Sukses di 2013, Tantangan Berat di 2014

Saat ini, 2013 sudah tinggal berumur beberapa hari lagi dan tentunya meninggalkan banyak kenangan bagi semua yang ada di dunia, termasuk bulu tangkis Indonesia. Tahun 2013 ini pun ditandai dengan dimulainya tahun kerja pertama kepengurusan Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI) di bawah komando Gita Wirjawan.

Banyak hal menarik yang dilakukan oleh PBSI periode 2012-2016 ini. Yang pertama tentunya adalah kesuksesan menarik Rexy Mainaky kembali ke Tanah Air dan memasukkannya ke dalam jajaran pengurus, pun begitu halnya dengan sejumlah mantan pemain hebat lainnya seperti Ricky Soebagdja dan Susi Susanti. Meski mereka semua sudah diumumkan menjadi bagian dari PBSI pada akhir 2012, namun waktu efektif mereka mulai bekerja dimulai di awal 2013.

Image

Selain perkara pembenahan sektor teknik, PBSI juga melakukan pembenahan di sektor manajemen. Ide untuk sponsor pribadi benar-benar merupakan sebuah terobosan yang patut diapresiasi. Dengan demikian, maka nilai seorang pemain tak lagi ditentukan oleh PBSI, melainkan langsung oleh para pihak-pihak yang mengikuti lelang sponsor. Semakin tinggi prestasi, tentunya makin tinggi pula tawaran yang masuk dan makin terbuka pula perang tawar-menawar harga. Kemudian hal itu masih ditambah beberapa kebijakan baru lainnya seperti pengawasan kedisiplinan dan gizi yang lebih ketat. Semuanya semata untuk menunjang prestasi para atlet.

Pembenahan-pembenahan inilah yang kemudian mendorong tercapainya target-target besar PBSI di tahun 2013. Piala Sudirman dilewati Indonesia dengan pujian karena kalah 2-3 dari Cina di babak perempat final. Sebuah usaha yang dirasa sudah maksimal dan menimbulkan secercah harapan.

Dua turnamen besar, All England yang dimenangi Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir dan Kejuaraan Dunia 2013 yang dijuarai Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan dan Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir juga menjadi target besar lainnya yang dimenangi PBSI. Memang, nama-nama di atas adalah nama-nama yang sering disebut nama generasi lama yang memang sudah jadi andalan di era kepengurusan sebelumnya, namun tanpa pengelolaan manajemen yang bagus dari PBSI belum tentu Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana bisa meraih prestasi tinggi itu.

Image

Target SEA Games pun kemudian dengan mulus dilewati. Yang patut mendapat sorotan di balik kesuksesan target SEA Games adalah karena target tersebut terpenuhi dengan tim yang tak diperkuat beberapa pemain utama seperti Tommy Sugiarto dan juga Ahsan/Hendra plus Tontowi/Liliyana.

Dari segi pembinaan, PBSI pun sudah mulai beroperasi ke daerah-daerah untuk membentuk akar yang kuat dalam sebuah program pembibitan. PBSI lewat Kabid Pengembangan mulai menyusun standar dan sistem pelatihan yang seragam ke pelatih-pelatih daerah agar nantinya pemolesan atlet berada di arah yang benar sejak usia dini.

Mengacu pada hal-hal yang disebutkan di atas, maka boleh dibilang tahun pertama kepengurusan PBSI di bawah komando Gita Wirjawan terbilang sukses.

Sukses besar? Belum sampai ke level itu, namun harus diakui bahwa PBSI periode ini telah meletakkan pondasi bangunan yang bagus sebagai sebuah awal dari hasil akhir karya mereka yang nantinya dinilai di akhir kepengurusan pada tahun 2016 mendatang.

Tantangan sendiri makin menarik bagi PBSI di tahun 2014 mendatang. Tahun 2013 yang bisa dibilang disebut tahun adaptasi dimana toleransi bagi kegagalan cukup besar, namun hal itu akan mulai berkurang di tahun depan. Jika tahun 2013 adalah tahun dimana para pengurus PBSI masih bisa berbicara bahwa mereka masih melihat situasi, suasana, dan beradaptasi, maka alasan itu akan semakin tidak diterima di tahun 2014 dan tahun-tahun yang akan datang.

Di tahun 2014 ini, jelas PBSI telah menetapkan target-target besar yang akan menjadi tolok ukur prestasi mereka. Jika melihat kalender BWF yang ada, target besar itu mungkin antara lain Piala Thomas-Uber di India, Asian Games di Korea, dan dua event reguler, All England dan Kejuaraan Dunia.

