All England dan Indonesia

Siang sudah berganti malam tatkala para pemuda mulai keluar dari rumah mereka. Tak lupa senter menjadi barang andalan yang mereka bawa di tangan. Setelah semua kawanan lengkap, mereka pun bergegas melangkah ke tempat tujuan. Setibanya di sana, mereka merasa lega karena belum banyak orang yang datang sehingga mereka pun bisa mendapat tempat yang lebih dalam.

Waktu yang mereka tunggu akhirnya tiba. Acara pun dimulai. Sorak-sorai tak tertahankan seiring memanasnya pertunjukkan yang mereka tonton. Beruntung bagi mereka yang datang lebih dulu dan berada lebih dekat dengan objek tontonan utama yang ada di ruangan itu. Jika datang telat, maka harus menerima nasib berada di tempat yang lebih jauh dari objek tontonan utama di ruangan tersebut.

Deskripsi di atas adalah sebuah gambaran bagaimana pemuda hingga orang dewasa menghabiskan waktunya di era 70-an. Ketika itu televisi masihlah merupakan barang mewah dan bulu tangkis tengah meroket popularitasnya di Indonesia. Jadilah akhirnya setiap Final All England digelar, maka Kelurahan yang bisa jadi menjadi tempat satu-satunya yang memiliki televisi di desa-desa diserbu warga untuk melakukan ritual nonton bareng All England. Tokoh utamanya siapa lagi kalo bukan Sang Maestro Rudy Hartono.

Gambar

All England memang begitu lekat dengan bulu tangkis dan juga dengan mulai mengangkasanya kejayaan Indonesia di olahraga ini. Bersama dengan kejayaan di Piala Thomas, nama Indonesia mulai disegani oleh negara-negara lainnya di persaingan bulu tangkis dunia berkat torehan prestasi para pemain Indonesia di All England. Bukan hanya bagi Indonesia, turnamen ini sendiri juga memegang prestise tertinggi bagi tiap negara yang berlomba-lomba ingin menjadi yang terbaik di olahraga ini.

Sebelum Kejuaraan Dunia Bulu Tangkis resmi bergulir pada 1977, All England sering disebut-sebut sebagai Kejuaraan Dunia Tak Resmi. Yang memenangi All England boleh dibilang sudah layak menyandang status sebagai pemain terbaik dunia ketika itu. Pun begitu halnya ketika Kejuaraan Dunia sudah resmi bergulir, All England tetap menjadi salah satu cita-cita dan titel yang ingin diraih oleh para pebulu tangkis di dunia ini semasa dirinya aktif bermain.

Status All England sebagai turnamen bergengsi pun tak jua lekang ketika Badminton World Federation mengelompokkan level turnamen ke golongan super series dan kemudian menjadi super series premier pada 2011 bersama empat turnamen lainnya. Meski All England menghadirkan hadiah lebih kecil dibandingkan beberapa turnamen super series premier lainnya, All England tetap memiliki magnet dan daya tarik tersendiri bagi tiap pebulu tangkis di negeri ini. Sisi historis panjang yang melekat di turnamen ini membuat pesona mereka sulit untuk disaingi oleh turnamen super series premier lainnya. Rasanya hanya Kejuaraan Dunia dan Olimpiade yang mampu menyaingi reputasi All England sebagai sebuah turnamen.

Berbicara masa lalu dan berbicara kenyataan saat ini, Indonesia sendiri sepertinya sedang tidak akrab dengan All England. Sebelum Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir keluar sebagai penyelamat dengan meraih gelar dua tahun terakhir (2012 dan 2013), Indonesia sempat hampa gelar sepanjang delapan tahun penyelenggaraan All England. Sebuah hal yang tentunya ironis mengingat All England adalah salah satu pijakan Indonesia memegang status sebagai negara kuat di dunia bulu tangkis pada masa silam.

Gambar

Gambar

Untuk tahun ini PBSI berharap bisa meraih dua gelar di All England. Harapan ini tentunya merupakan sebuah target yang terbilang berani di tengah minimnya andalan yang mumpuni untuk meraih gelar juara di berbagai turnamen internasional.

Kapan terakhir kali Indonesia meraih lebih satu gelar di All England? Ternyata tepat 20 tahun lalu. Bukan hanya dua gelar, melainkan tiga gelar juara yang dipersembahkan oleh Hariyanto Arbi, Susi Susanti, dan Gunawan/Bambang Suprianto.

