Bayangan Piala Sudirman di Balik Axiata Cup

Axiata Cup telah usai dengan status Indonesia sebagai runner up lantaran kalah selisih poin melawan Thailand di partai final yang berakhir dengan skor 2-2.

Secara umum, Axiata Cup bukanlah ajang yang masuk sebagai bidikan besar dari PBSI tahun ini, namun bukan berarti kekalahan yang terjadi di ajang ini bisa diterima dengan lapang dada dan dimaklumi begitu saja.

Meski minus nomor ganda putri, setidaknya Axiata Cup juga merefleksikan bagaimana kekuatan terkini Indonesia jika berlaga di ajang beregu campuran. Hal ini menjadi menarik mengingat tahun 2015 mendatang, Indonesia akan menghadapi kejuaraan beregu campuran Piala Sudirman.

Pada ajang yang namanya diambil dari salah satu tokoh bulu tangkis Indonesia ini, Indonesia baru sekali merasakan manisnya gelar juara yaitu pada saat edisi perdana turnamen ini pada tahun 1989. Setelah itu, Indonesia harus puas menyaksikan Cina dan Korea bergantian memenangi turnamen ini dalam kurun waktu 25 tahun terakhir.

Berbicara mengenai persaingan nantinya, hasil di Axiata Cup jelas memaparkan sebuah kenyataan pahit, Indonesia kalah dari Thailand. Memang di partai final Indonesia tidak menurunkan dua wakil terbaik yang dimiliki saat ini, Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan dan Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir, namun titik permasalahan yang harus dicermati bukanlah pada sisi ini.

Toh nyatanya, tanpa menurunkan dua wakil tersebut, Indonesia tetap mampu meraih dua poin pada nomor ganda putra dan ganda campuran. Jikapun berandai-andai, mungkin Indonesia akan unggul selisih poin atas Thailand di babak final lalu jika Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana yang turun bermain pada babak final.

Namun, tetap saja, andai Indonesia mampu juara Axiata Cup dengan selisih poin pun, hal itu tidak akan menghapuskan keraguan yang akan mengiringi langkah Indonesia dalam persiapan menuju Piala Sudirman 2015.

Keraguan itu tidak lain bersumber pada seberapa besar kapasitas dan kemampuan para pemain tunggal putra dan tunggal putri Indonesia untuk menyumbang angka.

Untuk menghadapi ajang Piala Sudirman, peluang juara sebuah negara tentunya bergantung pada seberapa merata kekuatan yang dimilikinya. Semakin merata kekuatan negara tersebut di lima nomor, tunggal putra, tunggal putri, ganda putra, ganda putri, dan ganda campuran, maka semakin besar pula peluang negara tersebut untuk memenangi ajang ini.

Berkaca pada rumusan sederhana tersebut, maka Indonesia masih harus bekerja keras di beberapa bulan yang tersisa ke depan, utamanya di nomor tunggal putra dan tunggal putri, selain tentunya memperkokoh tiga nomor lainnya.

Di nomor tunggal putra, Indonesia kini memiliki Tommy Sugiarto dan Simon Santoso di pelatnas Cipayung dan Dionysius Hayom Rumbaka yang berada di luar pelatnas Cipayung saat ini.

Tommy sempat menunjukkan potensi menjanjikan beberapa waktu lalu, namun kemudian dirinya kembali menunjukkan performa yang labil dan inkonsisten. Terlihat bahwa Tommy pun belum sepenuhnya mampu mengemban tanggung jawab dan beban berlebihan yang datang pada dirinya. Pasca pergantian pelatih tunggal putra pada pertengahan tahun, Tommy pun sempat mengalami masalah komunikasi. Mungkin hal itu juga yang membuat Tommy masih beradaptasi sejauh ini.

Simon Santoso sempat membuat banyak orang berdecak kagum ketika dirinya dengan cepat bangkit dari keterpurukan pasca dicoret dari pelatnas Cipayung pada awal tahun ini. Namun sayangnya, begitu Simon memutuskan kembali ke Pelatnas Cipayung pada bulan Agustus, dirinya malah bernasib sial lantaran harus terkena demam berdarah dan tidak pernah bisa tampil maksimal di sisa tahun 2014 ini.

Hayom sendiri memang tampil mengesankan di Axiata Cup, namun menilik performanya di turnamen indvidu yang masih angina-anginan selepas dirinya keluar dari pelatnas, kecil kemungkinan Hayom bakal berperan sebagai andalan. Hal ini mendapat pengecualian jika Hayom ternyata mampu tampil trengginas di sisa beberapa bulan jelang turnamen berlangsung.

blog 1

Untuk nomor tunggal putri, Bellaetrix Manuputty dan Linda Wenifanetri sama-sama belum bisa menunjukkan performa memuaskan. Bahkan untuk sekedar membuat kejutan, hal itu semakin jarang mereka lakukan. Jika hal ini terus berlangsung hingga gelaran Piala Sudirman, maka bisa jadi nomor tunggal putri akan jadi kartu mati bagi Indonesia.

Bagaimanapun, dua nomor ini, tunggal putra dan tunggal putri harus segera berbenah. Pasalnya, dengan format normal Piala Sudirman yaitu Ganda Putra-Tunggal Putri-Tunggal Putra-Ganda Putri-Ganda Campuran, maka tunggal putra dan tunggal putri punya peran vital mengingat mereka bermain di dua dari tiga nomor awal.

Mereka harus bisa menjadi nomor yang bisa diandalkan dan dijadikan tumpuan. Karena bisa saja pada suatu kesempatan, nomor ganda putra yang bakal menjadi ujung tombak Indonesia gagal memenangi pertandingan dan di situlah peran pemain tunggal putri dan tunggal putra Indonesia diuji.

Secara umum, kualitas nomor ganda putri Indonesia saat ini lebih baik dibandingkan dengan kualitas ganda putri Indonesia pada ajang Piala Sudirman 2013 lalu. Karena itulah, sepertinya kemungkinan besar tidak ada lagi strategi memainkan Liliyana Natsir di dua nomor sekaligus agar nomor ganda campuran bisa maju sebagai nomor yang dimainkan di urutan pertama.

blog 2

Alasan pertama, karena Greysia Polii/Nitya Krishinda Maheswari sudah semakin solid sehingga sayang jika sampai harus dikorbankan. Yang kedua, Liliyana sudah semakin berumur sehingga sepertinya akan kesulitan jika harus bermain di dua nomor dalam satu pertandingan.

Memang membuat Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir menunggu di penghujung pertandingan adalah sebuah perjudian mengingat bisa saja kesempatan bagi mereka tak kunjung datang. Karena itu, lagi-lagi di sinilah perkembangan para pemain tunggal putra dan tunggal putri dalam waktu yang singkat ke depan benar-benar dinantikan.

Andai nomor tunggal putra dan tunggal putri bisa dipercaya menyumbang angka, maka setidaknya Indonesia bisa bernapas lebih lega. Para pemain dari nomor lainnya pun bisa lebih rileks dan tak bermain dengan beban berlebihan dan tuntutan harus terus menerus menyumbang angka yang boleh jadi akan membunuh ritme permainan mereka.

Dengan demikian, peluang untuk bisa menjadi juara Piala Sudirman benar-benar ada di depan mata, dan bukan hanya sebuah coretan prediksi di atas kertas yang berujung pada kesimpulan bahwa Indonesia sulit melakukannya karena tak memiliki kekuatan yang merata.

-Putra Permata Tegar Idaman-

Lee Chong Wei di Persimpangan Jalan

“Lee Chong Wei itu hebat. Pemain Malaysia lainnya tidak.”

Kalimat itulah yang diucapkan oleh seorang supir taksi di Malaysia saat penulis berkesempatan mengunjungi negara tersebut beberapa waktu lalu. Dari gayanya berbicara setelah itu, terlihat jelas bahwa pria tersebut mengikuti jelas perkembangan bulu tangkis di negerinya dan dunia secara global.

Menurutnya, kemunduran bulu tangkis Malaysia tidak lepas karena banyak pemain yang merasa tinggi hati dan cepat puas saat karir mereka mulai menanjak. Alhasil, mereka tidak benar-benar menjadi pemain bintang.

Dan sosok Lee Chong Wei inilah yang merupakan pengecualian dari sudut pandang si supir taksi tersebut. Dalam pendapatnya, semua pemain bulu tangkis di Malaysia sepatutnya meniru tingkah dan perilaku Lee Chong Wei. Meskipun Lee Chong Wei sudah lama menjadi pemain papan atas dunia, namun dia tidak pernah sombong dan berpuas diri. Ia selalu berlatih keras dan performa konsisten adalah hasil dan buah jerih payahnya selama ini.

Bagaimana besarnya kharisma Lee Chong Wei bisa dilihat dari banyaknya dukungan yang mengalir padanya saat bermain. Di Cina, walaupun ia adalah musuh besar Lin Dan, Lee Chong Wei tetap mendapat applause meriah di sana. Di Indonesia pun, tempat dimana rivalitas Malaysia-Indonesia terasa atmosfernya, Lee Chong Wei pun masih banyak mendapatkan dukungan saat turun bermain. Sungguh pemandangan langka dimana tidak semua pemain Malaysia bisa mendapatkannya.

Tidak hanya di dalam lapangan, di luar lapangan pun sosok Lee Chong Wei benar-benar merupakan sosok yang membumi. Di tiap perjumpaan dengan media, Lee Chong Wei selalu ramah dalam meladeni tiap pertanyaan-pertanyaan yang ada.

Lee Chong Wei adalah gambaran sosok yang nyaris ideal. Ia mampu berada di papan atas tunggal putra selama satu dekade dan meraih banyak gelar juara sepanjang karirnya. Di usianya yang sudah melewati 30 tahun, ia masih sulit untuk ditaklukkan. Mengalahkan Lee Chong Wei atau bahkan sekedar bermain imbang melawan dirinya masih menjadi cita-cita banyak pebulu tangkis muda di dunia ini.

Satu-satunya celah yang mungkin membuatnya disebut ‘nyaris ideal’ adalah lantaran ia belum pernah mengecap manisnya gelar Olimpiade dan juara dunia di antara puluhan gelar super series yang sudah dimenanginya, tak seperti dua rivalnya Taufik Hidayat dan Lin Dan yang sudah mampu melakukannya.

Meski demikian hal itu tidak lantas membuat kekaguman pada Lee Chong Wei menjadi surut. Ia tetap dipuja diidolakan oleh banyak anak kecil di dunia ini. Sosoknya merupakan cerminan bagi banyak orang untuk lebih termotivasi menjalani hidup ini. Gelar Dato pun didapat oleh Lee Chong Wei sebagai bentuk pengakuan negara terhadapnya

lcw

Sampai akhirnya, sebuah kabar mengejutkan itu datang sebulan lalu. Lee Chong Wei gagal dalam tes doping acak pada sampel A miliknya dan ternyata sampel B miliknya yang diuji pada pekan lalu tetap menunjukkan bahwa dalam diri Lee Chong Wei terdapat kandungan zat terlarang bernama dexamethasone.