Untuk Piala Thomas-Uber, PBSI bisa mendapatkan nilai sangat positif di tahun 2014 jika bisa kembali membawa Piala Thomas ke Tanah Air, Piala yang terakhir kali dimenangi oleh Indonesia tahun 2002 silam. Dari segi materi tim yang ada saat ini, Indonesia memiliki kans untuk merebut Piala tersebut meskipun peluang Indonesia tak sebesar Cina. Namun jika Cina lengah sedikit saja, Indonesia bisa masuk garis finis perebutan Piala Thomas sebagai juara. Sementara untuk Piala Uber, rasanya penggemar bulu tangkis pun akan realistis dan sadar betul bahwa untuk tahun depan, peluang di atas kertas untuk merebut Piala tersebut sangatlah kecil.

Sementara untuk All England, Kejuaraan Dunia, dan Asian Games tahun depan, rasa-rasanya harapan menjadi juara masih belum bergeser dari nama-nama yang selama ini jadi andalan seperti Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana.

Nama-nama lain harus membuktikan diri terlebih dulu di turnamen-turnamen super series/super series premier di awal tahun. Jika ternyata ada lonjakan prestasi yang luar biasa dari seorang pemain di paruh pertama tahun 2014, maka bisa saja kemudian dirinya jadi tumpuan dan harapan untuk merebut gelar juara di Kejuaraan Dunia dan Asian Games yang berlangsung di semester kedua pada 2014 nanti.

Jikapun belum ada pemain lain di luar Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana yang mampu jadi andalan di event individu penting macam All England, Kejuaraan Dunia, dan Asian Games di tahun depan, PBSI tetap harus mampu mendorong pemain di luar Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana untuk mulai keluar sebagai juara super series, atau setidaknya konsisten bertahan hingga babak akhir dari satu turnamen ke turnamen lainnya.

Dengan demikian, itu akan menjadi modal berharga bagi PBSI untuk memiliki pemain hebat lainnya di 2015 mendatang dan menciptakan opsi harapan juara lain di luar Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana. Namun jika itu gagal dilakukan PBSI di tahun 2014, maka PBSI akan makin berada di posisi sulit pada tahun 2015, setahun jelang Olimpiade Rio de Janeiro 2016 berlangsung, karena tidak ada lagi andalan di luar Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana. Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana pun  belum tentu  mampu untuk bisa terus berada dalam kondisi fit dan stabil di level performa terbaiknya.

Walaupun tidak populer dan bisa langsung dinikmati, program pembinaan di daerah juga tetap harus dilakukan oleh PBSI secara konsisten dan berkelanjutan. Jika ini dilakukan, maka setidaknya PBSI sudah memberikan warisan berharga yang kelak akan dinikmati bangsa ini di dekade selanjutnya.

Tahun 2013 yang merupakan tahun adaptasi sudah dilewati PBSI dengan sukses dan di atas ekspektasi yang diharapkan. Tantangan lebih berat akan menanti di 2014 dimana PBSI dituntut untuk tetap mampu berprestasi dan mempermulus proses regenerasi, baik itu regenerasi jangka pendek berupa bertambahnya andalan untuk turnamen level atas, maupun regenerasi jangka panjang berupa pemain-pemain muda yang diharapkan cepat matang.

-Putra Permata Tegar Idaman-

Silver and Bronze, Priceless or Worthless ?

Gold medal is priceless. Medali emas itu tak ternilai harganya dan semua pasti setuju. Tak ada hitung-hitungan pasti berapa biaya yang harus dikeluarkan sebuah negara untuk mendorong atletnya meraih medali emas di sebuah ajang multi event. Sebuah biaya yang lebih tinggi dari suatu negara, tidak menjamin bahwa ia akan meraih medali emas lebih banyak dibandingkan negara lain yang mengeluarkan biaya lebih sedikit.

Semua sepakat bahwa medali emas di sebuah multi event itu tak ternilai harganya, baik itu Olimpiade, Asian Games, hingga ajang SEA Games sekalipun. Mulai dari negara besar seperti Amerika Serikat dan Cina di Olimpiade, Cina, Korea Selatan, dan Jepang di Asian Games, hingga Thailand dan Indonesia di SEA Games, semua sepakat medali emas memang tak ternilai dan menjadi sebuah tujuan mutlak dalam setiap keikutsertaan mereka di ajang itu.

Namun bagaimana dengan medali perak dan perunggu? Apakah perak dan perunggu tetap tak ternilai harganya? Atau malah justru menjadi tak berharga sama sekali?

Olimpiade menggunakan simbol citius, altius, fortius yang berarti tercepat, tertinggi, dan terkuat. Semua mengincar nomor satu, dan berarti nomor dua apalagi peringkat di bawahnya seolah menjadi bukan apa-apa. Hal itulah yang kemudian seolah terus diimplementasikan dalam tabel penyusunan klasemen negara peserta baik itu untuk Olimpiade, Asian Games, dan SEA Games.