Setelah itu momen itu,  hanya ganda putra yang masih rutin menyumbangkan gelar juaranya. Torehan ganda putra itu pun akhirnya benar-benar terhenti setelah kemenangan Candra Wijaya/Sigit Budiarto pada tahun 2003. Dengan demikian maka sudah 10 tahun penyelenggaraan para ganda putra Indonesia tak lagi mampu menjadi juara di All England. Nasib tunggal putra dan tunggal putri lebih miris karena nyatanya Hariyanto Arbi dan Susi Susanti menjadi orang terakhir yang terakhir kali berjaya di nomor mereka masing-masing.

Lalu bagaimana peluang untuk memenangkan lebih dari satu gelar tahun ini? Seperti sudah bisa ditebak banyak orang, Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan dan Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir kembali diandalkan sebagai pasukan terdepan ketika berbicara peluang meraih gelar juara. Mundur ke belakang sedikit, ada Tommy Sugiarto yang tahun ini juga diberi sedikit beban dan harapan lantaran statusnya sebagai unggulan ketiga di nomor tunggal putra.

Hal ini terasa wajar lantaran dalam lima tahun terakhir penyelenggaraan All England yang artinya total ada 25 gelar juara, 15 gelar diantaranya alias 60 persen direbut oleh pemain dengan posisi unggulan empat besar. Dengan demikian, maka mayoritas memang para unggulan empat besar yang berpeluang besar untuk meraih gelar juara.

Gambar

Gambar

Di luar Ahsan/Hendra, Tontowi/Liliyana, dan Tommy, Indonesia masih punya tiga pemain lagi yang menempati daftar unggulan yaitu Angga Pratama/Rian Agung (unggulan keenam ganda putra), Pia Zebadiah/Rizki Amelia (unggulan ketujuh ganda putri), dan Markis Kido/Pia Zebadiah (unggulan keenam ganda campuran).

Peluang para pemain ini untuk menjadi juara pun tidak sepenuhnya tertutup. Dalam lima tahun terakhir, ada empat pemain unggulan namun di luar unggulan empat besar yang mampu menjadi juara yaitu Tine Baun (unggulan ketujuh) di 2013, Li Xuerui (unggulan ketujuh) di 2012, Cai Yun/Fu Haifeng (unggulan ketujuh) di 2009, dan Zhang Yawen/Zhao Tingting (unggulan ketujuh) di 2009.

Lalu bagaimana peluang pemain yang tidak masuk dalam daftar unggulan untuk bisa menjadi juara? Fakta di lima tahun terakhir, justru ada enam pemain non unggulan yang mampu menjadi juara All England yaitu Liu Xiaolong/Qiu Zihan (2013), Xu Chen/Ma Jin (2011), Tine Baun (2010), Lars Paaske/Jonas Rasmussen (2010), Zhang Nan/Zhao Yunlei (2010), dan Wang Yihan (2009).

Dengan gambaran kekuatan seperti itu, bagaimana kira-kira gambaran pujian yang layak disematkan bagi pebulu tangkis Indonesia nantinya? 1 gelar = hebat. 2 gelar = luar biasa. 3 gelar atau lebih = fantastis!

Selamat berjuang!!

-Putra Permata Tegar Idaman-

Hendra Setiawan dan Obrolan di Pengujung 2013

Recent update BBM milik saya pada Rabu (19/2) jelang siang dihiasi oleh foto sepasang bayi kembar. Di sebelahnya, tertulis nama Hendra Setiawan. Ternyata, Hendra dan istrinya, Sandiani Arief baru saja dianugerahi sepasang bayi kembar laki-laki dan perempuan.

Peristiwa ini pun kemudian membawa ingatan ke waktu beberapa bulan sebelumnya di pengujung 2013. Ketika itu, selepas sesi latihan pagi di GOR Pelatnas Cipayung, Hendra sempat berbincang-bincang mengenai target di tahun 2014 dan harapan-harapan besarnya.

Meski sudah meraih banyak gelar bergengsi, mulai dari medali emas Olimpiade, juara dunia (dua kali dengan pasangan yang berbeda), Asian Games, SEA Games, hingga sederet titel BWF  super series/premier, namun Hendra seperti belum puas dengan koleksi gelar yang dimilikinya. Maklum saja, gelar All England masih menari-nari menggoda untuk dimiliki.

Karena itulah, Hendra pun tak ragu untuk menyebut All England sebagai buruan utamanya di tahun 2014, selain tentunya ingin mempertahankan gelar juara dunia dan merebut kembali medali emas Asian Games, plus menjadi tulang punggung Indonesia untuk meraih Piala Thomas untuk pertama kalinya dalam 12 tahun terakhir.

Gambar

All England memang masih menjadi mimpi besar Hendra. Meski sudah mulai jadi ganda yang diperhitungkan di level dunia sejak bertahun-tahun silam saat berpasangan dengan Kido, Hendra belum pernah sekalipun merasakan nikmatnya mengangkat trofi All England. Karena itulah, tahun 2014 ini dianggap sebagai kesempatan terbaik untuk Hendra meraih gelar All England.