———————

Berbalik ke belakang sejenak, pada era 2000-an terdapat sebuah sosok fenomenal dalam dunia olahraga balap sepeda bernama Lance Armstrong. Pria asal Amerika Serikat ini tujuh kali beruntun memenangi Tour de France, sebuah balapan sepeda jalan raya paling populer di dunia ini dalam periode 1999-2005.

Itu adalah kali pertama ada seorang pembalap sepeda yang mampu menjadi juara Tour de France selama tujuh tahun beruntun. Catatan itu semakin fenomenal melihat bagaimana latar belakang Lance Armstrong yang merupakan penderita kanker.

Kesuksesan Lance Armstrong menaklukkan kanker dan kemudian menjuarai Tour de France selama tujuh tahun beruntun adalah salah satu kisah fenomenal yang ada di dunia ini. Seorang biasa yang mampu survive dari kanker saja sudah merupakan seorang yang luar biasa hebatnya, apalagi jika seorang yang pernah divonis kanker testis stadium tiga mampu selamat dan kemudian menjadi juara Tour de France tujuh kali beruntun tentu merupakan seorang yang sangat luar biasa hebatnya.

Kesuksesan dan semangat juang Lance Armstrong benar-benar memotivasi banyak orang untuk tidak terus terpuruk dalam hidupnya. Jika Lance Armstrong saja mampu memenangi Tour de France, maka seharusnya semua orang punya kemungkinan untuk melawan ketidakmungkinan. Lance Armstrong benar-benar tokoh yang mampu membuat perubahan besar. Yayasan Amal miliknya Livestrong Foundation pun kebanjiran donatur. Semua membuka mata dan peduli terhadap gebrakan besar yang tengah dilakukan Armstrong pada dunia ini.

Namun cerita manis itu kemudian menjadi sebuah cerita yang menyakitkan hati bagi banyak orang. Bertahun-tahun setelah masa kejayaannya berlalu, USADA (Badan Anti Doping Amerika Serikat) menegaskan bahwa Lance Armstrong positif menggunakan doping dan mempublikasikan temuan-temuan baru mereka terkait hal ini pada tahun 2012 lalu.

Doping Lance Armstrong bukan cerita baru. Sepanjang karirnya, Lance Armstrong sering dikait-kaitkan dengan doping. Banyak kesaksian pembalap sepeda rekan setimnya dan juga para rivalnya yang menyebut Lance Armstrong melakukan doping. Namun semua itu terbantah karena Lance Armstrong tidak pernah terbukti positif doping dalam tiap tes yang dilakukan. Publik dunia makin bersimpati dan mendukung Lance Armstrong karena menganggap semua tudingan itu merupakan tudingan tak beralasan.

Untuk kasus 2012, masih banyak pihak yang berada di kubu Lance Armstrong. Mereka terus menyerang USADA, UCI, dan WADA yang dianggap mencoba merusak citra hebat Lance Armstrong. Keyakinan para fans dan pengagum Lance Armstrong itu terus bertahan sampai akhirnya Lance Armstrong buka suara di awal tahun 2013 dengan mengakui bahwa dirinya memang menggunakan zat doping sepanjang karirnya. Dia meminta maaf kepada publik dunia atas apa yang telah ia lakukan selama ini.

———————

Saat seseorang menjadi atlet, dia harus bisa menyadari bahwa dia berdiri di panggung itu bukan hanya untuk dirinya sendiri. Seperti halnya ilmuwan, seorang atlet bisa membuat perubahan besar pada dunia ini lewat torehan prestasi atau rekor yang telah dibuatnya.

Keberhasilan seorang atlet bisa menginspirasi banyak orang untuk bangkit dari keterpurukan dan berubah menjadi lebih baik. Pada pundak tiap atlet, banyak dititipkan mimpi-mimpi orang lain dalam hidupnya. Tak perlu dirinya sendiri yang mencapainya, banyak orang yang akan dengan sangat gembira jika atlet idolanya sukses mengukir prestasi yang luar biasa.

Atlet memang bukan sosok sempurna dimana tetap ada celah-celah kesalahan dalam tiap langkahnya. Namun untuk kategori doping, tentunya hal ini termasuk pelanggaran berat karena mencederai semangat sportivitas dan fair play. Banyak wajah yang akan kecewa dan berpaling jika atlet pujaannya ternyata berbuat curang untuk bisa mewujudkan mimpinya dan juga mimpi mereka.

Namun kasus doping sendiri tidak semudah menebak warna hitam dan putih di depan mata. Banyak hal yang bercampur di dalamnya dan terbagi dalam beberapa hal mulai dari kesengajaan, keteledoran, hingga ketidaktahuan.

Untuk kasus Lee Chong Wei, dalam tubuhnya ditemukan zat dexamethasone yang masuk dalam kategori steroid. Dengan terbukti positinya sampel A dan sampel B milik Lee Chong Wei, maka bisa dipastikan bahwa zat tersebut ada dalam jumlah yang banyak dalam tubuh pebulu tangkis nomor satu dunia tersebut.

Namun meski demikian, hitam-putih atas hal ini tetaplah belum jelas. Proses sidang atas kasus ini masih akan berlangsung. Kini, Lee Chong Wei ditunggu proses hearing atau pembelaan atas hasil tes yang menyatakan bahwa dalam kandungan tubuhnya terdapat zat doping.

Dari cerita Lee Chong Wei dan analisa BWF ini nantinya titik terang atas kasus ini akan semakin terlihat. Apakah Lee Chong Wei benar-benar dengan sengaja dan sadar menggunakan zat doping untuk mempertahankan performanya ataukah zat tersebut masuk ke dalam tubuhnya karena sebuah proses pengobatan terhadap Lee Chong Wei dalam beberapa bulan terakhir atau ada hal-hal lainnya di luar itu.

Sulit bagi sang atlet untuk mengelabui tim anti-doping karena hal itu berkaitan dengan zat-zat yang sudah barang tentu bukan merupakan ranah keahlian atlet. Akan ada ketidakcocokan alur nantinya jika seorang atlet coba memaksakan alibi yang tidak pernah benar-benar ia alami.

Entah bagaimana akhir dari cerita ini, tapi yang pasti akan banyak raut wajah kecewa dan hati yang terluka jika memang kemungkinan terburuk dari kasus Lee Chong Wei berakhir menjadi fakta. Bukan hanya publik Malaysia, melainkan juga penggemar bulu tangkis dunia. Karena seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, di pundak atlet, disematkan mimpi-mimpi banyak orang dan juga sebuah kepercayaan.

-Putra Permata Tegar Idaman-

Terima Kasih TopSkor!

topskor 5

Jumat, 29 Agustus 2014. Menyusuri rute Pluit menuju Bekasi. Tanah telah basah karena hujan baru saja turun dengan derasnya. Dalam sepinya jalanan, kemudian terpapar jelas bahwa rute inilah yang enam tahun telah dilewati. Dan ke depannya, jalan ini tidak akan lagi menjadi jalan yang akrab untuk dilewati setiap harinya.

Kepingan-kepingan kenangan lama pun hadir bergantian seiring laju roda yang bergerak pelan karena memang ku menghendakinya demikian. Kenangan pertama saat mencari lokasi kantor ini di pengujung 2007 untuk keperluan skripsi bersama Endah Lestari. Diiringi dengan jeda di warung minum sebanyak 3-4 kali, tibalah kami di Pluit. Sebelum momen ini, hanya dua kali aku menjejakkan kaki di tanah Pluit, pertama saat pergi servis ke bengkel menemani kerabat dan kedua adalah saat ingin menyelesaikan tugas kampus di Pulau Seribu.

Dan ternyata, kantor TopSkor di Pluit itu akhirnya tidak hanya kudatangi untuk keperluan skripsi. Tak disangka, garis jodoh kami lebih panjang dari sekedar urusan tugas akhir kuliah. Sebulan setelah kuliah usai, TopSkor menghubungiku dan menyatakan bahwa aku diterima bekerja di sana. Tawaran itu datang hanya satu jam lebih cepat dari telepon media lain kepadaku setelahnya. Andai saja media lain tersebut yang lebih dulu menelepon, mungkin jalan ceritanya bakal berbeda. Namun begitulah mungkin yang dinamakan jodoh, tak bakal hilang karena sudah digariskan.

Aku pun akhirnya resmi menjadi wartawan di TopSkor. Dengan usia 22 tahun, aku adalah wartawan termuda di kantor ini dan status itu bertahan hingga dua tahun lamanya sebelum Paundra Jhalugilang datang dan tentunya juga lantaran usiaku yang semakin tua. Belum pernah kulupa betapa bahagianya pada saat namaku terpampang di halaman koran, di atas berita yang kutulis saat kubaca koran TopSkor dengan status sebagai karyawan di sana pada keesokan harinya.

Pada awal kerja di TopSkor, kekuatan fisik mutlak perlu kujadikan senjata andalan. Maklum, jarak sepanjang 90 km pergi-pulang bukanlah termasuk sebuah jarak kantor yang ideal. Belum lagi jika mesti harus ditambah tugas-tugas liputan sebelum tiba di kantor. Variasi Bekasi-Cipayung-Pluit, Bekasi-Senayan-Pluit, Bekasi-TB.Simatupang-Pluit, Bekasi-Lebak Bulus-Pluit adalah sedikit variasi jalan yang pernah kulakukan selama enam tahun belakangan.

Jarak 90 km pergi-pulang di luar jarak menuju lokasi liputan memang terbilang jauh, namun kemudian secara psikologis bisa menjadi jauh lebih dekat. Semakin waktu berlalu, ada magnet kuat yang seolah bisa membuat jarak tempuh makin singkat. Kehangatan di kantor dan canda tawa yang ada di sana membuat perjalanan ke kantor akhirnya mulai bermetamorforsis, dari sebuah kewajiban menjadi keinginan. Setiap usai liputan, ingin rasanya selekasnya ke kantor untuk bekerja dalam balutan tawa dan suka-ria dan itulah yang makin kurasakan.

Jalinan pertemuan yang berubah menjadi pertemanan itu pun berkembang menjadi pertalian persahabatan. Dunia kerja yang kualami ini ternyata masih menawarkan persahabatan, layaknya dunia-dunia sebelumnya yang pernah kukenal. Dan kami, para wartawan-wartawan muda yang ada di kantor ini pun saling menopang untuk sama-sama berkembang. Ruang kecil di kantor lama seolah sesak oleh ide dan harapan kami tentang sudut pandang mengenai berbagai hal yang ada di kehidupan.