Image

Bagi negara seperti Indonesia, Thailand, dan mayoritas negara di dunia, mungkin medali perak atau perunggu di Olimpiade sangatlah berarti besar. Sekali medali itu didapat, maka puja-puji akan mengalir kepada atlet dan peraihnya. Namun bagaimana dengan negara raksasa di Olimpiade seperti Amerika Serikat dan Cina? Mungkin mereka akan bersikap biasa saja jika mendapatkan perak dan perunggu karena buruan utama mereka di Olimpiade jelas, sebuah medali emas.

Sikap Amerika Serikat dan Cina yang ada dalam asumsi saya itu mungkin akan sama halnya dengan sikap Indonesia dan Thailand jika turun di ajang SEA Games. Bagi Indonesia dan Thailand, buruan utama di SEA Games amatlah jelas, medali emas, bukan perak dan perunggu. Karena itulah yang sering mengapung di berbagai media adalah berapa target emas yang berani dijanjikan sebuah cabang olahraga, bukan target perak ataupun perunggu.

Dan sikap Indonesia serta Thailand di Olimpiade mungkin sama halnya dengan sikap Brunei Darussalam dan Timor Leste di ajang SEA Games. Bagi mereka, perak maupun perunggu sangatlah berharga di tengah dahaga prestasi mereka untuk meraih medali di pesta olahraga Asia Tenggara ini.

Image

Kembali ke soal klasemen, 99 perak  tanpa emas yang dimiliki sebuah negara, tidak akan bisa membuat mereka melampaui torehan satu emas yang dimiliki negara lainnya meskipun emas itu satu-satunya medali yang didapat negara tersebut. Hal ini pula yang kemudian menjadikan perak dan perunggu seolah tak berarti banyak dalam sebuah ajang multi event, khususnya bagi negara-negara yang memang secara tradisi sudah fokus mengincar emas di ajang multi event tersebut.

Sebenarnya ide yang sempat dicetuskan oleh sejumlah orang beberapa tahun lalu terkait penggunaan poin untuk tiap medali menarik untuk coba diaplikasikan dalam ajang multi event. Misalnya, emas dinilai 3 poin, perak 2 poin, dan perunggu 1 poin. Jadi jika negara A mengumpulkan 3 emas 5 perak dan 4 perunggu, maka ia akan mendapatkan 23 poin. Sedangkan di saat bersamaan negara B meraih 2 emas 10 perak dan 5 perunggu maka ia meraih 31 poin.

Jika menggunakan sistem penyusunan klasemen  yang berorientasi emas, jelas negara A akan ada di atas negara B. Namun jika menggunakan sistem poin, maka negara B ada di atas negara A dan para peraih perak dan perunggu dari negara tersebut bisa lebih tersenyum karena kontribusi mereka bagi negara akan lebih terasa. Sayangnya, cetusan ide ini sepertinya tidak berlanjut dan penyusunan klasemen tiap negara peserta ajang multi event masihlah gold first alias berdasarkan medali emas terlebih dulu. Dan kini tinggal bagaimana tiap orang menyikapi hal ini dengan persepsi masing-masing, silver and bronze, priceless or worthless ?

-Putra Permata Tegar Idaman-

Manjakan Diri di Sea Food Fitri

Gue bisa tahan ngadepin asap knalpot kendaraan, tapi paling gak kuat berhadapan dengan asap makanan. Itulah yang terjadi tiga tahun lalu waktu gue dan tuan puteri melintasi rumah makan sea food fitri di Bekasi. Dalam laju roda dua dengan kecepatan sedang, kami berdua tanpa ragu menembus asap bakaran ikan yang berasal di tepi kiri jalan. Tak sampai tiga detik, asap bakaran ikan itu sudah mengalihkan dunia kami.

Kami menengok bersamaan ke sebelah kiri di saat motor masih melaju dengan kecepatan yang makin menurun. Ramai sekali warung ini, ucap kami bersamaan. Namun karena kami baru saja makan, maka niat untuk berbelok dan mampir harus ditunda hingga minggu depan.

Begitu hari yang dinanti tiba, kami pun tanpa ragu langsung menuju kesana. Kesan pertama, tempatnya ramai dan mungkin pelayanannya akan lama. Namun ternyata, semua datang dalam waktu singkat dan cepat. Pesan sekarang, 5-15 menit kemudian sudah pesanan tersebut sudah hadir di meja makan.