Pasalnya duet Ahsan/Hendra yang baru berusia satu tahun lebih tengah menjadi mata badai di persaingan nomor ganda putra dunia. Mereka tengah berada di performa terbaik dan memiliki kesempatan besar merebut gelar All England.

Berbicara panjang lebar soal target dan harapan, kemudian pembicaraan pun berlanjut pada fakta bahwa Ahsan dan Hendra akan menyandang status Ayah pada tahun 2014 ini. Di sinilah kemudian sisi menariknya, jika Ahsan diprediksi akan menjadi Ayah pada bulan Januari, maka Hendra justru diprediksi kemungkinan akan menjadi Ayah pada Februari hingga awal Maret.

Awal Maret adalah waktu pelaksanaan All England tahun ini, yaitu tepatnya pada 4-9 Maret. Pertanyaan selanjutnya di penghujung tahun 2013 itu pun kemudian bisa ditebak, adakah nantinya proses menunggu anak pertama ini akan mengganggu persiapan menuju All England atau bahkan membatalkan keikutsertaan Hendra ke All England jika waktu kelahirannya ternyata benar-benar bersamaan? Bagaimanapun, Hendra yang telah mengikat janji suci dengan sang istri di tahun 2011, kelahiran anak ini jelas merupakan ‘prestasi’ yang sudah ditunggu-tunggu sejak lama.

Saat itu Hendra tidak menampilkan keterkejutan dalam raut wajahnya menghadapi pertanyaan ini. seolah-olah jawaban dari pertanyaan ini memang telah dia pikirkan dan pertimbangkan sebelumnya. Hendra pun menyebut bahwa dirinya akan tetap berangkat ke All England meskipun itu berarti dia tak menunggu proses kelahiran anaknya. Semua demi tanggung jawabnya mengharumkan nama bangsa Indonesia di mata dunia.

Gambar

Namun akhirnya Hendra pun tidak dihadapkan pada pilihan sulit itu. Hendra masih ada di Indonesia ketika sepasang putra-putri nya dilahirkan ke dunia ini.  Hendra masih memiliki waktu untuk bercengkrama dengan putra-putrinya sebelum bertolak ke Birmingham untuk All England. Mungkin Richard dan Richelle, nama putra dan putri Hendra,  sendiri juga sudah tak sabar untuk menyaksikan kesuksesan sang Ayah di turnamen bulu tangkis tertua di dunia itu. Yang pasti, bertambah lagi satu motivasi Hendra untuk menjadi juara, apalagi kalau bukan untuk memberikan kado bagi keluarga kecilnya. Semoga! Semoga Ahsan/Hendra bisa juara!

Selamat Ulang Tahun Roberto Baggio!

‘Now Roberto Baggio. The Pressure is on him. He has to make it. He has to make it. Baggiioooooo NO!’

Inilah kalimat yang meluncur dari komentator saat Roberto Baggio tampil sebagai penendang kelima Italia dalam adu penalti di Final Piala Dunia 1994. Ketika itu posisi Italia sendiri tengah tertinggal 2-3 dari Brasil dan Brasil masih menyisakan satu kesempatan tendangan lagi. Namun Baggio gagal mengeksekusi bola itu sehingga penendang kelima Brasil tak diperlukan lagi. Bola yang ditendang Baggio melayang ke atas gawang Claudio Taffarel. Jadilah Brasil juara sementara Baggio dan Italia berduka.

Gambar

Itulah kenangan yang masih melekat jelas dalam ingatan saya 20 tahun silam. Baggio tertunduk lesu, begitu pun pemain Italia lainnya sementara para pemain Brasil seperti Romario, Bebeto, dan lainnya larut dalam sukacita. Walau Italia gagal menjadi juara dunia, saya memilih untuk tidak mengalihkan dukungan kepada negara ataupun pemain lainnya. Walaupun belum genap 10 tahun, saya tetap pada pendirian saya untuk suka Baggio dan Italia.

Kesukaan terhadap Italia saat itu sangatlah berdasar karena Liga Italia adalah liga yang ditayangkan oleh RCTI pada setiap pekannya. Jadi wajar jika akhirnya saya tak ragu untuk memilih Baggio dan Italia sebagai favorit saya. Dan karena Baggio pula, akhirnya saya tak memiliki klub favorit lantaran klub yang saya dukung mengikuti klub yang ia bela.

