka. Namun hal itu tidak selamanya bisa mereka atasi dan tantangan yang ada pada mereka tidak akan selalu mereka jawab dengan sempurna. Pastinya ada hari dimana mereka tidak bermain di level terbaik mereka. Lagipula mengacu pada persaingan di nomor ganda putra dan ganda campuran, Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana bukanlah sosok yang dominan seutuhnya, melainkan mereka juga memiliki pesaing dan rival yang sejajar dengan mereka. Perbedaan kemampuan di antara Ahsan/Hendra, Tontowi/Liliyana dan para pesaingnya pun hanya setipis kertas yang ditentukan performa mereka masing-masing di lapangan pada hari pertarungan.

Dalam jangka waktu dekat, jelas sulit untuk berharap meraih gelar bergengsi selain dari Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana kecuali para pemain di luar itu diselimuti oleh keajaiban dan keberuntungan yang sedang berpihak pada mereka. Namun setidaknya, para pemain lainnya pun harus mulai berbenah untuk bisa tampil konsisten hingga babak akhir pada tiap turnamennya, seperti semifinal sebagaimana yang sering dikumandangkan oleh PBSI di tiap jelang keberangkatan. Hal inilah yang sama sekali tidak terlihat pada penampilan mereka di gelaran Indonesia Terbuka kemarin.

Mental bertanding, fisik, taktik, dan teknik semua aspek ini harus kembali dievaluasi oleh PBSI sebagai penanggung jawab prestasi bulu tangkis Indonesia. Melihat para wakil Indonesia bertanding, sebab kekalahan mereka begitu beragam dan tak bisa digeneralisir. Ada yang lantaran kalah fisik, ada yang lantaran gugup sejak awal pertandingan, dan ada pula yang sulit membaca perubahan taktik yang dilakukan oleh lawan.

Luka yang dibuat oleh lawan-lawan kepada Indonesia ini memang sangatlah dalam, apalagi hanya berjarak satu bulan dari luka sebelumnya yang belumlah kering sepenuhnya. Rasa sakit sudah pasti dirasakan dan kini tinggal bagaimana mengubah sakit hari ini menjadi kekuatan untuk berdiri lebih kuat di masa depan agar tak kembali mudah dilukai dan disakiti. Tentunya jangan biarkan luka ini malah menjadi busuk dan membuat Indonesia tak mampu lagi berdiri tegap di antara negara-negara lainnya.

-Putra Permata Tegar Idaman-

TAK LAGI JADI TUAN DI RUMAH SENDIRI  

BCA Indonesia Open Super Series Premier 2014 tetap menghadirkan atmosfer turnamen yang panas. Para penonton sudah memadati Istora Senayan sejak babak kualifikasi untuk habis-habisan memberikan dukungan bagi para pebulu tangkis yang bertanding, utamanya tentu saja para pebulu tangkis tuan rumah. Selasa, Rabu, serta Kamis dilewati, dan atmosfer Istora Senayan makin meriah saja dimakan hari.

Namun keriuhan yang ada di tribun penonton itu tampaknya tidak cukup untuk memberikan energi tambahan dan berperan sebagai faktor X bagi para pemain tuan rumah. Kepala yang tertunduk, mata yang kosong, dan langkah yang lunglai adalah pemandangan-pemandangan umum yang terlihat selama tiga hari pelaksanaan Indonesia Open tahun ini.

Masuk ke babak perempat final, Indonesia pun akhirnya hanya menempatkan tiga wakil. Catatan tiga wakil ini terus terang saja sangat memprihatinkan jika dibandingkan dengan data-data statistik dari tahun-tahun sebelumnya.  Jumlah tiga wakil di babak perempat final sendiri boleh dibilang sangat timnpang jika dibandingkan dengan torehan pemain Indonesia sejak tahun 2007, saat dimana Indonesia mulai masuk turnamen kategori super series. Secara berurutan, jumlah wakil Indonesia di babak perempat final pada tahun-tahun sebelumnya adalah 2013 dengan 11 wakil, 2012 (8), 2011 (9), 2010 (11), 2009 (7), 2008 (11), dan 2007 (6).