Biasanya, untuk menunggu menu utama datang, kami memesan kerang hijau rebus. Di rumah makan ini, kerang rebusnya sungguh segar menggoda dan satu porsinya cukup untuk dua orang sebagai pemanasan jelang menu utama. Perpaduan kerang hijau dengan bumbu-nya pun terasa sangat pas menggoda, seperti siulan abang-abang kalo ada cewek pake rok mini lewat di depannya, sori maksudnya seperti seperti pas lagi gak punya duit ada temen yang ngasih pinjem duit.

Image

Menu lain yang tak luput untuk menjadi target utama setiap kunjungan kami adalah ikan bakar. Maaf, tak ada fotonya karena secara penampilan ikan bakar ini memang tak menarik dilihat, namun dari segi indera penciuman dan indera perasa, jelas bahwa ikan bakar di rumaha makan ini sangatlah dahsyat. Karena itu, dari sini pun gue jadi terinspirasi untuk membuat peribahasa tentang ikan bakar, yaitu :

“Jadilah Manusia Seperti Ikan Bakar, Dipandang Remeh Saat Tatap Mata Tapi Dahsyat Pada Kenyataannya.”

Selain penyajiannya cepat, ikan bakar di rumah makan ini sangat gurih sampai ke tulang-tulangnya. kalau udah makan ikan bakar ini, rasanya sayang untuk melewatkan sedikit pun daging yang ada di tubuh ikan bakar ini, sebanding rasanya sama rasa sayang ninggalin rumah nenek yang cuma kita kunjungin setahun sekali.

Menu lainnya yang sering gue pesen di rumah makan ini adalah kepiting saos tiram. Karena ukuran kepitingnya tidak terlalu besar, maka jelas harganya bakal menjadi murah. Dan lebih menariknya lagi, murahnya itu bukan murah tapi hari senin depan harganya naik kayak harga apartmen, tapi murah beneran dan stabil. Mungkin baru naek kalo nanti BBM naek lagi (semoga enggak). Dengan ukuran yang lebih kecil, tentu tangan kita jadi lebih mudah untuk merangsek dan mencari sari-sari daging kepiting. Apa? Kalo kecil kurang puas? Tinggal pesen aja dua, hidup gak usah dibikin susah.. Hahahaha..

Image

Di rumah makan ini, masih banyak pula menu lainnya seperti udang bakar, udang saos kecap, udang saos tiram, cumi tepung, cumi saos tiram, yang kalo diceritain satu-satu bakal bisa jadi bahan bacaan untuk nemenin perjalanan dari Bekasi sampe Cawang. Jadi alangkah baiknya langsung aja dateng dan buktikan sendiri. Nama rumah makannya itu rumah makan Sea Food Fitri letaknya di seberang SMP 18 Bekasi dan di samping Rumah Sakit Mekarsari. Anda puas beritahu teman, anda tidak puas, mungkin makanan yang anda pesan masih kurang…

-Putra Permata Tegar Idaman-

Regenerasi….

Ketika melihat nama-nama pemain muda berseliweran di kancah bulu tangkis internasional seperti, Ratchanok Inthanon dari Thailand, Bao Yixin dari Cina, Sindhu P.V dari India penggemar bulu tangkis di Indonesia kemudian membanding-bandingkan dengan fakta yang ada di Tanah Air dimana pebulu tangkis sepantaran mereka masih harus berjuang di pelatnas dan belum bisa dipandang sebagai pebulu tangkis papan atas dunia.

Tamparan makin keras bagi wajah bulu tangkis Indonesia kemudian seolah datang saat Ratchanok yang masih berusia 18 tahun mampu menjadi juara dunia tahun ini, saat umurnya masih 18 tahun dan ia masih bisa ikut Kejuaraan Dunia Junior di tahun yang sama. Ketika Ratchanok mencapai puncak, regenerasi bulu tangkis Indonesia justru tengah mendapat sorotan tajam. Tidak hanya para pebulu tangkis tunggal putri, seretnya regenerasi di Indonesia juga dianggap terjadi pada semua nomor tanpa terkecuali.

Image

Yang patut dicermati pertama kali adalah sistem pembagian kelas turnamen bulu tangkis di Indonesia, mulai dari kelas anak-anak, pemula, remaja, taruna, kemudian beralih ke dewasa. Biasanya, para pemain yang dipanggil ke pelatnas adalah pemain yang ada di kategori taruna atau di kisaran di 17-19 tahun. Usia itu kadang dianggap orang sudah terlalu terlambat lantaran kembali berkaca kepada contoh di luar sana bahwa Ratchanok sudah juara dunia junior di usia 14 tahun dan terus berlanjut sampai akhirnya ia menjadi juara dunia pada usia 18 tahun.