Kini enam tahun telah berselang, dan seperti bagaimana awal kami dipertemukan, garis jodoh dengan TopSkor sepertinya harus berakhir di sini. Kalimat ‘Don’t cry because it’s over, smile because it happened’ terus berulang-ulang kali kuteriakan dalam pikiran saat mengambil keputusan untuk berbeda jalan dan turun dari rombongan kantor ini.

Meski demikian, ternyata tetap ada air mata yang menetes di kalimat perpisahan. Sedih karena harus pergi meninggalkan tempat ini, namun di balik itu juga ada bahagia karena aku punya ikatan yang dalam dengan kantor ini. Enam tahun yang kuhabiskan di sini tak hanya sia-sia dengan hubungan kerja semata.

Dan tentunya terima kasih tak terhingga pada rekan-rekan yang sudah naik derajat menjadi sahabat dan saudara bagiku, baik yang saat ini masih berada di TopSkor maupun yang sudah lebih dulu pergi dan memulai babak baru dalam hidupnya. Semua memiliki kesan mendalam sebagaimana akan kuabadikan di sini :

Ahmad Bachrain

Kami memanggilnya Kapten. Usia tak mencerminkan kelakuan dan ini yang tergambar darinya. Meskipun dia lebih tua dari umur kami kebanyakan, tetapi hal itu tidak lantas membuatnya menjadi bijak. Dia hanya bisa bijak, atau mungkin lebih tepatnya mencoba bijak jika ada sebatang rokok menyala di tangannya.

Partner liputan lapangan pertamaku di Indonesia Open 2008. Menguasai banyak topik pembicaraan sehingga kadang seperti gabungan orator ulung dan agen MLM. Susah liputan pagi dan paling mesra dengan telepon kantor karena bisa berjam-jam bercengkrama hingga membuat yang lain bersabar menunggu giliran.

Lily Indriyani Sukmawati

Partner desk paling lama selama bekerja di TopSkor, mungkin hampir empat tahun bersamanya dan entah sudah berapa banyak makanan miliknya yang berada dalam perut ini. Banyak liputan khusus yang sudah dijalani bersama, dari liputan khusus yang menantang hingga liputan khusus yang seru dan mengasyikkan.

Walaupun berada dalam casing perempuan, soal ketahanan fisik kakak Lily tak ubahnya seperti laki-laki. Jarang sakit dan jarang bolos. Kata-kata ‘Monyet’ adalah salah satu kata mesra dari Kakak Lily untuk memanggil kami semua. Tidak ada yang marah dengan kata-kata itu karena marah berarti hilang sudah satu tiket masuk ke mejanya untuk mengambil cemilan secara gratis.

Rizky Nurmansyah

Teman satu angkatan kuliah yang akhirnya harus skripsi di tempat yang sama dan terdampar di tempat yang sama pasca lulus. Selalu tertawa jika mengingat kejadian dan proses bagaimana gue dan Rizky bisa masuk dan jadi karyawan di kantor TopSkor.

Karena pemikirannya lebih dewasa dibanding anak-anak lainnya sepertinya, makanya ia lebih suka berkumpul dan ngobrol bersama orang-orang tua. Agak kasihan juga ngeliat Rizky dituduh udah nikah diem-diem oleh beberapa orang hanya karena perubahan bentuk tubuhnya yang jauh lebih subur dibandingkan pada awalnya. Hahahaha..

Muhammad Rais Adnan

Semua memanggilnya Tuan Muda. Ucapannya adalah perintah dan perkataannya adalah titah. Entah dilandasi faktor turunan Raja atau memang dalam darahnya mengalir sel keegoisan yang kuat, setiap ucapan Rais memang selalu berkesan memberi perintah. Tentunya ucapan Rais tersebut bukan lantas dituruti oleh yang lainnya melainkan hanya menjadi bahan tertawaan dan candaan.

Selain Tuan Muda, julukan Rais lainnya adalah Robonews, yaitu teknologi robot yang dibuat untuk mencari berita tanpa kenal lelah. Julukan Robonews makin klop saat Rais datang dengan Astrea Grand Limited Edition, dimana saat ini di dunia hanya Rais dan pemilik Honda saja yang memilikinya.

Paundra Jhalugilang

Bintang sepak bola Tim TopSkor yang sejak kedatangannya sukses menaikkan derajat permainan tim lawak ini meskipun berpenampilan seperti kutu buku. Jadi aktor utama saat TopSkor juara Piala Ngabuburit namun sayangnya tak lagi menjadi bagian dari tim saat TopSkor berjaya di Standard Chartered Cup.

Selain sepak bola, Popon juga dikenang dengan celetukan ‘mas-mas pegawai Robinson’ lewat ucapan ‘yak baju atasan ini lagi promo dan dipilih-dipilih’ sambil memainkan irama musik dari speaker milik Surya. Penggalan lagu Agnes ‘Getaran di Hatiku yang Haus akan Belaianmu’ pun akan selalu mengingatkanku pada sosoknya saat dengan ekspresif saat menghayati lagu tersebut.

Surya Sumirat

Juragan Angkot atau Surya Si Pemarah adalah julukan anak satu ini. Sebagai warga Tangerang pertama yang menjejakkan kaki di Pasar Pluit, Surya adalah salah satu sosok andalan untuk liputan antar kota antar propinsi dimana dia sukses melakukan perjalanan rutin Tangerang-Cibubur-Pluit. Jika sudah gandrung pada satu hal, maka Surya akan fokus untuk berada dalam hal terdepan tentang hobi barunya itu, mulai dari pelihara landak sampai merakit sepeda fixie.

Di kantor lama, Surya adalah penyedia jasa speaker dan musik gratis. Jika ada teman yang berulang tahun, maka sepanjang hari playlist nya akan diisi dengan lagu-lagu ulang tahun, mulai dari versi anak-anak yang riang gembira hingga versi horor mencekam yang entah siapa yang menyanyikannya.

Xaveria Yunita

Kakak dalam wujud adik. Gaya berpakaian kakak Xave setiap berangkat kerja seperti anak-anak orang kaya di daerah Pluit yang baru saja pulang dari les piano atau berenang. Sehingga kami kadang khawatir kakak Xave jadi sasaran pelaku penculikan anak-anak saat berjalan menuju halte busway tiap malam selepas kerja.

Jika ada Petugas Depnaker datang ke kantor, maka Kakak Xave sebaiknya harus bersembunyi karena dikhawatirkan nantinya kantor terkena tuduhan memperkerjakan anak di bawah umur. Partner tetap nongkrong di warung indomie dan selalu terdepan dalam urusan gosip, baik itu sebagai sumber berita maupun pemburu berita.

Juprianto Alexander Sianipar

“Apalah kita ini bro?” itu kalimat andalan Jupri ketika sedang dilambung-lambungkan perasaannya oleh rekan-rekan lainnya. Jupri telah dikenal sebagai si raja sial bersaing dengan raja midas. Jika apa yang disentuh raja midas berubah jadi emas, maka tim apapun yang dipilih Jupri akan kalah. Gelar Premier League Manchester City yang didapat lewat dua gol injury time adalah bukti sahih kesialan Jupri yang ketika itu sudah bernyanyi-nyanyi ‘Glory Glory Man.United’ dan yakin MU yang bakal jadi juaranya.

Meski demikian Jupri tetaplah sosok yang baik. Kakinya telah berulang kali menjadi pendorong roda motorku saat rutin mogok bulanan. Jarak Pluit sampai Pancoran tentu bukan jarak yang dekat, tetapi bagi Jupri yang terbiasa berolahraga, mendorong motor teman sampai jarak itu bukanlah masalah!

Adyaksa Vidi Wirawan

Bertubuh kurus dan pada awal masuk TopSkor tidak pernah makan dan minum membuat teman-teman lain bertanya ritual apa yang sedang dijalaninya. Dari segi penampilan, gaya Vidi masih seperti remaja SMA kebanyakan, sehingga kadang terlalu seperti ‘adik bungsu’ jika berjalan di rombongan kami. Lama kelamaan, Vidi menjadi sparring partner-ku dalam upaya memperlancar Javanese Conversation. Sebelum bertemu Vidi, skill bahasa jawa ku mungkin ada di elementary 3 dan setelah berjumpa dengannya, kini naik hingga fase intermediate 2.

Menghabiskan waktu bersama meliput ASEAN Paragames 2011 di Solo dan sampai-sampai harus menginap di rumahnya dan menjalankan rencana darurat. Rumahnya di Pancoran pun sering jadi tempat singgah jika kami pulang larut malam dan liputan pagi sudah melambai-lambai dari kejauhan.

Hendry Wibowo

Terapis Pria nomor 99, begitulah julukan Hendry Wibowo karena tingkahnya yang sering menjamah pinggul rekan-rekan lainnya. Walaupun sering jadi sasaran kemarahan Surya, namun Hendry yang juga sama-sama berasal dari Tangerang ini selalu ikhlas menerimanya. Dengan potongan rambut anak SMP baru naik kelas, Hendry sukses bersaing dengan Vidi sebagai karyawan dengan tampang sok dimuda-mudain di TopSkor.

Semboyan paling terkenal dari Hendry adalah cari pacar yang berasal dari daerah yang sama dan baginya kota di luar Tangerang sudah termasuk LDR.  Tas selempang khas tukang kredit selalu dibawa setiap saat, entah apa isinya. Jadi orang paling bahagia saat TopSkor juara futsal Standard Chartered dengan mencium trofi berulang-ulang, padahal hanya trofi plastik. Momen bersejarah Maradona cium trofi Piala Dunia pun kalah dengan itu.

Rizki Haerullah

Alternatif imam shalat di luar Tuan Muda Rais Adnan.  Walaupun masih muda, tapi kayaknya lebih mateng daripada umurnya. Buktinya paling berani nikah muda dibandingkan anak-anak lainnya yang ada di kantor TopSkor.

Agak pendiam kalau dibandingkan dengan anak-anak lainnya yang kelakuannya ajaib-ajaib. Yaa kadang juga becanda walaupun kadang becandaannya suka gak jelas. Karena umurnya masih lebih muda dibandingkan anak-anak yang lain, maka Riki gak pernah diganti setiap TopSkor tanding futsal. Dan dia selalu jadi pemain yang diminta untuk lari kesana kemari mengejar bola.

Ahmad Fickry Hackiki

Kami memanggilnya penari latar. Gayanya yang klimis dan baju yang rapi memang membuatnya tampak seperti penari-penari pria di acara-acara televisi. Walaupun hanya setahun, Fikri membuktikan daya adaptasi yang luar biasa dengan langsung akrab dengan anak-anak lainnya. Wajar, meski usianya masih muda, ia sudah memiliki pengalaman di lebih dari 8 perusahaan dan berbagai macam profesi.