Hal yang kemudian membuat makin miris adalah dua dari tiga wakil yang ada di perempat final ini adalah Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan dan Tontowi Ahmad Liliyana Natsir, nama yang selalu dijadikan andalan pelatnas Cipayung untuk meraih gelar di berbagai turnamen yang diikuti. Satu nama lagi menjadi milik Markis Kido/Marcus Fernaldi Gideon yang prestasinya lumayan stabil sejak dipasangkan.

Gambar

Gambar

Gambar

copyright : badmintonindonesia

Dengan gambaran umum demikian, itu berarti para pemain pelatnas di luar Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana masih butuh banyak perbaikan dan peningkatan permainan. Tidak hanya dari segi mental bertanding, karena di Istora pasti banyak dukungan mengarah kepada mereka, melainkan juga hal-hal elementer dan mendasar seperti teknik dan fisik.

Memang semua paham bahwa proses adalah sebuah tonggak menuju hasil akhir yang baik. Namun dengan kenyataan bahwa hanya ada dua wakil pelatnas di perempat final, yang mana keduanya adalah langganan meraih gelar, maka jelas bisa disimpulkan bahwa proses pematangan para pemainnya saat ini tengah terganggu.

Pemain level prestasi macam Tommy Sugiarto, Linda Wenifanetri, Bellaetrix Manuputty, Angga Pratama/Rian Agung, Greysia Polii/Nitya Krishinda Maheswari, Riky Widianto/Richi Puspita Dili dan lainnya tak mampu memuaskan hasrat Rexy Mainaky dan Ricky Subagdja sebagai penanggung jawab prestasi pelatnas Cipayung.

Andai saja saat ini mereka masih bertahan di babak perempat final atau mampu meneruskan perjalanan ke semifinal nantinya meski gagal menjadi juara, setidaknya senyum akan sedikit menghias wajah Ricky dan Rexy. Namun jika yang terjadi adalah hal seperti ini, dipastikan Ricky dan Rexy akan berwajah masam.

Indonesia boleh jadi berstatus tuan rumah, namun sepertinya para pemain Indonesia sulit untuk menjadi tuan di rumahnya sendiri. Persaingan yang makin ketat di dunia bulu tangkis memang harus direspon dengan langkah yang sigap, baik oleh para pengurus, pelatih, maupun pemain sendiri. Jika satu unsur saja tidak bekerja dengan optimal dan penuh keseriusan, maka jelas hasil yang diharapkan tidak akan kunjung datang.

Dalam durasi 2007-2013, Indonesia sudah empat kali hampa gelar di Istora Senayan yaitu pada 2007, 2009, 2010, dan 2011. Dalam dua edisi terakhir, meski tak hampa gelar, status tuan juga rasanya tidak layak disandang mengingat hanya satu gelar yang berhasil digenggam.

Untuk tahun ini, Indonesia kini tinggal berharap pada Ahsan/Hendra, Kido/Fernaldi, dan Tontowi/Liliyana. Entah apes atau justru beruntung, Ahsan/Hendra bersua Kido/Fernaldi di babak perempat final sehingga paling tidak Indonesia sudah mengamankan satu wakil di babak semifinal meski dengan kata lain sudah pasti ada satu wakil yang tumbang hari ini.

Semoga para pemain yang bertahan mampu bermain optimal dan tidak terbebani dengan fakta bahwa mereka kini semakin diharapkan untuk menjadi juara oleh publik Indonesia. Jika peluang maksimal meraih dua gelar pada akhir final hari minggu nanti bisa diwujudkan menjadi kenyataan, setidaknya Indonesia masih bisa bertingkah dan berlaku seperti tuan di rumah sendiri.

Tetapi hal itu tentunya tetap tak menutupi fakta menumpuknya pekerjaan rumah yang perlu dilakukan usai turnamen ini berakhir nantinya.