Jika mengambil contoh dalam negeri, maka kemudian akan disodorkan nama Mia Audina yang sudah masuk Tim Uber pada usia 14 tahun atau Taufik Hidayat yang sudah menjadi runner up All England pada usia 17 tahun di awal karir mereka.

Namun yang patut digarisbawahi adalah tidak semua pemain sespesial Taufik, Mia, ataupun Ratchanok. Mereka memang punya kelas tersendiri dan terbukti tidak semua pemain dari berbagai negara di dunia bulu tangkis bisa melambungkan nama mereka di usia di bawah 20 tahun. Untuk rata-rataan umumnya, para pebulu tangkis mulai unjuk gigi selepas usia 20 tahun ke atas.

Lalu apa yang harus dilakukan Indonesia dan PBSI untuk menciptakan Taufik dan Mia di era saat ini? Langsung menceburkan pemain-pemain junior sedini mungkin agar nantinya mereka bisa cepat matang di usia muda? Pilihan ini sendiri pun juga memiliki resiko yang cukup besar. Mereka bisa frustasi jika kemampuan mereka tidak spesial dan jauh di atas rata-rata kemampuan pemain sebayanya.

Sebenarnya dari panduan acuan yang ada di level turnamen nasional dan internasional sudah menggambarkan jelas dan bisa jadi tuntunan. Untuk level kategori nasional contohnya, bisa saja para pemain yang sudah dianggap merajai turnamen sirkuit nasional level remaja langsung diturunkan oleh klubnya di level taruna pada turnamen selanjutnya. Jika ia masih bisa menguasai level taruna di usianya yang masih remaja, maka ia bisa langsung berlanjut ke level dewasa. Memenangi sirkuit nasional kategori dewasa saat usianya masih masuk kategori umur remaja, maka jelas pemain itu memiliki potensi untuk semakin berkembang dan jelas bakal menjadi incaran PBSI untuk masuk skuat pelatnas.

Untuk turnamen internasional sendiri pun gambarannya jelas mulai dari future series, international series, international challenge, grand prix, grand prix gold, super series, dan super series premier. Semua turnamen itu sendiri menunjuk daftar peringkat BWF sebagai acuan untuk masuk babak kualifikasi/utama dan sistem unggulan.

Dari sini pun sudah bisa terlihat jelas gambarannya. Bagaimana mungkin pemain muda yang masih terseok-seok dan sulit juara di level international challenge atau grand prix, langsung diharapkan bisa menjelma sebagai pemain penuh prestasi di usia muda.

Semuanya butuh proses. Jika pemain muda itu memang sudah menunjukkan kualitas dan memenangi banyak turnamen grand prix atau grand prix gold, maka ia mulai bisa naik level dan menjadi harapan untuk berbicara banyak di level turnamen super series dan super series premier. Jika di turnamen level grand prix dan grand prix gold saja mereka masih susah menembus babak akhir, itu artinya mereka masih butuh polesan dan kerja keras untuk meningkatkan kemampuan.

Yang terpenting, PBSI harus memberikan kesempatan yang cukup bagi pemain yang ada di bawah naungan mereka untuk mengikuti turnamen tiap tahunnya. Dan nantinya, seleksi alam yang akan menunjukkan mana pemain muda yang memang bisa mengukir prestasi fenomenal di awal karir mereka, dan mana pemain muda yang memang harus menunggu hingga usia yang lebih matang untuk meraih kemenangan demi kemenangan.

Image

-Putra Permata Tegar Idaman-

Terima Kasih, Chris John!

Chris John duduk dengan posisi tegap. Tangan kirinya memegang lembaran kertas sementara tangan kanannya memegang microphone. Kata demi kata kemudian keluar dari mulutnya. Kadang ia berhenti sejenak untuk kemudian memulai lagi. Irama nafasnya tetap stabil dan intonasi kata-katanya pun tetap demikian. Matanya hanya sedikit memerah namun air mata tak mengalir sedikit pun dari sudut dua bola matanya. Chris John jelas merupakan petinju yang tegar, termasuk saat dirinya mengumumkan pengumuman pengunduran diri.

Total 15 tahun sudah dihabiskan Chris John untuk berlaga di ring tinju, dari arena ke arena, dari kota ke kota, dari negara ke negara lainnya. Untuk status juara dunia, Chris John sudah menggenggamnya selama satu dasawarsa yang berarti Indonesia sudah diharumkan namanya di dunia tinju 10 tahun lamanya.