Gambar

Saat pindah ke AC Milan, saya yang masih ada di Sekolah Dasar pun getol untuk turut membela AC Milan. Saya pun makin bertambah semangat sebagai seorang fans karena AC Milan sukses menjadi juara Serie A pada musim 1995-1996 lewat taburan pemain bintangnya seperti George Weah, Dejan Savicevic dan sederet nama tenar lainnya. Masuk ke masa SMP, Baggio pindah ke Bologna karena merasa dikecewakan. Dan saya pun meninggalkan dukungan saya untuk Milan.

Gambar

Di masa SMP, mulai banyak rekan-rekan lain yang juga menggilai sepak bola. Mereka pun mulai memilih jagoan mereka masing-masing. Ada yang memilih Manchester United dengan Eric Cantona plus Fergie Babes-nya, ada yang memilih Juventus dengan duet Del-Pippo nya, dan masih banyak yang lainnya. Rasanya, saya tidak memiliki teman sejalan dengan saya sebagai pemuja sosok Baggio.

Toh akhirnya semusim di Bologna, Baggio kembali bersinar dan sukses masuk tim nasional Italia untuk Piala Dunia 1998. Saya pun kembali larut dalam euforia Piala Dunia dan kembali ada di belakang tim Italia. Sayangnya, Italia yang materi timnya sudah berubah banyak dibandingkan empat tahun sebelumnya hanya sampai di babak  perempat final pada kesempatan kali ini. Kembali saya harus kecewa bersama Baggio.

Selepas Piala Dunia, Baggio kemudian pindah ke Inter Milan dan membentuk duet Ro-Ro bersama Ronaldo. Saya pun berubah menjadi Interisti yang kemudian disambut hangat oleh teman-teman sekelas saya. Dengan pindah ke Inter, peluang untuk melihat penampilan Baggio menjadi lebih besar dibandingkan saat Baggio masih di Bologna. Namun sayang, lagi-lagi Baggio terkendala cedera di Inter dan menit bermainnya pun menjadi minim.

Gambar

Tetapi saat SMP dan Baggio di Inter ini pula, kegilaan saya terhadap sosok Baggio makin memuncak. Potongan gambar Baggio dari Tabloid BOLA dan GO, hingga Majalah Liga Italia pun tak pernah luput dari guntingan-guntingan saya. Jika ada info bahwa ada poster Baggio atau pin up Baggio di salah satu majalah, saya pun langsung membelinya dengan berbekal uang jajan yang jumlahnya tak seberapa. Dinding kamar kecil saya di rumah pun pernah penuh dengan berbagai macam poster dan guntingan gambar Roberto Baggio.

Pun demikian halnya dengan jersey Inter bernama Baggio yang saya beli di tahun 1998. Jersey itu seharga 30 ribu dan jelas merupakan jersey KW sekian buatan dalam negeri. Namun jersey itu memiliki arti tersendiri karena cukup lama saya mengumpulkan uang jajan yang jumlahnya hanya seribu setiap hari. Ketika uang itu akhirnya terkumpul, berangkatlah saya menuju toko olahraga dan membeli baju itu. Yang menarik, saya sengaja pesan ukuran paling besar dengan harapan baju itu bisa terus dipakai hingga saya dewasa nanti. Dan akhirnya, kini baju Inter dengan nama Baggio itu baju satu-satunya dari baju yang saya beli saat SMP yang masih muat dipakai hingga kini.

Ada yang terbeli, tetapi ada juga yang selamanya menjadi mimpi. Sepatu diadora edisi Roberto Baggio menjadi barang yang akhirnya hanya mimpi bagi saya. Saat itu, harga sepatu diadora edisi Roberto Baggio adalah 145 ribu dan saya sendiri baru memiliki uang sebanyak 70 ribu rupiah. Sejatinya saya ingin bersabar dan terus menabung, namun karena jadwal turnamen antar kampung sudah dekat dan sepatu lama saya sudah tak lagi muat, maka saya pun harus membuat pilihan cepat. Saya pun terpaksa melupakan sepatu diadora edisi Roberto Baggio dan membeli sepatu yang cukup dengan budget yang saya miliki dengan perasaan yang cukup kecewa.

Gambar

Masuk ke masa SMA, Baggio mulai masuk ke fase ujung karir dengan pindah ke Brescia. Kejadian saat Baggio ada di Bologna kembali terulang ketika Baggio pindah ke Brescia. Teman sepermainan di rumah maupun teman-teman baru di sekolah sibuk mendebatkan tim favorit mereka yang lebih layak juara, sementara saya sendiri asyik sendiri dengan menantikan berita-berita seputar Baggio dan sepak terjangnya di Brescia.

Gambar

Ketika itu, di lingkungan sekolah maupun di lingkungan rumah, saya menjadi satu-satunya orang yang menggemari Baggio, sementara di masa yang sama banyak orang tengah terpukau oleh Real Madrid dan rintisan Los Galacticos-nya.