-Putra Permata Tegar Idaman-

Hayom dan Kesempatan Kedua

Kamis, 5 Juni menjadi hari yang mengejutkan bagi sebagian pemain pelatnas Cipayung. PBSI mengumumkan bahwa mereka memulangkan 13 pemain dan 1 pelatih sebagai bagian dari evaluasi menuju prestasi yang lebih baik di masa depan. Pencoretan di tengah tahun ini sendiri merupakan barang baru mengingat pada tahun-tahun sebelumnya proses promosi-degradasi selalu berada di akhir tahun.

Dari 13 nama pemain yang dipulangkan, boleh jadi nama Dionysius Hayom Rumbaka menjadi nama yang paling menjadi perhatian. Maklum, diantara deret nama lainnya, nama Hayom menjadi nama yang paling sering diperbincangkan dalam beberapa tahun terakhir.

Sejak kekalahan Indonesia dengan skor 2-3 dari Jepang pada perempat final Piala Thomas 2012 lalu, nama Hayom memang seolah menjadi public enemy bagi sebagian pendukung bulu tangkis Indonesia. Hayom dianggap gagal menampilkan permainan terbaik di momen genting dimana Indonesia butuh kemampuan terbaiknya.

Setelah momen Piala Thomas 2012, kritik terhadap Hayom memang terus mengalir makin deras. Sebabnya tidak lain adalah karena Hayom gagal unjuk gigi di berbagai turnamen perorangan dimana ia sering dipercaya turun. Pemain asal Yogyakarta ini pun tak pernah berhasil menembus peringkat 10 besar dunia. Di tahun 2013, medali emas SEA Games pun gagal diamankan oleh Hayom sehingga makin banyak pihak yang apatis terhadap perkembangan karir Hayom ke depannya.

Hayom bukannya tanpa usaha. Ia bekerja keras setiap hari, berlatih sejak pukul tujuh pagi hingga siang hari untuk kemudian disambung sesi sore hari, begitu tiap harinya. Namun bekal latihan itu tak jua mampu menaikkan level permainan Hayom di pertandingan yang sebenarnya. Mental bertanding Hayom belum sematang teknik permainannya.

Alhasil, ketika Hayom kembali kalah di partai ketiga semifinal Piala Thomas 2014 melawan Malaysia, kritik dan beberapa perkataan yang cenderung menjurus ke arah hujatan kembali mengemuka. Hayom dianggap tidak pantas berada di pelatnas, tempat para pebulu tangkis terbaik di Tanah Air berkumpul. Dan harapan banyak orang yang menginginkan Hayom keluar dari pelatnas akhirnya benar-benar terwujud saat Rexy Mainaky memasukkan nama Hayom dalam daftar nama atlet yang dipulangkan.

Gambar

Mengapa Hayom begitu dibenci, dikritik, dan bahkan dihujat? Percayalah, semua itu pada awalnya didasarkan pada ekspektasi tinggi publik pada sosok Hayom di awal kemunculan karirnya. Postur tubuh yang tinggi dan smash keras menjadi modal utama munculnya keyakinan publik bahwa Hayom mampu mengemban tongkat regenerasi tunggal putra Indonesia selepas era Taufik Hidayat. Ketika kenyataan tak sesuai harapan, suara-suara dukungan itu pun kemudian berubah menjadi kekecewaan dan beberapa diantaranya bahkan bertransformasi menjadi hujatan.

Dalam sebuah obrolan santai dengan Hayom, sang pemain pernah bercerita bahwa dirinya selalu mengalami segala sesuatu lebih telat dibandingkan rekan-rekan seangkatan lainnya. Saat Hayom sudah mulai setengah hati dengan bulu tangkis dan bersiap untuk menempuh jalur akademis, justru pada saat itu dirinya mendapat panggilan dari klub PB Djarum tanpa melalui proses seleksi.