Dan kini dengan lantang Chris John mengumumkan pengunduran dirinya. Sebuah pengumuman yang dilakukan dalam sebuah situasi yang sejatinya tidak ada dalam bayangan dan harapan Chris John. Sebagai atlet, Chris John jelas berambisi bisa mengakhiri karir dengan situasi sempurna. Memegang rekor jumlah pertandingan mempertahankan gelar juara terbanyak, sukses melakukan unifikasi gelar, dan tidak pernah kalah hingga akhir karirnya adalah impian yang pastinya ada di benak Chris John sebagai juara dunia.

Toh, akhirnya Chris John tetap menunjukkan sikap sebagai juara sejati. Juara yang tidak hanya hebat di atas ring. Namun juga sikap juara yang mengerti dan mengakui batas dirinya sendiri. Juara yang tahu kapan saatnya untuk mundur dan meninggalkan ring yang telah membuat namanya menyebar ke seluruh penjuru dunia ini.

Image

Dan memang pada akhirnya yang terkenang oleh masyarkat saat menyebut nama Chris John bukan hanya melulu soal kekalahan terakhirnya. Kekalahan terakhir hanya akan mengambil porsi sepersekian persen dari cerita tentang Chris John. Yang akan lebih mendominasi saat nama Chris John adalah tentang pencapaian-pencapaian spektakulernya. Tentang bagaimana ia mulai beralih dari wushu ke tinju. Tentang bagaimana ia menjadi juara dunia untuk pertama kalinya. Tentang bagaimana ia meraih status super champion dari WBA, dan tentang bagaimana ia mampu menjaga penampilannya tetap stabil selama lebih dari 10 tahun hingga penghujung karirnya.

Chris John tak perlu lagi menuntut balas dan meminta rematch atas kekalahan di pertandingan terakhirnya karena sejatinya ia telah menang. Chris John telah memenangkan hati rakyat Indonesia yang terus mendukungnya. Beberapa tahun ke depan, ketika kata tinju dan legenda disandingkan, maka otomatis nama Chris John yang ada di mulut dan kepala orang yang melihatnya.

Dari pertarungan-pertarungan yang terus dijalani Chris John, tergambar jelas bahwa sikap bersahaja dan keganasan bisa bersatu secara alami dalam diri manusia. Chris John memang bak ksatria haus pertempuran yang terus menggempur musuhnya di atas ring. Namun di luar itu, Chris John adalah petinju yang sederhana dan bersahaja. Petinju yang rendah hati meski posisinya tinggi.

Kini saatnya bagi kita untuk melepas Chris John turun dari ring tinju yang pernah membesarkannya. Membiarkan dirinya menikmati waktu bersama keluarga kecilnya, menebus waktu yang hilang saat Chris John terus menerus sibuk bekerja keras untuk mengharumkan nama Indonesia. Biarkan Chris John duduk bersama kita semua di bangku penonton, menyaksikan kelanjutan nasib tinju Indonesia setelah ini. Tentunya dengan statusnya sebagai Suami dan Ayah dari anak-anaknya, status juara yang menurut Chris John abadi dan tetap melekat selamanya..

Image

Terima Kasih Chris John!!

Gelombang Besar Ahsan/Hendra

Kamis, 27 Desember 2012 posisi Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan tak terdeteksi di halaman awal peringkat ganda putra di situs resmi Badminton World Federation (BWF). Lanjut ke halaman kedua, nama mereka pun belum ada, pun begitu ketika halaman selanjutnya ditelusuri. Nama mereka baru ada di halaman keempat, yang memuat para pemain dengan peringkat 76-100 dunia, tepatnya di peringkat 78 dunia.

Ketika itu, Ahsan/Hendra yang baru dipasangkan usai Olimpiade London 2012 ini belum menunjukkan perkembangan permainan yang signifikan. Satu kali semifinal (Denmark Super Series Premier), satu kali babak 16 besar (Prancis Super Series), dan satu kali perempat final (Hong Kong Super Series) adalah hasil yang dicatat Ahsan/Hendra dalam tiga turnamen yang mereka ikuti di sisa tahun 2012. Karena itu wajar banyak yang menganggap kiprah Ahsan/Hendra hanyalah berupa gelombang kecil di lautan yang tak akan menggemparkan dunia.

Status Ahsan/Hendra sebagai gelombang kecil di lautan pun terus berlanjut di semester awal tahun 2013 meski mereka memenangi Malaysia Super Series 2013. Penyebabnya tak lain karena mereka tak mampu menjadi juara di All England dan malah tak tampil berpasangan di Piala Sudirman 2013 karena Ahsan mengalami cedera.