Sama-sama dari Bekasi, Fikri sering jadi temen bareng iring-iringan pulang naek motor. Seenggaknya kalo bareng, gak perlu khawatir kalo mogok di jalan karena ada tenaga bantuan. Anehnya setiap bareng Fikri selalu aja ada razia polisi. Entah mengapa….

Selain teman-teman terbaikku di atas, tak lupa juga kuucapkan terima kasih pada Bos Yusuf, Mas Edu, dan Mas Irfan yang sudah mau sabar menghadapi satu staff yang sering protes ini. 😀 😀 😀

Terima kasih pada Mas Cahyo dan Mas Kunta yang jadi atasan langsung selama tugas di TopSkor dan telah mengajari banyak hal, dan tak lupa pula terima kasih pada para redaktur lainnya Mas Ocki, Mas Kunta, Mas Dedhi, Mbak Ika, Mbak Dini, Mas Rijal, Pak Slamet Ari dan Pak Husni atas waktu-waktu yang menyenangkan. Maaf jika sering keluar irama berisik dan kata-kata ultrasonic dari mulut ini yang mungkin tak bisa ditolerir dan mengganggu jalannya proses deadline. Terima kasih Pak Jumadi selaku sekretaris redaksi yang jadi tumpuan anak-anak untuk mengurus segala keperluan.

Terima kasih pada temen-temen grafis yang selalu membuat ruangan makin ramai dengan tingkah-tingkah ajaibnya. Terima kasih pada seluruh jajaran redaksi yang kalau semuanya disebutkan satu per satu di sini maka surat ini tak akan ada ubahnya dengan boks redaksi di halaman dua. Terima kasih pada seluruh karyawan yang ada di TopSkor tanpa terkecuali.

Ada masa dimana aku ingin terus berada di kantor ini, ada masa dimana aku ingin pergi serta mencari tantangan baru dalam hidup ini, dan pastinya ada masa dimana nantinya aku akan merindukan tempat ini. Sebagai manusia, aku belum tahu bagaimana nantinya perjalanan ini berakhir, namun aku selalu tahu dan bisa dengan bangga menceritakan darimana aku memulainya. Dari utara Jakarta, dari Jalan Pluit Kencana Raya..

 Terima Kasih TopSkor! Terima Kasih atas Segalanya!

 

Bekasi, Jumat 28 Agustus 2014

Putra Permata Tegar Idaman

 

Nb : Terima Kasih kepada seluruh tukang dagang, tukang mie ayam yang memberi ayam lebih banyak, tukang nasi padang yang memberi sambal lebih banyak, tukang gado-gado yang memberi kecap lebih banyak, tukang gorengan yang memberi bonus gorengan lebih banyak, tukang bubur yang selalu ingat tak pernah memberi kacang pada pesanan, tukang ayam bakar yang selalu memberi nasi lebih banyak, dan tukang-tukang lainnya di Pluit. Terima kasih!

 

 

topskor 1

 

 

foto 1

 

foto 2

 

 

foto 4

 

_MG_8001

 

topskor 42

 

topskor 20

Sejarah Jepang dan Efek Dominonya

Semua catatan yang ada di masa yang telah lampau disebut sebagai sejarah. Dan sejarah itu bisa berwajah dua, baik dan buruk. Dalam hal Piala Thomas 2014, Jepang telah sukses menggoreskan sebuah sejarah baik, menggembirakan, dan layak untuk dikenang. Mereka mampu menjadi juara Piala Thomas untuk pertama kalinya dalam kesempatan perdana mereka tampil di sebuah partai final.

Berbicara soal sejarah, sekedar berbalik ke era 1990-an, setelah Jepang berpartisipasi sebagai  penggembira di Piala Thomas 1990, Jepang tak lagi mampu lolos ke putaran final Piala Thomas pada periode 1992-2002. Jepang baru bisa masuk ke putaran final Piala Thomas pada tahun 2004. Jelas dengan demikian ada masa kekosongan prestasi yang dialami oleh putra-putra Jepang.

Kembalinya Jepang ke putaran final sendiri ketika itu tak lepas dari perubahan format putaran final yang mempertandingkan lebih banyak negara peserta. Setelah kembali masuk putaran final, langkah Jepang tiga kali beruntun tertahan di babak perempat final yaitu pada 2004, 2006, dan 2008. Setelah era perempat final, tim putra Jepang pun kemudian mampu menapak babak yang lebih tinggi yaitu semifinal pada tahun 2010 dan 2012.

Dua tahun kemudian, pada 2014, Jepang ternyata sukses menerobos partai puncak dengan menaklukkan Cina yang menjadi raja dalam satu dasawarsa terakhir. Tampil di partai puncak, Jepang tak menunjukkan rasa canggung sedikit pun melawan Malaysia yang memiliki tradisi lebih baik dibandingkan  dengan mereka. Skor 3-2 dengan kemenangan lewat rubber game di partai terakhir membuat para penonton Piala Thomas-Uber mencapai klimaks kepuasan mereka di akhir turnamen.

Gambar

copyright : AFP

Mungkin jika melihat paparan kualitas dan materi tim yang dimiliki Jepang, mereka jelas berada di belakang beberapa negara lainnya di ajang Piala Thomas ini. Tidak ada pemain yang benar-benar dijadikan jaminan untuk meraih poin di tiap pertandingan seperti halnya Lee Chong Wei di Malaysia ataupun Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan di Indonesia. Satu lagi, sejak seri BWF Super Series tahun 2012, tidak ada satu pun pemain tunggal putra dan ganda putra Jepang yang mampu meraih gelar juara. Namun belum matangnya kualitas dan materi tim yang mereka miliki itu berhasil ditutupi oleh ketangguhan mentalitas dan rasa percaya diri para pemainnya.

Boleh saja di turnamen perorangan tiap-tiap orang yang ada di tim Jepang ini belum mampu menunjukkan prestasi yang menonjol dan tampil dominan. Namun ketika mereka bersatu dalam sebuah nama, Jepang, mereka mampu membuat sebuah perbedaan. Tampil dalam format beregu bisa mereka jadikan dorongan untuk bermain di ambang batas maksimal kemampuan yang mereka miliki dan bukan malah membuat mereka mendapatkan perasaan tertekan. Mereka mampu tampil dengan optimisme bahwa mereka mampu meringankan langkah rekan-rekan setim dan bukan malah dibayangi kegagalan serta perasaan takut mengecewakan teman-teman lainnya.

Kemenangan di Piala Thomas ini jelas tidak menjamin sukses Jepang di nomor perorangan setelah ini. Namun setidaknya, keberhasilan mereka mengangkat trofi juara di India menjadikan sebuah penegasan bahwa sejauh itulah batas maksimal yang bisa mereka lakukan di masa depan. Ada asa bisa menjadi juara yang akan tertanam dalam diri mereka setelah kejayaan mereka kali ini.

Kenichi Tago pastinya akan semakin siap bersaing dengan Chen Long, Jan O Jorgensen, dan juga Tommy Sugiarto sebagai pemegang tahta raja tunggal putra saat Lee Chong Wei dan Lin Dan semakin memasuki usia senja.

Begitu pula Kento Momota. Sebagai juara dunia junior 2012, aksi impresifnya di Piala Thomas tahun ini jelas akan semakin membuka mata dunia bahwa Momota adalah sosok yang wajib diperhatikan seiring berjalannya waktu ke masa depan. Kematangan Momota bermain di lapangan sama sekali tidak menunjukkan bahwa ia baru saja menjadi juara dunia junior dua tahun lalu. Momota sudah berada di jalur yang benar dan kini pastinya bersiap menyusul Tago untuk menjadi penghuni 10 besar.

Pun begitu halnya dengan Takuma Ueda. Dengan penampilan impresifnya di laga penentuan, posisi 25 dunia jelaslah masih terlalu rendah untuknya. Hanya dengan mempertahankan konsistensi penampilan seperti laga final,maka Ueda diyakini akan bisa melesat dan berada di peringkat yang tak terlalu jauh dengan Tago dan juga Momota.

Untuk nomor ganda putra, harapan untuk merangsek dominasi Ahsan/Hendra dan para ganda Korea, jelas ada pada pundak Kenichi Hayakawa/Hiroyuki Endo yang merupakan ganda putra terbaik Jepang saat ini. Catatan empat kali runner up event super series di dua tahun terakhir jelas sudah cukup bagi mereka. Setelah menjadi elemen penting keberhasilan Jepang menjadi juara, saatnya bagi mereka untuk bisa lebih percaya diri dan meyakini bahwa mereka mampu juara.

Selain prestasi di level tertinggi, kesuksesan Jepang menjadi juara Piala Thomas kali ini diharapkan oleh mereka bisa menciptakan rasa jatuh cinta yang lebih besar dan berskala nasional generasi muda di negeri mereka terhadap bulu tangkis. Alasannya simpel saja, semakin banyak yang menyukai dan tertarik untuk menekuni bulu tangkis, maka akan makin besar peluang mereka menemukan bibit-bibit pebulu tangkis hebat. Jelas jika ini yang terjadi, maka trofi Piala Thomas ini bukan sekedar kemenangan manis saat ini, melainkan pula investasi besar untuk masa yang akan datang.

Jepang juara Piala Thomas tahun ini bukanlah sebuah pertanda pasti bahwa mereka akan menancapkan kuku dominasi dalam beberapa tahun ke depan. Namun, mereka telah mengukir sebuah sejarah yang baik dan luar biasa bagi perbulu tangkisan mereka dan itu akan terus dikenang bertahun-tahun mendatang, tak peduli bagaimanapun wajah perbulu tangkisan Jepang nantinya, apakah jauh lebih baik dari sekarang ataupun kembali ke posisi semula sebagai negara di barisan kedua.

 

-Putra Permata Tegar Idaman-

Kekalahan yang (Semoga) Menyadarkan

Indonesia terlempar dari persaingan tangga juara di turnamen Piala Thomas dan Uber 2014. Bukan hanya sekedar kalah, melainkan gagal dengan sebuah pukulan keras yang membuat Indonesia terjatuh dan seolah tak sadarkan diri. Tim Thomas Indonesia yang diunggulkan di posisi pertama harus takluk 0-3 di babak semifinal dari Malaysia yang sebelumnya sama sekali tidak masuk dalam peta persaingan menuju tangga juara. Sedangkan Tim Uber, harus angkat koper terlebih dulu di babak perempat final, juga dengan skor 0-3, dari India, negara yang sebelumnya tidak pernah merasakan atmosfer semifinal.