Tetapi saya tidak merasa sedih dengan hal itu. Terlebih saat saya membaca sebuah tulisan bahwa Roberto Baggio adalah pemain yang paling dicintai oleh tifosi Italia. Tidak sampai di situ, Roberto Baggio sendiri ada di urutan keempat dalam daftar urut pemain terbaik sepanjang masa berdasarkan polling internet. Dua hal itu membuktikan bahwa saya tidaklah sendirian dan masih banyak penggemar Roberto Baggio di luar sana.

Harapan melihat Roberto Baggio di Piala Dunia 2002 sendiri berakhir dengan kekecewaan. Pintu tim nasional Italia akhirnya benar-benar tertutup untuk Roberto Baggio meskipun ketika itu banyak dukungan mengalir kepadanya.

Saat saya mulai menginjakkan kaki di bangku kuliah, akhirnya Roberto Baggio memainkan musim terakhir dalam karir sepak bolanya.  Sejak itu pula, saya tak punya lagi pemain favorit apalagi tim favorit. Bagi saya, sejak saat itu sepak bola adalah olahraga yang benar-benar dinikmati dan tidak ada lagi unsur fanatisme yang berlebih dalam tiap pertandingan yang ditonton.

Memiliki idola memang sangat menyenangkan. Banyak hal yang bisa dipetik dan dipelajari dari sikap dan semangat juang sang idola. Dan hingga kini saya pun masih tetap mengidolakan sosok Roberto Baggio sambil menyimpan hasrat untuk bisa bertemu langsung dengan dirinya suatu saat nanti, entah itu di Indonesia, di Italia, ataupun di suatu negara di dunia ini. Selamat ulang tahun Il Divin’ Codino!!!

Jakarta, 18 Februari 2014

Di depan meja kerja

Putra Permata Tegar Idaman

Kapan Kembali Lin Dan ?

Akhir Januari lalu, Lin Dan diberitakan sudah kembali berlatih intensif dan siap untuk kembali terjun ke persaingan kompetitif bulu tangkis dunia. Namun, nyatanya, dalam daftar nama atlet yang ikut All England, nama Lin Dan belum ada. Pun begitu halnya ketika daftar nama Swiss Grand Prix Gold di-publish pada Jumat (14/2), nama Lin Dan masih tidak terlihat dari daftar nama yang terlampir. Sejatinya bagaimana Lin Dan memandang bulu tangkis sebagai bagian dari hidupnya saat ini? Hal tersebut sendiri sangatlah menarik untuk dicermati dan didiskusikan.

Banyak orang yang sangat yakin bahwa bab penutup karir Lin Dan sebagai seorang pebulu tangkis ada di Olimpiade London 2012. Saat itu, Lin Dan sudah secara sah dan diakui banyak orang sebagai pebulu tangkis terhebat di dekade ini, atau bahkan mungkin bisa diperdebatkan sebagai pebulu tangkis tunggal putra terhebat sepanjang masa, bersaing dengan nama legendaris lainnya. Menjaga konsistensi di papan atas selama bertahun-tahun plus meraih dua medali emas Olimpiade yang rentang jaraknya empat tahun, jelas butuh usaha yang luar biasa untuk mewujudkan hal tersebut.

Tapi ternyata, usai meraih medali emas Olimpiade London 2012, sama sekali tidak ada pernyataan bahwa Lin Dan akan gantung raket. Yang ada hanya pernyataan bahwa ia akan rehat sejenak dari kompetisi untuk kemudian kembali lagi. Dan janji Lin Dan itu diakhiri dengan manis tatkala ia sukses menjadi juara dunia 2013 dengan fakta bahwa ia vakum dari kompetisi level dunia untuk beberapa bulan lamanya.

Namun nyatanya usai menjadi juara dunia, Lin Dan seolah kembali meninggalkan misteri manakala ia kembali memutuskan untuk beristirahat dari kompetisi seri BWF meski untuk liga lokal atau partai eksebisi dirinya masih tampil. Pasca juara Olimpiade, memang rasanya wajar jika Lin Dan berkata bahwa ia jenuh dan ingin rehat dari kompetisi. Namun, begitu kembali bermain di kompetisi dan menjadi juara dunia, adalah hal yang mengherankan jika Lin Dan kembali memutuskan untuk kembali beristirahat dari kompetisi.

Lin Dan sudah meraih semua yang diinginkan pebulu tangkis di dunia ini. Dari gelar perorangan seperti Olimpiade, Kejuaraan Dunia, All England, Asian Games, dan berbagai titel super series lainnya, hingga gelar di turnamen beregu seperti Piala Thomas dan Piala Sudirman, semua sudah dimenangi Lin Dan. Lalu apalagi yang masih harus dibuktikan Lin Dan ?