Kiprah kehebatan mereka baru terasa di semester kedua tahun 2013. Dimulai dengan menjuarai Indonesia Super Series Premier 2013 di debut turnamen mereka pasca cedera Ahsan, duet Ahsan/Hendra terus mengamuk dan memenangi turnamen-turnamen lainnya mulai di Singapura Super Series, Kejuaraan Dunia 2013, dan Jepang Super Series secara beruntun. Meski setelah itu performa mereka agak menurun, namun tahun 2013 berhasil mereka tutup dengan sempurna melalui titel juara BWF World Super Series Finals 2013. Peringkat nomor satu dunia pun berhasil mereka genggam di tahun ini. Ahsan/Hendra yang masih berupa gelombang kecil pada akhir tahun lalu kini sudah menjelma menjadi gelombang besar yang ditakuti oleh banyak orang.

Image

ket foto : Saat arak-arakan juara dunia di Pemalang

Lalu, apakah Ahsan/Hendra meraih kesuksesan ini dengan cara instan? Jawabannya tentu tidak. Hendra memang pemain papan atas dunia dan Ahsan sering disebut-sebut sebagai pemain penuh talenta namun mempersatukan mereka bukanlah seperti matematika dimana menambahkan lima dengan lima maka kita akan mendapatkan angka sepuluh. Masih banyak faktor-faktor lainnya di balik kesuksesan mereka berdua sampai kombinasi mereka menjelma menjadi angka sepuluh dan dinilai orang sebagai pasangan yang sempurna.

Yang pertama Hendra. Jelas sulit baginya untuk menemukan motivasi untuk berprestasi setelah ia meraih hampir semua gelar bergengsi yang ada di dunia bulu tangkis bersama Markis Kido mulai dari berbagai turnamen super series hingga titel juara dunia, dan meraih medali emas mulai dari level SEA Games, Asian Games, hingga Olimpiade.

Saat awal kembali ke pelatnas pasca gagal lolos ke Olimpiade London 2012, kondisi fisik Hendra sendiri berada dalam kondisi yang tidak bagus. Staminanya merosot dan bobot tubuhnya pun tidak ideal seperti saat masa jayanya. Beruntung, Hendra tidak kehilangan motivasinya untuk berprestasi dan itulah modal utama Hendra untuk membenahi semuanya.

Ia kembali berlatih lebih keras untuk mengembalikan fisik dan staminanya. Ia berlatih keras untuk membuat ideal bobot tubuhnya. Ia berlatih keras untuk kembali mempertajam tekniknya. Dan ia berusaha keras untuk bisa berperan sebagai pembimbing Ahsan mengingat porsi dirinya dalam duet Ahsan/Hendra adalah sebagai seorang senior, beda dengan porsi sejajar yang dimilikinya saat berduet dengan Kido.

Image

Ahsan sendiri pun melalui perjuangan yang tidak mudah. Ia hanya berlabel sebagai pemain 10 besar saat berduet dengan Bona Septano tanpa mampu menapak ke level yang lebih tinggi. Diputuskan berduet dengan Hendra yang berlabel super star, jelas beban lebih besar ada di pundak Ahsan.

Namun kembali motivasi untuk berprestasi menjadi modal utama Ahsan untuk mengatasi semua rintangan yang ada. Ahsan berlatih keras untuk bisa menjadi partner yang pas untuk Hendra. Ahsan berlatih keras untuk mempertajam smes andalan miliknya. Dan yang paling penting Ahsan berusaha keras untuk menguatkan mental dan bisa tampil percaya diri saat berada di sisi lapangan yang sama dengan Hendra.

Image

Kini, di akhir tahun 2013 mereka telah mereguk hasil kerja keras mereka. Status sebagai ganda putra terhebat di dunia plus puja-puji dari seluruh negeri mereka dapatkan lewat perjuangan yang panjang meskipun hanya memakan waktu yang singkat. Tugas mereka setelah ini adalah menegaskan bahwa mereka, Ahsan/Hendra, adalah gelombang besar yang berbahaya dalam waktu lama, bukan gelombang besar yang muncul karena momentum sesaat lalu kemudian reda.

-Putra Permata Tegar Idaman-

indomie, antara rumah dan warung..

Sebelum memikirkan hal-hal berat untuk mencapai bahagia, banyak sebenarnya jalan untuk bahagia dengan cara sederhana. Contoh kecilnya saja adalah dengan makan indomie rebus di kala hujan, kedamaian berhembus dan pikiran pun tenang. Namun yang mungkin jadi pertanyaan banyak orang sejauh ini adalah kenapa indomie rebus di warung indomie akan selalu lebih nikmat dibandingkan indomie rebus hasil kreasi sendiri?

Ada beberapa hal yang menarik untuk diperhatikan dan jadi perbedaan dalam soal ini.