Tidak sampai di situ saja, Hayom juga terbilang telat masuk pelatnas. Ia masuk pada usia 22 tahun dan menariknya ia kembali masuk tanpa seleksi melainkan melalui undangan langsung. Hal itu bisa terjadi setelah Hayom mampu menembus peringkat 20 besar dunia yang membuat pelatnas PBSI tergoda untuk merekrutnya. Dua fakta inilah yang kemudian bisa jadi petunjuk bahwa mungkin saja periode emas Hayom sebagai seorang atlet akan datang telat, tidak pada usianya 26 tahun miliknya saat ini yang sering disebut orang-orang sebagai usia emas dan matang seorang atlet. Dan Hayom sendiri selalu menegaskan bahwa ia juga memiliki harapan dan cita-cita untuk menjadi pemain papan atas dunia.

Gambar

Melihat rekam jejak Andre Kurniawan Tedjono dan Fransiska Ratnasari sekembalinya ke pangkuan PB Djarum dulu, rasanya Hayom tak perlu khawatir bahwa kesempatan pergi ke turnamen luar negeri akan menipis. Hayom diyakini bakal tetap memiliki kesempatan yang sama besar seperti saat di pelatnas, bahkan Hayom nantinya bakal lebih fleksibel dan leluasa memilih turnamen. Apakah butuh turnamen level menengah untuk meningkatkan kepercayaan diri dan menambah poin ranking atau tetap seperti metode semula dimana Hayom hanya bermain di turnamen level atas. Semua itu nantinya bisa didiskusikan dengan tim pelatih dan tentunya lebih fleksibel dibandingkan dengan pada saat Hayom berada di pelatnas, dimana sebagai pebulu tangkis kategori prestasi, Hayom dituntut untuk selalu bermain di level tertinggi.

Dikeluarkan dari pelatnas, Hayom ibarat terkena badai yang membuatnya hilang keseimbangan. Meski demikian, ia masih memiliki kesempatan kedua dan asa serta harapannya masih bisa ia genggam. Hayom harus banyak mengambil pelajaran dari kegagalannya sebelum ini dan jika tidak, kesempatan kedua akan hilang dan Hayom berserta cita-citanya untuk menjadi pemain papan atas dunia benar-benar tersapu oleh badai besar selanjutnya yang akan datang.

-Putra Permata Tegar Idaman-

Capres dan Olahraga Indonesia

Dalam beberapa minggu terakhir, hari-hari rakyat Indonesia diisi dengan pemberitaan soal persaingan dua capres-cawapres, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Lantaran kali ini hanya dua calon yang maju, persaingan terlihat lebih panas dibandingkan dua pemilihan umum sebelumnya. Pasalnya, kedua kubu bisa langsung saling serang, saling mencari kekurangan lawan dan menonjolkan kelebihan masing-masing.

Kemajuan dalam bidang ekonomi, hukum, keamanan, pendidikan, tenaga kerja menjadi bahasan dan hal-hal yang sering dijanjikan oleh dua kubu capres-cawapres. Jarang rasanya janji mengenai kemajuan olahraga dibahas secara berulang-ulang dan intens melainkan hanya sesekali saja oleh kedua kubu pasangan tersebut.

Gambar

sumber foto : detik.com

Gambar

Jokowi Saat Eksebisi Bulu Tangkis dengan Taufik Hidayat pada 2012 lalu

Sekedar berbalik ke belakang, setelah Indonesia menyatakan proklamasi kemerdekaannya pada 1945, para tokoh-tokoh Indonesia terus berupaya untuk membuat dunia mengakui kedaulatan Indonesia. Namun, Belanda yang masih belum mau melepaskan cengkraman mereka dari Bumi Pertiwi terus melakukan berbagai cara. Hal itulah yang kemudian memunculkan berbagai peristiwa baik itu yang sifatnya diplomasi seperti perundingan dan perjanjian maupun yang sifatnya pertempuran seperti agresi militer.

Dan belum diakuinya Indonesia secara global bisa dilihat dari bagaimana penolakan yang diterima oleh kontingen Indonesia yang ingin berlaga di Olimpiade London 1948. Ketika itu, atlet-atlet Indonesia tidak diperbolehkan tampil jika menggunakan paspor Indonesia dan baru diperbolehkan jika menggunakan paspor Belanda. Tentu saja hal ini ditolak oleh rombongan atlet Indonesia dan batallah niat Indonesia untuk ikut serta.