Gambar

Sebelum meraih periode emas dalam karirnya, Lin Dan pernah mengalami masa mengesalkan dalam hidupnya sebagai seorang pebulu tangkis. Periode 2004-2006 boleh jadi merupakan salah satu masa yang diingat Lin Dan. Terlepas dari banyak gelar yang ia raih di tahun itu, Lin Dan gagal memenangi tiga turnamen besar dalam tiga tahun beruntun pada 2004-2006 yaitu Olimpiade Athena 2004, Kejuaraan Dunia 2005, dan Asian Games 2006. Padahal di tiga ajang itu, Lin Dan selalu berstatus sebagai unggulan pertama. Malah di Kejuaraan Dunia 2006 saat Lin Dan menjadi unggulan kedua Lin Dan berhasil menjadi juara.

Dan menariknya, pemenang dari Olimpiade 2004, Kejuaraan Dunia 2005, dan Asian Games 2006 berujung pada satu nama, Taufik Hidayat. Ditelisik lebih lanjut, Taufik memenangi tiga turnamen itu dengan status sebagai pemain yang tidak diunggulkan di posisi unggulan lima besar.

Mungkinkah hal ini yang juga ingin ditunjukkan Lin Dan saat ini? Bahwa ia juga bisa tetap menjadi juara meski tidak berada dalam posisi yang diunggulkan? Bahwa ia juga bisa tetap juara meskipun lama vakum dari kompetisi dan pertandingan? Lin Dan mampu membuktikan hal itu di Kejuaraan Dunia 2013 di usia yang sudah mencapai 30 tahun dan banyak puji-puji yang langsung mengalir kepadanya. Andai ia kembali mampu melakukannya saat ini, yaitu kembali dari masa vakum dan langsung memenangkan banyak gelar bergengsi, maka pujian dan pengakuan akan kehebatannya pun makin deras mengalir kepadanya.

Selain itu bisa jadi Lin Dan benar-benar jenuh terhadap persaingan di dunia bulu tangkis namun dirinya belum bisa sepenuhnya lepas dari olahraga ini dan memutuskan untuk gantung raket. Bisa saja Lin Dan merasa dirinya terlalu superior dalam keadaan normal sehingga kompetisi bulu tangkis tak akan menarik lagi baginya. Karena itu, dia menciptakan handicap dan tantangan bagi dirinya sendiri agar bulu tangkis masih menyisakan hal mendebarkan bagi dirinya.

Karena itu, Lin Dan sejauh ini belum menyatakan mundur secara resmi. Entah apa yang ada dalam benaknya. Apakah dirinya masih menyimpan hasrat untuk tampil di Olimpiade Rio de Janeiro 2016, hanya dirinya yang tahu. Namun yang jelas, sikap menggantung Lin Dan saat ini adalah semacam seruan tantangan dan pernyataan perang  bagi seluruh pebulu tangkis tunggal putra di dunia untuk berada dalam kondisi siap saat Lin Dan kembali menjejakkan kaki ke arena persaingan.

-Putra Permata Tegar Idaman-

Lavillenie, 1 cm, dan Bubka

Seberapa besar arti perbedaan 1 cm itu ? Tergantung pada siapa pertanyaan itu diajukan. Jika pertanyaan itu diajukan kepada Renaud Lavillenie, maka 1 cm itu boleh dibilang merupakan perbedaan yang sangat besar. Perbedaan yang memerlukan perjuangan sekuat tenaga sepanjang hidupnya dan perbedaan yang membuat dirinya pun kini akan dikenang dalam beberapa tahun atau mungkin dekade mendatang.

Ya, Lavillenie baru saja sukses melakukan lompatan setinggi 6,16 m di ajang Donetsk Meeting di Donetsk pada Sabtu, 15 Februari kemarin. Sebuah rekor dunia baru memecahkan rekor dunia lompat galah atas nama Sergey Bubka dengan selisih 1 cm lebih tinggi.

Gambar

Renaud Lavillenie

Meski hanya perbedaan 1 cm, butuh 21 tahun untuk bisa memecahkan rekor itu karena Bubka sendiri menorehkan rekor sebelumnya pada 21 Februari tahun 1993. Dari panjangnya rentang waktu tersebut, jelas sudah sangat banyak atlet lompat galah yang terus berjuang namun gagal untuk sekedar lebih unggul 1cm saja dari Bubka.