Kekalahan Indonesia dari Malaysia jelas merupakan sebuah kejutan bagi banyak orang. Bagaimana mungkin Indonesia yang menjadi unggulan pertama di Piala Thomas kali ini bisa kalah dari Malaysia. Okelah, mungkin Malaysia memiliki Lee Chong Wei, namun seharusnya Indonesia masih bisa menang di nomor lainnya. Okelah India punya Saina Nehwal, namun seharusnya Indonesia masih bisa mencuri poin di nomor lainnya. Begitulah kira-kira pendapat umum yang mengapung usai kegagalan Indonesia di kejuaraan beregu putra dan putri tersebut.

Sekedar berbalik ke belakang, setelah Gita Wirjawan memegang tampuk jabatan sebagai Ketua Umum Pengurus Pusat Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PP PBSI) pada pengujung 2012 dan menunjuk Rexy Mainaky sebagai komandan utama pelatnas Cipayung dengan posisi sebagai Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi (Kabid Binpres), prestasi bulu tangkis Indonesia boleh dibilang melesat jauh dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Gita dianggap sukses melakukan terobosan dalam sisi manajemen lewat pembaharuan seperti kontrak individu atlet dan kontrak pelatih, serta memperhatikan fasilitas penunjang serta sarana dan prasarana yang ada di komplek pelatnas Cipayung.

Dan sepertinya bintang keberuntungan tengah bersinar kuat kepada Gita, Rexy, dan PBSI di tahun 2013. Baru beberapa bulan mereka bekerja membentuk tim dan membangun kembali kekuatan bulu tangkis Indonesia, target-target yang mereka canangkan, ajaibnya tidak pernah meleset. Gelar di All England, gelar di Kejuaraan Dunia, dan tiga emas SEA Games berhasil diamankan oleh para pebulu tangkis Indonesia. Target final Piala Sudirman 2013 memang gagal, namun kekalahan 2-3 dari Cina ketika itu dianggap sebagai sebuah hal yang luar biasa dan sudah maksimal.

Secara umum, empat target di tahun 2013 sukses dilalui oleh PBSI dan atlet-atletnya. Puja dan puji pun mengalir kepada mereka yang mampu mengubah wajah bulu tangkis Indonesia, dari yang tadinya muram menuju senyum penuh kemenangan.

Masuk ke 2014, satu target lagi-lagi kembali berhasil dipenuhi oleh PBSI dan atlet-atletnya. Bahkan jika pada tahun lalu hanya satu gelar dari All England, maka untuk tahun ini Indonesia sukses meraih dua gelar juara All England. Sebuah peningkatan yang luar biasa dan membuat banyak orang yakin bahwa kebangkitan bulu tangkis Indonesia benar-benar telah nyata dan bukan ilusi semata.

Rentetan kesuksesan yang diraih itu pada akhirnya semakin membumbungkan semangat dan kepercayaan diri Indonesia menghadapi gelaran Piala Thomas dan Uber di tahun 2014 ini. Target juara diberikan kepada Tim Thomas Indonesia sementara target semifinal dianggap sebagai harga yang pantas dibebankan kepada Tim Uber Indonesia.

Gambar

copyright : badmintonindonesia.org

Khusus untuk Tim Thomas Indonesia, asa untuk kembali menjadi juara, benar-benar terasa. Indonesia memang sudah lama tidak juara Piala Thomas sejak terakhir kali merengkuhnya pada tahun 2002, dan tahun 2014 ini diyakini sebagai tahun yang tepat bagi Indonesia untuk kembali memenanginya. Cina yang selama satu dasawarsa terakhir menjadi raja kondisinya sedang tidak sebagus tahun-tahun sebelumnya. Indonesia bisa juara dan kesempatan ini tak boleh disia-siakan. Karena itu persiapan pun disusun dengan matang. Seleksi, karantina, simulasi dibentuk dalam sebuah rangkaian program persiapan. Mereka yang berangkat diyakini adalah mereka yang terbaik yang dimiliki Indonesia saat ini.

Namun kemudian waktu menyadarkan Indonesia, PBSI, Gita, dan Rexy bahwa sejatinya masih banyak pekerjaan rumah yang mesti harus mereka lakukan. Indonesia kalah dari Malaysia dan India, sebuah pukulan yang jelas sangat telak. Jika saja, Indonesia tersingkir di turnamen ini lantaran jegalan Cina, maka boleh jadi sikap permisif akan kembali mengudara. Bahwa Cina belum tersentuh dan kegagalan Indonesia bisa dimaklumi mungkin akan kembali mengemuka.

Kekalahan dari Malaysia dan India adalah sebuah pukulan telak, tepat di rahang dan membuat Indonesia terjatuh di kanvas persaingan bulu tangkis dunia. Kekalahan ini memang menyakitkan, sangat menyakitkan, namun jika dilihat lebih dalam, kekalahan ini juga seharusnya bisa menyadarkan.

Rasa sakit akibat kekalahan di Piala Thomas-Uber tahun ini harus terus diingat oleh Gita, Rexy, PBSI, dan para atlet-atletnya di waktu depan. Ini adalah kekalahan yang menyesakkan dan jelas rasa sakitnya tidak akan hilang hanya dengan sekedar sebuah pengharapan.

Dalam 1,5 tahun terakhir ini, sudah menjadi rahasia umum bahwa memang hanya Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir dan Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan yang selalu jadi andalan. Indonesia butuh andalan-andalan lainnya. Para generasi di bawah Tontowi/Liliyana dan Ahsan/Hendra harus bersemangat untuk mengejar ketertinggalan mereka.

Satu hal yang paling disorot dalam kekalahan Indonesia di ajang Piala Thomas-Uber ini adalah faktor mental bertanding dan mental juara yang belum dimiliki oleh banyak atlet Indonesia. PBSI, Gita, Rexy, dan lainnya masih harus memutar otak menemukan cara untuk membentuk atlet yang memiliki mental kuat di tiap pertandingan. Sesi motivasi dengan motivator saja sepertinya belum cukup untuk mengasah mental bertanding mereka di lapangan.

Semua pemain di pelatnas sudah berlatih dan bekerja dengan keras setiap harinya. Namun satu hal yang tak boleh terlupa, negara-negara lain pun pastinya melakukan hal yang sama. Ketika kerja keras bukanlah sebuah hal yang istimewa karena semua melakukannya, maka karakter kuat dalam diri akan menjadi pembeda. Mereka yang memiliki mental kuat-lah yang akan mampu mengaplikasikan 100 persen hasil latihan mereka di lapangan pertandingan. Hal ini jelas berlaku baik untuk kejuaraan beregu maupun turnamen perseorangan.

Indonesia sudah kalah KO dalam pertempuran Piala Thomas-Uber tahun ini, namun semoga kekalahan ini terus diingat. Bukan sebagai penjerat dan penghambat, melainkan sebagai dorongan motivasi untuk berprestasi lebih tinggi setelah ini.

Masih ada dua tahun ke depan sampai pertarungan puncak, Olimpiade Rio de Janeiro 2016 digelar dan sebelum itu masih banyak target-target besar yang pastinya akan dibidik oleh PBSI. Untuk tahun ini, masih ada Kejuaraan Dunia dan Asian Games, sementara untuk tahun depan boleh jadi All England, Piala Sudirman, Kejuaraan Dunia, dan SEA Games yang bakal jadi target besar. Saatnya PBSI, Gita, Rexy, dan para atlet Indonesia berbenah mengejar ketertinggalan. Agar nantinya, kekalahan di Piala Thomas-Uber 2014 ini menjadi manis untuk dikenang. Karena berkat kekalahan ini, momen kebangkitan bulu tangkis Indonesia secara menyeluruh, bukan sebagian kecil lewat tangan Tontowi/Liliyana dan Ahsan/Hendra, benar-benar menjadi kenyataan.

 

-Putra Permata Tegar Idaman-

Pertaruhan Sekarang, Pertaruhan yang Akan Datang

Tim Indonesia tersingkir di babak perempat final Piala Uber 2014. Ini adalah kali kedua secara beruntun Tim Indonesia hanya sanggup menapak babak final di turnamen bergengsi beregu putri tersebut. Jika dua tahun lalu Indonesia tersingkir setelah kalah 2-3 dari Jepang, maka untuk tahun ini pukulan lebih telak karena Indonesia tumbang dengan skor 0-3 di tangan India.

Ya, India. Bagi sebagian orang yang sudah mulai tidak mengikuti perkembangan bulu tangkis secara intens namun pernah tahu betapa hebat dan tingginya legitimasi Indonesia di kancah bulu tangkis dunia, tentu kekalahan di tangan India ini jelas di luar akal sehat.

“Dulu India kan gak ada apa-apanya, parah banget kalo sekarang sampai bisa kalah di tangan India.”  Mungkin begitu rata-rata kalimat yang terlintas di mulut dan pemikiran mereka.

Sekedar berbalik sebentar ke belakang, ke masa persiapan. Tim Indonesia ini sendiri pada awalnya sudah diultimatum untuk tidak diberangkatkan ke gelaran Piala Uber tahun ini oleh Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi Rexy Mainaky. Materi tim yang dianggap kurang mampu bersaing menjadi salah satu alasan di balik rencana Rexy tersebut.

Meski demikian, selang beberapa waktu kemudian, Rexy akhirnya melunak dan mengaku merestui keberangkatan Tim Indonesia ke ajang Piala Uber. Sejumlah program persiapan disusun dan masuk babak semifinal menjadi sebuah target yang harus dipikul oleh Linda Wenifanetri dan kawan-kawan. Pertaruhan dimulai. Indonesia mengirimkan tim terbaik dengan target yang terbilang masuk di akal.

Gambar

copyright : badmintonindonesia.org

Target masuk babak semifinal ini sendiri terbilang merupakan target yang realistis dan logis untuk dijangkau. Posisi Indonesia yang berada di unggulan kelima, di atas kertas berarti memang sudah sewajarnya masuk ke babak perempat final. Nah, dengan demikian, maka Indonesia hanya butuh satu kemenangan dalam sebuah pertarungan sengit di babak perempat final untuk mewujudkan target yang disandang.

Perjuangan Indonesia pun dimulai. Di babak penyisihan grup, dua lawan awal, Australia dan Singapura berhasil ditaklukkan. Dua kemenangan ini menjadi modal bagi Indonesia untuk menantang Korea. Jika menang, maka Indonesia sukses menjadi juara grup dan jalan di babak perempat final diyakini terbentang lebih mudah.

Gambar

copyright : badmintonindonesia.org

Namun pada kenyataannya, Indonesia kalah dan harus rela ada di peringkat kedua. Posisi kedua membuat Indonesia harus berharap banyak bahwa mereka tidak dipertemukan dengan Cina. Negara lain di luar Cina dianggap masih punya kemungkinan untuk dikalahkan, tapi tidak dengan Cina yang memang di luar jangkauan Indonesia. Nasib memihak Indonesia. Indonesia terhindar dari Cina dan menghadapi tuan rumah India.