Hal itulah yang kemudian mendorong Persatuan Olahraga Republik Indonesia (PORI) dan Komite Olimpiade Republik Indonesia) mengadakan Pekan Olahraga Nasional di Solo, 8-12 September 1948. Tujuannya adalah menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Indonesia juga mampu menyelenggarakan pesta olahraga secara mandiri sekaligus memperkokoh persatuan dan kesatuan Indonesia sebagai sebuah negara.

Setelah pada PON pertama hanya dimeriahkan oleh peserta dari Tanah Jawa, pada PON kedua mulai diikuti oleh provinsi-provinsi di Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Pesta olahraga nasional ini bertambah meriah pada tahun selanjutnya dan berlangsung hingga kini.

Eratnya keterkaitan olahraga terhadap kemajuan bangsa juga bisa dilihat pada saat Indonesia mengajukan diri sebagai tuan rumah Asian Games 1962. Presiden Soekarno saat itu memandang pentingnya olahraga sebagai salah satu jalan untuk membuat bangsa ini dikagumi oleh dunia internasional. Karena itu, tidak hanya sekedar menorehkan prestasi, Indonesia juga harus memberikan penegasan bahwa Indonesia mampu menjadi tuan rumah event internasional. Jadilah kemudian kompleks Gelora Bung Karno dibangun dan masih berdiri kokoh hingga saat ini.

Cerita bagaimana sukses olahraga bisa memberikan kebahagiaan besar bagi bangsa juga mungkin bisa ditengok dari sejarah kemenangan perdana Indonesia di Piala Thomas tahun 1958. Ketika itu, kemenangan benar-benar disambut antusias oleh seluruh elemen bangsa. Tan Joe Hok dan kawan-kawan benar-benar bak pahlawan yang pulang berjuang di medan perang. Sama halnya ketika Indonesia mampu menancapkan dominasinya sejak edisi perdana SEA Games (1978) hingga dekade 1990-an. Indonesia hanya gagal menjadi juara saat Thailand menjadi tuan rumah pada 1985 dan 1995.

Namun perlahan tapi pasti, kejayaan demi kejayaan Indonesia di bidang olahraga itu kini luntur tersapu waktu. Sulit bagi atlet-atlet Indonesia untuk bisa bersaing di level internasional. Sebabnya jelas sangat kompleks, mulai dari sistem pembinaan yang kini tidak berjalan dengan baik, dana operasional yang sedikit, hingga jaminan hari tua yang tidak jelas.

Berbalik ke visi misi dua Capres, berikut visi dan misi pasangan Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK. Dimulai dari Prabowo-Hatta, mereka memasukkan visi-misi mereka tentang olahraga di dalam ‘Agenda dan Program Nyata untuk Menyelamatkan Indonesia.’ Pada poin V nomor 9, Prabowo-Hatta menyatakan, “Meningkatkan prestasi olahraga nasional, termasuk tim nasional sepak bola Indonesia, tim bulu tangkis nasional, dan cabang-cabang olahraga lainnya yang potensial.”

Sementara itu, duet Jokowi-JK, menuliskan visi-misi mereka terhadap dunia olahraga di dalam bahasan tentang Berkepribadian dalam Bidang Kebudayaan ayat 3 yang berbunyi ‘Kami akan Membangun Jiwa Bangsa Melalui Pemberdayaan Pemuda dan Olahraga.”