Namun Lavillenie sukses membuat rekor dengan cara yang sangat luar biasa. Tidak hanya soal catatan angka, namun Lavillenie melakukannya di tempat Bubka menorehkan rekor sebelumnya plus di Negara tempat Bubka berasal. Tidak sampai di situ saja, Bubka sendiri menjadi satu dari sekian pasang mata yang menjadi saksi peristiwa bersejarah ini.

“Saya rasa, saya butuh waktu sesaat lagi untuk bisa kembali sadar dan menjejakkan kaki ke bumi karena perasaan saya saat ini sangatlah gembira sekali. Saya hanya berpikir bahwa tempat ini adalah tempat terbaik untuk coba memecahkan rekor dan saya berhasil melakukannya. Ini gila.”

Begitulah komentar Lavillenie setelah pertandingan berakhir. Nampak ia masih tak percaya bahwa ia kini sudah memegang rekor dunia lompat galah baik untuk indoor maupun keseluruhan (rekor outdoor juga atas nama Bubka dengan 6,14 m). Lompatannya adalah lompatan tertinggi sepanjang sejarah lompat galah sejauh ini.

Namun, keberhasilan Lavillenie sendiri tidak datang dengan serta merta begitu saja. Atletik berbeda dengan olahraga permainan yang faktor kejutannya lebih mungkin kerap terjadi. Atletik adalah olahraga terukur yang performa tiap atletnya bisa dihitung dan dicatat sebagai statistik. Faktor kejutan sangatlah minim kemungkinannya bisa hadir sebagai kenyataan.

Sebelum memecahkan rekor ini sendiri, Lavillenie adalah juara Olimpiade London 2012. Ia sudah resmi tercatat sebagai salah satu atlet lompat galah terhebat dengan torehannya tersebut meskipun untuk urusan Kejuaraan Dunia, ia harus puas dengan torehan 1 perak plus 2 perunggu sepanjang keikutsertaannya.

Namun Lavillenie sadar bahwa dirinya tidak akan dikenang oleh banyak orang jika tak bisa melewati Bubka meskipun medali emas Olimpiade sudah di tangan. Sejak tiga dasawarsa terakhir, lompat galah putra adalah Bubka dan Bubka adalah lompat galah putra. Demikian analoginya lantaran begitu dominannya Bubka semasa ia aktif menjadi atlet dan rekornya pun tak bisa dipecahkan setelah ia lama pensiun.

Karena itulah ia terus terobsesi untuk bisa melewati capaian Bubka yang sudah bertahan 21 tahun. Optimisme Lavillenie mulai menemui titik terang manakala ia mampu memperbaiki catatan terbaik dirinya sendiri pada bulan Januari lalu dengan tinggi lompatan 6,04 meter di Rouen. Tak lama berselang, Lavillenie pun kembali mempertajam catatan miliknya menjadi 6,08 meter di Bydgoszcz pada akhir Januari. Pada dua kesempatan itu, Lavillenie sendiri mengganti panjang galah yang biasa dia gunakan sebagai salah satu upaya mencari cara meningkatkan performanya.

“Pada awalnya saya hanya berharap bisa terus konsisten melompat di atas 6 meter pada tiap perlombaan tahun ini. Namun ternyata saya bisa mulus melewati dua ketinggian itu tanpa kesulitan berarti. Inilah yang membuat saya optimistis bisa memecahkan rekor dunia.”

Kalimat inilah yang diucapkan oleh Lavillenie pada bulan lalu. Sebuah optimisme memancar jelas dari pernyataannya dan nyatanya tidak butuh satu bulan dari ucapan tersebut terlontar, Lavillenie sudah benar-benar ada di puncak dunia dan mengalahkan rekor milik Bubka. Selain butuh kemampuan, kepercayaan diri jelas menjadi modal penting di balik sebuah keberhasilan.

Lalu bagaimana dengan Bubka? Adakah dirinya terluka dan merasa dipermalukan oleh peristiwa yang berlangsung di negaranya sendiri? Ternyata tidak. Bubka tetap bersikap ksatria dan memegang prinsip seorang juara.  Dia sangat sadar bahwa hari dimana rekor miliknya akan dipecahkan oleh orang lain pasti akan datang, entah itu cepat atau lambat. Karena itu pelukan hangat pun langsung diberikan Bubka kepada Lavillenie di tengah gemuruh publik Ukraina yang juga tetap menyambut hangat peristiwa bersejarah di dunia olahraga ini meski itu berarti satu catatan rekor atlet legendaris mereka terhapus.

Gambar

Bubka dan Lavillenie

“Saya tidak terkejut dengan hasil ini. Lavillenie adalah atlet yang hebat dan saya harap dirinya terus mencatat hasil spektakuler setelah ini,” kata Bubka tanpa sedikit pun nada penyesalan.