Menghadapi India, peta kekuatan jelas bisa dibaca dari gambaran yang ada di sektor perorangan. Tunggal  putri nomor satu dan dua India, Saina Nehwal dan P.V Sindhu, memiliki peringkat yang lebih bagus dibandingkan dua tunggal putri Indonesia yaitu Linda Wenifanetri dan Bellaetrix Manuputty.

Sementara itu untuk ganda putri pertama, kekuatan Greysia Polii/Nitya Krishinda Maheswari dan Jwalla Gutta/Ashwini Ponnappa boleh dikatakan hampir seimbang dengan kecenderungan Greysia/Nitya sedikit lebih unggul. Untuk ganda kedua dan tunggal ketiga, Indonesia diyakini di atas India. Meski Adriyanti Firdasari memiliki peringkat di bawah P.C Thulasi namun kemampuan dan pengalaman Firdasari ada di atasnya, pun begitu ganda kedua Indonesia yang pastinya lebih unggul dibandingkan ganda kedua India.

Disinilah India berstrategi. Saina dan Sindhu juga dipasangkan di ganda putri sehingga urutan pertandingan menjadi berubah. Jika lazimnya format pertandingan adalah tunggal pertama-ganda pertama-tunggal kedua-ganda kedua-tunggal ketiga, maka dengan berduetnya Saina/Sindhu di ganda putri, otomatis format pertandingan berubah menjadi tunggal pertama-tunggal kedua-ganda pertama-tunggal ketiga-ganda kedua sesuai regulasi BWF.

Indonesia dan India sama-sama paham posisi mereka dalam pertaruhan ini. Jika salah satu dari Saina dan Sindhu atau keduanya gagal menyumbangkan poin, maka angin kemenangan akan bertiup ke arah Indonesia karena Indonesia bakal lebih unggul di nomor-nomor selanjutnya. Namun jika India mampu menciptakan keunggulan 2-0 di awal pertandingan, maka angin kemenangan bakal bertiup ke arah mereka, sekaligus menghembuskan tekanan besar ke kubu Indonesia.

Dan ternyata pertaruhan di pertandingan ini dimenangi India. Saina mampu mendominasi Linda, dan Bellaetrix sayangnya gagal menahan laju Sindhu dan sedikit kurang beruntung di akhir laga sehingga India ada di atas langit dengan keunggulan 2-0. Greysia/Nitya yang bermain di partai ketiga coba memperpanjang napas Indonesia. Sayangnya mereka tak mampu melawan berbagai tekanan mulai dari kondisi Indonesia yang tengah tertinggal, tekanan dari lawan plus atmosfer publik India. Alhasil, Greysia/Nitya tak bisa tampil dalam kemampuanterbaiknya dan harus merasakan pahitnya pesta publik India di Siri Fort Stadium.

 

Gambar

copyright : badmintonindonesia.org

Semua itu tentang pertaruhan. India dan Indonesia sama-sama sadar akan posisi mereka dan dalam pertaruhan kali ini India-lah yang memenangkannya dan memaksa Indonesia gigit jari. Target semifinal gagal diwujudkan dan para pejuang putri ini pun harus pulang dengan kegagalan serta larut dalam penyesalan.

Kegagalan bukanlah bencana besar. Kegagalan baru berubah menjadi malapetaka manakala tidak ada pelajaran yang bisa diambil dari momen ini. Dan tugas Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI) lah untuk mengambil pelajaran di balik kegagalan ini. tim Putri Indonesia memang saat ini tengah hancur, namun jangan sampai kepingan-kepingan kehancuran tim Putri Indonesia didiamkan begitu saja tanpa ada tekad dan niat untuk disusun kembali.

Dua tahun ke depan, langkah Indonesia di ajang Piala Uber akan lebih berat dibandingkan sekarang. Nama-nama yang ada di tim saat ini, meski gagal pun, adalah nama-nama terbaik yang dimiliki Indonesia saat ini. Namun, nama-nama ini sendiri sudah mulai melewati batas usia  matang mereka sebagai seorang atlet bulu tangkis pada umumnya.

Dua tahun dari sekarang, Linda Wenifanetri akan memasuki usia 26 tahun, Bellaetrix Manuputty 28 tahun, Maria Febe Kusumastuti 27 tahun, Adriyanti Firdasari 30 tahun. Di barisan ganda, Greysia Polii akan berusia 29 tahun, Nitya Krishinda Maheswari 28 tahun, Pia Zebadiah 27 tahun, Rizki Amelia Pradipta 26 tahun, Tiara Rosalia Nuraidah 23 tahun, dan Suci Rizki Andini 23 tahun.

Dengan gambaran usia di atas plus pencapaian saat ini, jelas berat bagi Indonesia jika mempertahankan tim tahun ini untuk kembali berkiprah dua tahun mendatang. Terlebih pastinya negara-negara lain akan makin melesat dengan mengorbitkan para pemain mudanya. Karena itu, kemungkinan terbesar adalah dua tahun ke depan Indonesia akan tampil dengan formasi kombinasi pemain muda yang baru bermunculan dengan beberapa pemain yang masih ada di skuat tahun ini.

Masalah yang kemudian ada saat ini adalah, barisan generasi Indonesia sendiri masih belum sepenuhnya berada dalam posisi siap untuk segera dilepas berlari di lintasan. Pokok persoalan utama Indonesia di nomor beregu putri ini sendiri terletak di nomor tunggal putri, nomor penting karena memainkan tiga pertandingan di Piala Uber.

Melihat daftar pemain di pelatnas saat ini, regenerasi di tunggal putri memang lebih tersendat prosesnya dibandingkan dengan regenerasi di nomor ganda putri. Melihat deret nama tunggal putri di pelatnas, di luar nama-nama yang ada saat ini, hanya ada nama Hera Desi dan Aprilia Yuswandari yang tidak dibawa oleh tim tahun ini. Dua tahun mendatang, usia mereka pun sudah masuk ke angka 26 tahun, hampir serupa dengan yang lainnya.

Di bawah generasi Bellaetrix dan kawan-kawan, skuat tunggal putri pelatnas diisi oleh para pemain yang yang pada tahun ini masih berusia belasan seperti Hanna Ramadhini (19 tahun), Ruselli Hartawan (17 tahun), Gregoria Mariska (15 tahun), Vehrenica Debora (17 tahun), dan Mayrina Lukmanda (16 tahun). Dengan demikian, maka usia mereka dua tahun mendatang masihlah ada di angka belasan kecuali Hanna yang bakal berusia 21 tahun.

Gambaran di atas menunjukkan ada satu baris kosong di nomor tunggal putri pelatnas dimana saat ini tidak ada pemain yang berusia 21-22 tahun seperti halnya Suci atau Tiara di nomor ganda putri yang pastinya bakal jadi andalan dua tahun mendatang. Kondisi ini lagi-lagi akan menjadi pekerjaan rumah besar bagi PBSI dalam dua tahun ke depan.

Pasalnya, generasi Hanna dan kawan-kawan sendiri saat ini masih belum banyak berkecimpung di turnamen level grand prix gold dan level turnamen di atasnya. Perlu sebuah terobosan dan lonjakan luar biasa dalam dua tahun ke depan bagi generasi mereka sebelum akhirnya mereka mampu disebut sebagai tumpuan dan andalan saat Piala Uber 2016 datang menjelang.

Atau bisa saja PBSI tetap melakukan proses regenerasi apapun yang terjadi. Dengan tak menaruh beban target berat bagi Tim Indonesia di Piala Uber 2016, PBSI bisa saja mengirimkan para rombongan pemain muda dengan harapan mereka mendapatkan pengalaman dan jam terbang yang bisa berguna pada kesempatan berikutnya.

Namun dari dua pilihan itu, tentunya semua berharap regenerasi yang tercipta adalah regenerasi yang hebat, yaitu regenerasi yang terjadi lantaran para junior memang sudah memiliki kemampuan yang seimbang atau bahkan melebihi para seniornya. Memang bukan pekerjaan yang mudah bagi PBSI dan para barisan pemain muda, namun setidaknya Indonesia masih punya waktu dua tahun untuk berusaha. Indonesia sudah kalah dalam pertaruhan kali ini, namun semoga memiliki nasib yang lebih baik pada dua tahun ke depan. Apapun langkah yang diambil PBSI dalam rentang dua tahun ke depan, semoga itu adalah sebuah pertaruhan yang bisa dimenangkan.

 -Putra Permata Tegar Idaman-

Pelepasan yang Meriah dan Deretan Foto Hitam-Putih di Koridor

Gemerlap sinar warna-warni menghiasi GOR Pelatnas Cipayung, tempat biasa para atlet-atlet bulu tangkis terbaik di negeri ini berlatih. Sinar cerah warna-warni, panggung yang berdiri gagah, suara gemuruh dan suasana riang menjadi kombinasi yang menarik perhatian pada Senin, 5 Mei kemarin.

Hari itu, Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI) merayakan ulang tahunnya yang ke-63. Sebuah umur yang terbilang matang dengan perjalanan panjang sudah ditaklukkan. Tidak hanya perayaan ulang tahun, saat itu juga dilaksanakan pelepasan Tim Indonesia yang akan berlaga di Piala Thomas-Uber 2014 di India, 18-25 Mei mendatang.

Gambar

Gambar

Tak jauh dari tempat itu, di koridor-koridor pelatnas Cipayung terdapat sejumlah foto yang terbingkai dan digantung pada dinding. Foto-foto tersebut tidak berwarna cerah. Tidak gemerlap. Hanya ada hitam dan putih sebagai perpaduan dalam lembar kertas foto tersebut. Namun, foto itu tetap bersinar kuat. Foto tersebut tetap memiliki magis yang mampu membuat orang-orang tergetar ketika melihatnya. Foto-foto yang terpampang di dinding itu adalah foto-foto kejayaan Indonesia  pada masa silam seperti misalnya ketika arak-arakan Piala Thomas dilakukan di jalanan Ibu Kota, foto-foto para pebulu tangkis Indonesia yang kini berstatus legenda, dan lain sebagainya.

Para undangan dan tamu yang datang ke seremoni ulang tahun dan pelepasan Tim Indonesia untuk Thomas-Uber 2014 pun banyak yang menghentikan langkah mereka di depan deretan foto-foto lawas penuh kenangan tersebut. Pesona foto-foto kenangan itu pun tidak kalah dengan kemegahan acara utama pada hari itu.

Gambar

Sementara itu bagi para pemain pelatnas sendiri, foto-foto hitam-putih di sepanjang koridor itu bukanlah hal yang asing bagi mereka. Ketika mereka melintas untuk mulai berlatih, maka foto-foto itu pulalah yang menyambut mereka. Ketika mereka tengah menunduk kelelahan lantaran telah melahap semua porsi latihan yang diberikan, maka foto-foto itu pula yang akan memandang mereka.