Dalam paparan lanjutan ada enam poin yang disebut di ayat itu, yaitu :

e. Kami akan mengembangkan kebijakan dan manajemen olahraga dalam upaya mewujudkan penataan sistem pembinaan dan pengembangan olahraga secara terpadu dan berkelanjutan

f. kami akan meningkatkan akses dan partisipasi masyarakat secara lebih luas dan merata untuk meningkatkan kesehatan dan kebugaran jasmani serta membentuk watak bangsa

g. kami akan meningkatkan sarana dan prasarana olahraga yang sudah tersedia untuk mendukung pembinaan olahraga

h. kami akan meningkatkan upaya pembibitan dan pengembangan prestasi olahraga secara sistematik, berjenjang, dan berkelanjutan

i. kami akan meningkatkan pola kemitraan dan kewirausahaan dalam upaya menggali potensi ekonomi olahraga melalui pengembangan industry olahraga

j.kami akan mengembangkan sistem penghargaan dan meningkatkan kesejahteraan atlet, pelatih, dan tenaga keolahragaan.

Dengan tidak mengomentari visi-misi dua calon presiden tersebut, olahraga di Indonesia ini sendiri sejatinya memiliki kekuatan utama yaitu pada jumlah sumber daya manusia. Adalah wajar jika negara seperti Brunei Darussalam kesulitan memiliki atlet hebat karena jumlah penduduknya tidak terlalu banyak, namun hal itu jelas tidak bisa dimaklumi jika terjadi pada Indonesia yang memiliki penduduk yang mencapai 250 juta jiwa ini.

Profesi atlet ini sendiri boleh diibaratkan sebagai aliran sungai. Jika hulu, arus sungai, dan hilir sungainya tidak jelas kebersihannya, maka jangan harap ada banyak orang yang rela menceburkan diri ke dalamnya. Sama dengan atlet, jika sistem pembinaan, pendanaan dan pelatihan, serta hari tua profesi atlet, maka jangan harap akan banyak orang yang ingin menjadi atlet.

Sebagai contoh, persiapan menuju SEA Games 2013 kemarin terus diwarnai kendala kekurangan dana persiapan. Banyak atlet yang telat mendapatkan uang saku bulanan dan tidak hanya itu, untuk suplemen sehari-hari, banyak dari mereka yang merogoh kocek sendiri. Dana APBN untuk olahraga Indonesia saat ini memang terbilang sangat kecil dan tak cukup untuk menanggung puluhan cabang olahraga di Indonesia serta menuntut tiap-tiap dari mereka untuk berprestasi, bahkan di ajang SEA Games sekalipun.

Hal itulah yang kemudian membuat olahraga Indonesia selama ini lebih banyak bergantung kepada ketokohan. Karena anggaran dari negara belum mencukupi, jadi tiap-tiap Ketua Umum masing-masing Pengurus Besar (PB) Cabor harus menyiapkan strategi ekstra untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dalam upaya membina dan mendukung karir atlet.

Yang kedua, cerita klasik soal terlunta-lunta nya para pahlawan arena Indonesia di masa tua saat ini sudah bukan lagi barang baru. Saking seringnya cerita itu didengar hingga akhirnya semua jadi terasa biasa dan tak lagi mencengangkan. Ini yang harus ditemukan solusinya oleh Pemerintah terpilih nantinya.

Harus diingat, atlet adalah profesi yang berbeda dibandingkan profesi lainnya karena masa edarnya yang lebih singkat. Saat orang pada umumnya masih bingung menentukan jalan hidup di usia 20 tahun, atlet dituntut sudah harus bersikap matang dan siap mengambil keputusan. Saat orang pada umumnya mencapai kematangan berpikir dan karir yang mulai menanjak di usia 35 tahun, atlet justru sudah mulai menghabiskan masa edar dan siap untuk pensiun.

Gambaran ini jelas mendeskripsikan bahwa pilihan menjadi atlet adalah pilihan yang sulit, pilihan yang penuh resiko dengan presentase kegagalan lebih tinggi dibandingkan memilih profesi lainnya. Jadi ketika para Capres berani berjanji kepada buruh, guru, PNS, dan profesi kerja lainnya, sudah semestinya para Capres juga berani berjanji dan memegang komitmen kepada para atlet yang jumlahnya lebih sedikit namun besar jasanya karena mengharumkan bangsa.