Dan Bubka memang tak perlu menyesali apa yang terjadi.  Lavillenie pun bisa melompat dengan begitu hebat tidak lain karena Bubka. Ya, karena Bubka telah menetapkan standar yang tinggi di masa silam sehingga para atlet di generasi setelahnya semakin terpacu dan berlomba untuk melampaui garis batas yang telah ditetapkan oleh Bubka.

-Putra Permata Tegar Idaman-

Gugur Satu, Tumbuh atau Tunggu Seribu ?

Gugur Satu Tumbuh Seribu. Peribahasa Indonesia lawas yang bernuansa positif. Artinya segala sesuatu yang telah hilang akan ada penggantinya. Namun jelas, tidak semuanya bakal berjalan sebagaimana yang direncanakan dan diharapkan.

Contoh sederhananya peribahasa Gugur Satu Tumbuh Seribu yang belum terwujud adalah munculnya sosok pengganti dari Susi Susanti, pebulu tangkis tunggal putri terbaik di Indonesia yang pernah ada sejak dirinya memutuskan gantung raket. Sudah lebih dari satu dekade Indonesia menantikan munculnya pengganti Susi, namun hingga Susi berusia 43 tahun hari ini, 11 Februari, sosok yang dinanti belum juga ada. Jangankan seribu seperti halnya peribahasa, satu pun Indonesia belum punya.

Gambar

copyright : BBC

Susi memang istimewa. Semua aksi yang pernah dilakukannya di lapangan masih terbayang jelas di benak bangsa Indonesia, mulai dari mereka yang sudah dewasa hingga anak-anak yang belum paham sepenuhnya tentang permainan bulu tangkis ketika Susi sedang berjaya. Mulai dari gaya servis, foot work, hingga aksi split untuk menjangkau shuttlecock pun tak pernah bisa lepas seluruhnya dari ingatan di dalam kepala.

Gambar

copyright : The Star

Susi memang istimewa. Mental bertandingnya begitu luar biasa. Membaca ulasan-ulasan dan tulisan yang ada, Susi memang tak akan mau menyerah jika pertandingan belum benar-benar berakhir meski dirinya sudah tertinggal dengan skor yang sangat jauh. Selain medali emas Asian Games, seluruh gelar bergengsi di turnamen bulu tangkis sudah semuanya dimiliki oleh Susi. Susi pun bisa tersenyum karena untuk urusan nomor beregu pun, tangannya pernah mengangkat Piala Sudirman dan Piala Uber.

Dan tak perlu diperdebatkan lagi, sosok Susi lah yang kemudian mendorong banyak putri-putri di Indonesia untuk menggemari permainan bulu tangkis. Semuanya ingin menjadi seperti Susi. Semua ingin nantinya bisa berada di posisi Susi, di podium tertinggi untuk mengharumkan nama Indonesia.

Boleh dibilang, para pebulu tangkis Indonesia yang mulai berkarir di era 2000-an, setelah Susi pensiun di penghujung dekade 1990-an,  pun banyak yang menganggap Susi sebagai idola dan panutan mereka dalam berkarir bulu tangkis. Namun hingga kini, 20 tahun setelah Susi memimpin Tim Indonesia menjuarai Piala Uber untuk yang kedua kalinya pada 1994, belum ada pemain yang benar-benar sukses mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh Susi sebagai andalan Indonesia di nomor tunggal putri.

Susi sendiri pun mungkin sudah bosan setiap mendengar pertanyaan tentang kondisi tunggal putri Indonesia saat ini dan terus dibanding-bandingkan dengan kehebatan dirinya di masa lalu. Jawaban Susi pastinya akan tetap sama,.

Seperti masyarakat Indonesia lainnya, dirinya juga terus menantikan pebulu tangkis tunggal putri Indonesia yang mampu menjelma menjadi pemain papan atas dunia dan untuk kemudian mendominasi permainan dunia.

Seperti masyarakat Indonesia lainnya, Susi pun harus terus bersabar dan mengelus dada ketika putri-putri Cina telah sukses mengembalikan dominasi mereka di persaingan bulu tangkis tunggal putri dunia seperti halnya tahun 1980-an ketika dirinya masih pemula. Seperti masyarakat Indonesia lainnya, Susi pun mungkin iri dengan keberhasilan Thailand dan India untuk maju beberapa langkah dibandingkan Indonesia saat ini untuk urusan tunggal putri.

Gambar

Selamat ulang tahun Susi Susanti. Semoga peribahasa Gugur Satu Tumbuh Seribu untuk dirimu dan tunggal putri Indonesia segera terwujud, dan bukannya Gugur Satu Tunggu Seribu (Atlet) seperti yang sedang terjadi saat ini.

-Putra Permata Tegar Idaman-