Kembali ke Senin, 5 Mei kemarin, acara pelepasan yang terbilang mewah dan megah itu tentunya menarik untuk dicermati. Pada beberapa tahun belakangan, acara pelepasan keberangkatan tim ke sebuah ajang beregu berlangsung dengan sederhana, tanpa panggung dan tanpa sinar-sinar gemerlap. Jelas, dengan demikian maka cara pelepasan pada tahun ini terbilang luar biasa.

PBSI seolah ingin makin meniupkan rasa percaya diri kepada 20 pemain yang sudah dipercaya berangkat menuju medan pertempuran di New Delhi India. Lewat acara pelepasan yang berlangsung luar biasa ini, para pemain diharapkan semakin mengerti betapa besarnya keinginan dari PBSI dan juga publik untuk kembali menyaksikan kejayaan Indonesia di ajang beregu bulu tangkis. Kini tugas pemain adalah menumbuhkan rasa percaya diri bahwa mereka mampu melakukan dan mewujudkan harapan tersebut.

Dan memang sudah sepantasnya tidak ada perasaan minder dari 20 pemain yang terpilih untuk berangkat ke medan pertempuran. Mereka sudah menjalani persiapan matang selama ini. Mulai dari proses nominasi, karantina, hingga simulasi telah mereka libas dan lewati.

Selasa, 13 Mei ini, mereka meninggalkan pelatnas Cipayung. Beranjak dari arena latihan untuk pergi ke arena pertarungan. Mereka pergi dengan sebuah kenangan tentang pelepasan yang begitu meriah dan megah. Namun jelas, bukan pelepasan yang meriah yang menjadi tujuan dan cita-cita mereka selama ini. Tim Indonesia kali ini tentunya punya obsesi dan ambisi, bahwa mereka bisa mengangkat Piala Thomas dan Uber itu tinggi-tinggi. Dengan begitu, foto-foto selebrasi mereka nantinya bisa berdiri sejajar dengan foto-foto legenda Indonesia lainnya di sepanjang koridor pelatnas Cipayung. Foto penuh kenangan yang akan bisa terus jadi perbincangan orang-orang hingga berpuluh tahun ke depan.

Selamat berjuang Tim Indonesia!!

 

-Putra Permata Tegar Idaman-

Balasan Sebuah Kepercayaan

Adriyanti Firdasari, Greysia Polii dan kawan-kawan menghabiskan masa kecil mereka dengan melihat performa apik Susi Susanti, Mia Audina dan para pemain segenerasinya di era 1990-an. Ketika itu, kekuatan tim putri Indonesia benar-benar diperhitungkan di dunia bulu tangkis. Bukti sahihnya jelas adalah keberhasilan Indonesia meraih Piala Uber pada edisi 1994 dan 1996 serta masih mampu menjadi runner up pada 1998. Bukan tidak mungkin, tekad dan niat Firdasari, Greysia, dan sejumlah atlet lainnya untuk menjadi pebulu tangkis pun lahir dan bertambah besar setelah melihat kiprah dan kehebatan Susi dan rekan-rekan seangkatannya dua dekade silam.

Namun ternyata, generasi Susi itu pula yang akhirnya seolah menjadi “bayang-bayang” bagi generasi tim putri setelahnya hingga saat ini. Torehan tinggi di masa lalu pun akhirnya ditarik menjadi garis batas oleh publik Indonesia. Jika di masa lalu tim putri bisa menjadi yang terbaik, maka mengapa saat ini mereka tak bisa kembali melakukannya, begitulah pola pikir yang mungkin timbul lewat logika sederhana.

Dan perbandingan-perbandingan itulah yang kemudian membuat posisi Tim Uber Indonesia dalam beberapa tahun belakangan tampak inferior. Munculnya kekuatan anyar macam Thailand pun turut membantu makin tenggelamnya optimisme publik terhadap kemampuan Tim Uber Indonesia dalam gelaran turnamen tahun ini.

Pengurus Besar Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PB PBSI) pun bersikap realistis dengan memasang target semifinal bagi para srikandi Merah-Putih. Sebuah target yang juga masuk di logika orang banyak dan sangat mungkin bisa diwujudkan.

Jika melihat status Indonesia sebagai unggulan kelima, maka menurut perhitungan kasar sebelum pertandingan, Indonesia butuh satu lonjakan agar target tersebut tercapai. Lonjakan itu harus terjadi di babak perempat final dimana Indonesia diprediksikan bakal menantang negara yang lebih diunggulkan.

Tetapi tunggu dulu, skenario itu adalah skenario juga Indonesia hanya menempati posisi runner up di penyisihan grup. Bagaimana jika Indonesia mampu menjadi pemuncak grup dan masuk ke babak perempat final dengan status juara grup? Tentunya jalan yang lebih mulus akan terbentang di depan.

Dan Tim Uber Indonesia tahun ini sendiri memiliki modal besar untuk itu. Modal besar tersebut adalah berupa tingginya jam terbang anggota-anggota Tim Uber tahun ini. Di sektor tunggal, Linda Wenifanetri, Bellaetrix Manuputty, Maria Febe Kusumastuti, dan Adriyanti Firdasari adalah nama-nama yang sudah memiliki pengalaman sebagai anggota Tim Uber Indonesia. Mereka tidak akan lagi mengalami demam panggung layaknya debutan karena sudah pernah bersentuhan dengan atmosfer menegangkan pertarungan Piala Uber.

Gambar

copyright : badmintonindonesia.org

Sementara itu di sektor ganda, Indonesia memiliki dua ganda yang ada di posisi 10 besar dunia yaitu Greysia Polii/Nitya Krishinda Maheswari dan Pia Zebadiah/Rizki Amelia Pradipta. Satu tempat lagi di nomor ganda diisi oleh Suci Rizki Andini/Tiara Rosalia Nuraidah yang sering disebut sebagai ganda andalan Indonesia di masa depan nantinya.

Melihat materi tim yang ada, jelas status ganda putri Indonesia saat ini di Tim Uber boleh dibilang menjadi elemen yang lebih diandalkan untuk meraih poin dalam tiap pertandingan. Namun hal itu seharusnya hanya berlaku di atas kertas karena begitu pertandingan berlangsung, setiap pemain yang diturunkan memiliki beban yang sama, yaitu kewajiban menyumbang satu poin bagi tim guna memperbesar peluang tim meraih kemenangan.

Jika menilik ke belakang sesaat, Tim Uber Indonesia saat ini nyaris gugur sebelum bertanding terkait wacana tidak berangkatnya Tim Uber ke arena pertarungan yang disuarakan oleh Rexy Mainaky, Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi Indonesia. Tim Uber Indonesia tahun ini, dengan seluruh calon materi pemain yang ada ketika itu, dianggap tidak memiliki kemampuan yang mumpuni untuk bersaing di level atas kejuaraan beregu dunia.

Andaipun jadi dikirim, maka Rexy menyebut bukan tidak mungkin bahwa Indonesia malah akan mengirimkan pemain-pemain muda dengan alasan jika sama-sama gagal, maka lebih baik menggunakan kegagalan itu sebagai pembelajaran dan pemupukan jam terbang.

Namun hal itu akhirnya tidak terjadi. Rexy tetap memercayakan skuat Tim Uber Indonesia tahun ini diisi oleh pemain-pemain berpengalaman, putri-putri terbaik Indonesia tahun ini. Dengan hal itu pula maka Rexy pun percaya bahwa tim ini mampu menanggung beban target semifinal yang diberikan.

Dan ketika kepercayaan itu sudah di tangan, maka kini giliran Tim Uber Indonesia membalas kepercayaan itu dengan penampilan menawan di lapangan. Sepeninggal era Susi Susanti dan kawan-kawan, Tim Uber Indonesia memang lebih sering berada dalam posisi diremehkan dan tidak diperhitungkan. Materi pemain yang dimiliki Indonesia dianggap tidak mumpuni dan mampu bersaing dengan negara lainnya yang memiliki banyak pemain andalan.

Namun nyatanya dalam situasi seperti itu, Indonesia tak pernah benar-benar kehilangan jati dirinya sebagai negara besar di bulu tangkis. Ketika keyakinan telah membumbung tinggi disertai kemauan dan ambisi, maka hasil bagus pun tetap mampu didapat oleh Para Srikandi. Runner up Piala Uber 2008 menjadi contoh nyata kasus tersebut dimana Indonesia sukses menembus partai puncak padahal dua tahun sebelumnya Indonesia tak tampil di putaran final. Jika empat tahun lalu keajaiban itu terjadi, maka bisa saja hal itu kembali terulang saat ini. Ketika kepercayaan sudah dikantongi, maka sekarang adalah saatnya bagi Tim Uber Indonesia untuk unjuk gigi.

 

-Putra Permata Tegar Idaman-

Simon Santoso, Menepi untuk Berada di Podium Tertinggi

Simon Santoso tampil garang di lapangan. Lee Chong Wei, pemain nomor satu dunia yang notabene terus berhasil mempertahankan konsistensinya dari turnamen ke turnamen dalam beberapa tahun terakhir dibuat tak berdaya. Simon benar-benar unggul segalanya hari itu. Ia mendominasi permainan, memegang kendali ritme, dan tak membiarkan Lee Chong Wei berkembang. Gelar Singapura Super Series akhirnya menjadi milik Simon sebagai hadiah dari kegemilangannya hari itu dan pada hari-hari sebelumnya.

Sukses Simon di Singapura Super Series boleh jadi terbilang menarik. Bagaimana tidak, Simon mampu meraih dua gelar (plus Malaysia Grand Prix Gold seminggu sebelumnya) hanya dalam durasi tiga bulan sejak ia menyatakan mundur dari pelatnas Cipayung. Tak mundur pun ketika itu, Simon kemungkinan besar bakal didepak lantaran ia gagal memenuhi target di Malaysia dan Korea. Simon yang babak belur dan penuh kritik di bulan Januari berganti menjadi Simon yang penuh puja dan puji di bulan April.

Lalu apakah sukses Simon ini merupakan blunder PBSI karena tak memberikan Simon sedikit lebih banyak waktu untuk bangkit dari keterpurukan? Atau justru malah Simon harus berterima kasih kepada PBSI karena dirinya kini punya motivasi tambahan untuk bangkit dari keterpurukan?

Gambar

 Membahas Simon, kemudian ingatan ini melayang ke Indonesia Super Series Premier 2013. Ketika itu, masih terbayang jelas bagaimana kesalnya wajah Rexy Mainaky ketika mengetahui kabar bahwa Simon Santoso gagal bertanding dan mundur dari Indonesia Super Series Premier 2013 lalu lantaran sakit setelah salah dalam posisi tidur. Menurut Rexy, Simon benar-benar membuatnya kecewa. Yang Rexy mau, Simon coba turun ke lapangan dan  baru benar-benar mundur ketika memang dirinya tak kuat lagi mengejar shuttlecock.