Dan yang lebih penting lagi adalah pelaksanaan visi dan misi yang telah mereka susun. Sepanjang dan sebagus apapun visi-misi, tidak akan menghasilkan apapun jika tidak ada penerapan dan aplikasi di lapangan. Yang terpenting adalah Capres terpilih nantinya bisa memegang dan melaksanakan komitmen mereka. Beruntung, kedua kubu Capres sama-sama didukung oleh sejumlah mantan atlet sehingga siapapun yang terpilih, akan selalu ada tokoh dari kalangan atlet yang bisa menuntut janji yang telah disampaikan.

Ketika sistem pembinaan, sistem pendanaan dan pelatihan, dan jaminan hari tua atlet sudah jelas, maka pastinya akan banyak generasi depan yang berbondong-bondong berlomba-lomba ingin menjadi atlet yang bisa mengharumkan bangsa. Namun ketika itu semua tidak dilaksanakan, maka bisa jadi profesi atlet akan semakin dijauhi oleh anak-anak di masa depan.

Sebelum itu terjadi, harus diingat bahwa olahraga adalah perang resmi antar negara yang diakui di zaman modern seperti ini. Itulah sebabnya, negara-negara berpengaruh di dunia seperti Amerika Serikat, Cina, dan Rusia, tidak pernah melupakan peningkatan prestasi di bidang olahraga, di samping bidang-bidang lainnya.

-Putra Permata Tegar Idaman-

Istora dan Indonesia Terbuka Selalu Punya Cerita

Istora Gelora Bung Karno. Istora adalah kependekan dari Istana Olahraga, sebuah arena indoor yang terletak di kawasan Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta. Dengan menyandang status sebagai Istana Olahraga, tentunya gedung ini turut andil menjadi saksi bisu perkembangan olahraga di Indonesia, baik ketika Indonesia menjadi penonton pertandingan level dunia seperti saat Muhammad Ali berduel dengan Rudi Lubbers di tempat ini, ataupun saat para atlet Indonesia sendiri berlaku sebagai aktor utama di arena ini. Istora pernah menjadi saksi kehebatan Ellyas Pical dan juga kegemilangan pahlawan bulu tangkis Indonesia dari masa ke masa.

Gedung yang dibangun sebagai bagian dari persiapan Indonesia menyambut Asian Games 1962 ini sendiri ini mungkin kini sudah tak terlihat megah lantaran kepayahan mengejar kemajuan zaman. Jelas, usia yang sudah lewat dari lima dekade tak mampu menutupi kerut-kerut wajah Istora jika dibandingkan dengan arena olahraga lainnya di dalam dan di luar negeri yang lebih muda beberapa dekade.

Tetapi balik lagi ketika kemudian berbicara sisi historis, tentu Istora ini bisa kembali membusungkan dada. Salah satu event yang menjadi pelanggan tetap Istora adalah turnamen bulu tangkis Indonesia Terbuka. Turnamen level internasional plus karakteristik bulu tangkis yang juga menjadi salah satu olahraga favorit di Indonesia jelas menjadi paduan yang pas untuk selalu melambungkan event tahunan ini menjadi salah satu turnamen olahraga terfavorit tiap tahunnya.

Pada tahun-tahun sebelumnya, keriput-keriput Istora yang tampak dari muka berhasil dipoles dengan make up mempersona oleh penyelenggara. Istora benar-benar menjadi wajah yang berbeda. Djarum, selaku sponsor dalam beberapa perhelatan terakhir mampu membuat gelaran Indonesia Terbuka seperti layaknya sebuah festival yang tidak hanya terpaku pada jualan aksi di lapangan semata. Untuk tahun ini, dengan BCA sebagai sponsor utama, tentu harapan agar karakteristik seperti itu bisa dipertahankan atau bahkan ditingkatkan.

Gambar

Di dalam Istora, meski mulai rentanya gedung tidak bisa sepenuhnya ditutupi dan dirias, namun penonton hampir dipastikan akan terbawa suasana dalam atmosfer yang gila. Mereka seolah tidak pernah lelah memberikan dukungan kepada para pemain Indonesia yang berhadapan dengan lawan-lawannya. Para pemain Indonesia sendiri pun banyak yang berterus terang mengaku memiliki motivasi dan kekuatan ekstra setiap bermain di Istora, di tengah gegap gempita penonton yang mengelu-elukan nama mereka.