Tidak hanya Rexy, banyak yang melihat Simon yang tengah dalam kondisi kurang bagus pasca sakit di awal tahun 2013 juga mengalami masalah dengan mental bertandingnya. Simon yang sudah dalam usia matang, 27 tahun dan memiliki jam terbang yang tinggi dipandang  banyak orang sudah sepatutnya tak lagi mengalami demam panggung sebelum bertanding.

Kejadian di Indonesia Super Series Premier itulah yang akhirnya membuat posisi Simon di pelatnas semakin terjepit. Simon yang masih mengharapkan waktu dan ruang serta pemakluman untuk bangkit terbentur oleh fakta usia Simon yang sudah matang dan penuh pengalaman. Alhasil, gelar di Indonesia Grand Prix Gold 2013 pun tidak cukup bagi Simon untuk dijadikan jaminan kepada PBSI bahwa Simon dalam jalur dan perjuangan untuk bangkit.

Simon memang masih bertahan di skuat pelatnas 2014 namun dengan syarat dan ketentuan yang berlaku. Dan persyaratan itu gagal dipenuhi Simon di bulan awal 2014. Sebelum dirinya resmi dikeluarkan oleh pelatnas yang telah memegang komitmen, Simon memutuskan mundur lebih dulu sebagai bentuk tanggung jawab terhadap kegagalan yang dialaminya.

Simon memang mundur dari pelatnas, namun saat itu pula ia baru saja mengambil sebuah langkah maju dalam sisa karirnya sebagai seorang pebulu tangkis. Diam di pelatnas lebih lama mungkin dirasakan oleh Simon tidak akan memberi banyak dampak positif terhadap perkembangan karirnya. Karena itu cara ekstrim harus dicobanya termasuk dengan berkarir di luar pelatnas. Jika memang harus hancur, maka biar hancur setelah dirinya mencoba berbagai kemungkinan, mungkin begitu pikir Simon dalam keputusan mundurnya dari pelatnas.

Sebagaimana umumnya yang terjadi, keluar dari pelatnas berarti beban berkurang dan motivasi bertambah. Beban sebagai penghuni pelatnas Cipayung memang sangatlah besar. Semakin lama berada di sana tanpa prestasi yang membanggakan, maka semakin berat pula beban yang disandang di punggung masing-masing pemain. Sorotan dari pihak luar pun makin tajam dan berujung pada dipertaruhkannya kapasitas dan kelayakan mereka sebagai penghuni pelatnas.

Untuk motivasi, jelas motivasi bertanding dan berprestasi pemain yang baru keluar dari pelatnas Cipayung akan menjadi lebih besar dibandingkan sebelumnya. Mereka seolah ingin menunjukkan bahwa sosok mereka di waktu sebelumnya adalah bukan sosok sebenarnya dari mereka. Mereka masih punya kemampuan untuk bersaing dan memenangi kompetisi. Hal ini kemudian diaplikasikan kepada pola latihan yang lebih keras di keseharian mereka.

Selain beban berkurang dan motivasi bertambah, tanggung jawab mereka terhadap diri sendiri pun makin besar. Mereka kini harus mengurus berbagai kebutuhan di luar pertandingan, tidak hanya fokus terhadap strategi dan permainan di lapangan seperti sebelum mereka berada di pelatnas. Tanggung jawab besar di keseharian ini bisa berdampak positif terhadap permainan mereka di lapangan. Dan nilai-nilai inilah yang sepertinya terjadi pada diri Simon Santoso saat ini. menepi untuk kemudian merasakan podium tertinggi.

Gambar

 

copyright : badmintonindonesia.org

Simon menang Singapore Super Series adalah hal yang luar biasa di masa saat ini, di masa dimana ia baru bangkit dan hanya berjarak dua bulan dari titik keterpurukan. Namun dibandingkan masa sebelumnya, sebuah gelar super series sudah pernah dirasakan oleh Simon dalam perjalanan karirnya.

Yang menarik kemudian dinantikan setelah ini adalah, apakah kegemilangan Simon ini sifatnya hanya sementara atau sukses ini adalah kejutan awal yang dibuat oleh Simon untuk kemudian akan hadir kejutan yang sifatnya lebih besar di masa depan. Apakah Simon mampu kembali ke tempat yang layak baginya di lima besar atau dirinya mampu melakukan lonjakan yang lebih tinggi dengan menjadi dominan di persaingan tunggal putra. Menarik untuk disaksikan….

 -Putra Permata Tegar Idaman-

Dan Tak Ada Lagi Ungkapan ‘Kita Memang Kalah di Atas Kertas’

Sebuah jumping smash keras dilontarkan oleh Hendrawan ke sisi kanan pertahanan Roslin Hashim. Smash itu masih bisa dikembalikan namun berujung pada sebuah pengembalian tanggung di depan net. Hendrawan tak menyia-nyiakan peluang itu. Ia langsung menyergap shuttlecock tersebut dan Roslin pun tak mampu membendung serangan Hendrawan kali ini.

Masuk! Skor menjadi 7-1 untuk Hendrawan. Ia memastikan kemenangan atas Roslin. Tidak hanya itu, ia juga memastikan kemenangan Indonesia atas Malaysia di final Piala Thomas 2002 dengan skor 3-2. Hendrawan menunjuk ke arah tempat kubu Indonesia tengah duduk menonton pertandingan. Beberapa saat kemudian, Hendrawan berlari dan anggota tim lainnya mengejar Hendrawan. Mereka berpelukan dan Indonesia kembali berbahagia dalam sebuah kemenangan.

Gambar

copyright : badmintonphoto.com

Namun ternyata, selebrasi itu menjadi selebrasi terakhir yang bisa dilihat rakyat Indonesia di ajang Piala Thomas. Setelah momen itu, Indonesia selalu gagal menyabet gelar juara. Catatan gelar Indonesia di ajang Piala Thomas terhenti di angka 13, angka yang sering disebut sebagai angka sial.

Namun terhentinya gelar Indonesia di angka 13 ini sendiri jelas bukan sekedar lantaran faktor angka sial. Indonesia tak pernah lagi menjadi juara karena materi tim yang ada memang kemudian tak sementereng pada tahun-tahun kejayaan.

Alhasil kemudian muncullah kalimat ‘kita memang kalah di atas kertas’ dari berbagai pihak seiring dengan kegagalan-kegagalan Indonesia di tiap tahun penyelenggaraan Piala Thomas. Sebuah ucapan yang juga berisi pemakluman bahwa memang secara materi Indonesia sedang di bawah negara lain, utamanya Cina.Sehingga ketika kalah, apalagi jika menghadapi Cina, maka hal itu menjadi sebuah kewajaran. Kritik baru benar-benar datang ketika Indonesia terempas terlalu dini seperti misalnya pada perempat final Piala Thomas 2012 lalu. Selebihnya, kekalahan Indonesia di babak semifinal dan final seolah bisa dimaklumi dan diterima karena sudah sebagaimana mestinya.

Hal itu kemudian menjadi menarik ketika melihat situasi Indonesia jelang Piala Thomas kali ini. Bagaimana tidak, Indonesia ditempatkan sebagai unggulan pertama, di atas Cina, Korea, Denmark, Jepang dan tentunya negara-negara lainnya.

Indonesia mengoleksi 294.796 poin, hanya unggul sekian ratus dari Cina yang ada di tempat kedua. Meski demikian, posisi Indonesia jelas sah sebagai unggulan pertama dan dengan demikian kalimat ‘kita memang kalah di atas kertas’ tidak berlaku lagi di penyelenggaraan Piala Thomas kali ini. Indonesia yang nomor satu di atas kertas, dan Indonesia yang berarti paling dijagokan meraih gelar juara di penyelenggaraan Piala Thomas kali ini.

Jika ditelaah perbandingan poin antara Indonesia versus Cina, memang kemudian status sebagai unggulan nomor satu yang dimiliki Indonesia menjadi semakin menarik. Dari lima elemen yang dijadikan dasar penentuan unggulan, yaitu tiga tunggal teratas dan dua ganda teratas tiap negara, Indonesia justru selalu kalah dalam perbandingan head to head poin di tiap nomor tunggal, baik itu tunggal pertama, kedua, maupun ketiga. Indonesia sendiri akhirnya bisa melampaui total poin milik Cina lantaran memiliki selisih poin yang lebih signifikan di nomor ganda, baik ganda pertama maupun ganda kedua.

Dengan demikian, muncullah sebuah asumsi bahwa Indonesia menjadi unggulan pertama pada perhelatan Piala Thomas kali ini bukan lantaran Indonesia sudah benar-benar bangkit dari keterpurukan, melainkan lantaran posisi negara lain, khususnya dalam hal ini Cina, tengah melemah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Apapun asumsi yang ada, yang jelas tahun ini adalah tahun terbaik bagi Indonesia untuk bisa memboyong kembali Piala yang namanya diambil dari Sir George Thomas ini. Peluang bagi Indonesia di tahun-tahun sebelumnya tidak pernah sebesar tahun ini. Status unggulan pertama pun akan semakin menaikkan motivasi dan mental bertanding para pejuang-pejuang Indonesia nantinya.

Tetapi, optimisme untuk bisa menghentikan laju kemenangan beruntun Cina ini jangan sampai membuat Indonesia  lengah dan terlena menghadapi ancaman dari negara-negara lainnya. Meski jelas bahwa saingan utama menuju garis finis adalah Cina, namun negara-negara lain tetap berpotensi untuk menyingkirkan Indonesia dari arena persaingan.

Denmark menjadi salah satu tim yang patut diwaspadai mengingat barisan pemain muda mereka pun berbahaya dan siap meledakkan kejutan bagi tim-tim lawan termasuk Indonesia. Malaysia pun pastinya tak boleh ketinggalan untuk diwaspadai karena faktor Lee Chong Wei dan semangat mereka yang pastinya makin meninggi lantaran faktor rivalitas bangsa serumpun jika bertemu Indonesia.

Korea tak boleh diremehkan meskipun mereka kehilangan pasukan ganda terbaiknya sementara Jepang harus diingat dalam-dalam sebagai penjegal Indonesia di dua tahun sebelumnya sehingga patut kiranya untuk tidak lupa untuk balas dendam.

Indonesia sudah unggul di atas kertas dan kini jelas rakyat berharap keunggulan di atas kertas tersebut benar-benar diaplikasikan di lapangan. Indahnya jika Piala Thomas kali ini berjalan tanpa kejutan. Unggulan terdepan keluar sebagai pemenang, dan Piala Thomas kembali ke pangkuan.

 

-Putra Permata Tegar Idaman-