Gambar

Gambar

Seolah tak peduli bagaimanapun hasil yang diraih oleh pemain Indonesia, sepanjang pengamatan saya, para penonton selalu memberikan applause terhadap penampilan mereka ketika pertandingan selesai dipanggungkan. Memang akan terdengar teriakan kecewa ketika lawan memastikan poin terakhir yang berbuah kemenangan mereka, namun setelah itu applause meriah tetap diberikan penonton kepada para pemain tuan rumah sebagai pertanda apresiasi atas perjuangan dan keringat mereka di lapangan.

Sudah dua tahun terakhir ini, para publik Istora Senayan bisa mengakhiri event Indonesia Terbuka dengan sedikit senyum menghias di wajah. Mengapa sedikit? Karena memang dalam dua tahun terakhir hanya satu gelar yang bisa dirah oleh para pebulu tangkis Indonesia. Namun jumlah satu gelar itu sendiri setidaknya masih patut disyukuri ketimbang torehan periode 2009-2011 dimana pebulu tangkis Indonesia mencatatkan rekor buruk berupa tiga tahun tanpa gelar juara.

Di tengah pesta bulu tangkis yang berlangsung selama enam hari tersebut, tentunya publik Istora menyelipkan harapan bahwa ajang Indonesia Terbuka benar-benar akan kembali menampilkan para pebulu tangkis Indonesia sebagai raja seperti beberapa tahun yang telah lampau. Momen ketika mayoritas podium bertuliskan angka nomor satu dikuasai oleh pebulu tangkis Indonesia adalah pemandangan yang kini telah langka dan begitu dinantikan.

Penonton Indonesia memang boleh dibilang mayoritas satu suara di Istora. Pebulu tangkis Cina dan Malaysia pun kemudian seolah didaulat menjadi musuh utama. Pebulu tangkis Cina dianggap sebagai lawan berat yang mesti diteror habis-habisan agar kesulitan mengembangkan permainan sementara pebulu tangkis Malaysia mesti menerima nasib rivalitas bangsa serumpun yang selama ini membelit Indonesia dan Malaysia.

Koor eeaa—huuu adalah koor wajib yang tak butuh waktu lama untuk dipelajari oleh pendatang baru di Istora. Eeaa diucapkan ketika pebulu tangkis Indonesia memukul shuttlecock sementara huuu adalah kata yang disuarakan ketika pebulu tangkis lawan coba mengembalikan shuttlecock. Ada harapan bahwa pukulan sang jagoan makin kencang serta menembus pertahanan lawan dibalik teriakan eeaa dan ada harapan bahwa pukulan lawan menyangkut di net atau keluar di balik sorakan huuu. Filosofi yang sederhana dan simpel.

Namun jelas Istora tak selamanya satu suara. Ada kalanya suara Istora terpecah belah dan dalam beberapa tahun belakangan ini sosok Lee Yong Dae lah yang mampu membelah satu suara Istora secara jelas.

Gambar

Bukan hanya cerita soal Lee Yong Dae yang mampu membelah kesatuan suara Istora, banyak cerita lainnya yang tersaji di Istora dan Indonesia Terbuka selama beberapa tahun terakhir, seperti kisah Robert Mateusiak/Nadiezda Zieba yang pernah mencuri perhatian karena gaya-nya yang mengundang rasa kesal penonton. Ada pula momen menyentuh seperti prosesi pengunduran Taufik Hidayat dari dunia bulu tangkis pada tahun lalu.

Apa yang akan terjadi di Istora dan Indonesia Terbuka tahun ini pasti menarik untuk dilihat bersama, karena Istora dan Indonesia Terbuka pasti selalu punya cerita..

Gambar

 

Gambar

 

-Putra Permata Tegar Idaman-