1.Yang pertama indomie di warung itu dimasakkin orang, sementara indomie di rumah masak sendiri

Kalo di rumah harus gedebag-gedebug ambil indomie, nyalain kompor, nyiapin mangkok, ambil gunting, nuang air panas, nunggu mateng, masukin indomie, gunting bumbu, tuang bumbu ke mangkok, matiin kompor, masukin indomie ke mangkok, baru akhirnya bisa makan.

Sementara itu kalo di warung. Dateng tinggal duduk sambil ongkang-ongkang kaki. Ngobrol sana-sini, makan gorengan, eh tau-tau jadi.

Tapi kalo di rumah, gue dimasakin sama pembantu, nunggunya tiduran sambil nonton tipi tapi tetep gak seenak rasa di warung? Oke kalo begitu lanjut poin kedua.

2. Mangkok. Di warung indomie, mangkok yang lazim dipakai adalah mangkok gambar ayam jago atau mangkok yang bertuliskan nama produk penyedap masakan. Intinya, seluruh mangkok di warung indomie punya mangkok yang seragam. Mungkin mangkok ini jadi salah satu rahasia kelezatan indomie di warung indomie. Kenapa ? karena mungkin volume mangkok ini adalah volume ideal untuk perpaduan bumbu indomie dengan kuahnya. Jika pake mangkok lain, mungkin volumenya tidak pas sehingga kadang keasinan atau malah terlalu tawar.

Jadi kalo mau enak makan indomie di rumah, langkah yang harus diambil adalah beli mangkok ayam jago warna putih itu dulu.

3. Lada dan Saos Botolan. Di warung indomie, untuk makan indomie biasanya dilengkapi dengan taburan lada bubuk dan saos botolan yang tergolong murah. Di sini tidak membicarakan faktor kesehatan, namun harus diakui, lada dan saos botolan itulah yang menambah kental kuah indomie di warung indomie sehingga rasanya lebih nikmat.

Jadi kalo mau makan indomie enak di rumah, beli lada bubuk plus saos botolan yang murah itu. Kalo gak mau pake saos, bisa diganti dengan telor yang diaduk sehingga kuah indomie-nya tetap kental.Image

Rematch Atau Gantung Sarung Tinju, Chris John?

Image

ket foto : Chris John saat menghadapi Shoji Kimura tahun 2012 lalu di Singapura

Dalam beberapa pertempuran yang sudah dilewati, Sang Naga mampu bertahan dari serbuan para samurai dari Jepang sekaligus menaklukkan mereka. Selain itu, Sang Naga juga sukses bertahan dari gempuran ksatria-ksatria dari dataran Amerika dan mengalahkannya. Namun ternyata, Sang Naga itu akhirnya takluk di hadapan Simpiwe Vetyeka, seorang pejuang tangguh dari Afrika Selatan.

Chris ‘The Dragon’ John bagaimanapun telah mengharumkan nama Indonesia di kancah tinju dunia. Lewat dirinya yang berstatus sebagai super champion kelas bulu WBA, nama Indonesia bisa terus mengemuka di dunia dalam satu dasawarsa terakhir. Namun sebagaimana layaknya manusia biasa, Chris John pun memiliki batas dalam dirinya.

Saat naik ring melawan Vetyeka akhir pekan lalu, usia Chris John sudah ada di angka 34 tahun, usia yang tentunya sudah tidak muda lagi untuk ukuran seorang petinju. Dengan demikian, jelas gerakan tubuh, power pukulan, dan lain sebagainya dalam diri Chris John berbeda jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya dimana ia berusia lebih muda. Lewat pertarungan yang berjalan hingga enam ronde, akhirnya Chris John pun bertekuk lutut di hadapan Vetyeka. Sebuah kekalahan pertama yang dialami Chris John dalam karirnya sebagai seorang petinju.

Yang menarik usai kekalahan Chris John ini sendiri adalah bagaimana Chris John mengambil keputusan setelah ini. Apa yang akan dilakukan Chris John terhadap karir bertinjunya? Apakah ia akan tetap berdiri di atas ring sebagai seorang petinju ? Atau meninggalkan arena tinju yang telah membuatnya dikenal dunia seperti sekarang?

Berbicara ke belakang, niatan Chris John untuk mundur dari dunia tinju sepertinya sudah mulai mengudara sejak dua tahun belakangan. Dalam konferensi pers melawan Shoji Kimura setahun yang lalu, Chris John menyebut bahwa durasi karirnya di ring tinju hanya berkisar lima pertandingan lagi. Ucapan itu pun kemudian dihubungkan dengan rekor milik Eusebio Pedroza yang mampu mempertahankan gelar juara dunia kelas bulu WBA dalam 19 pertarungan. Padahal ketika itu, sang istri Anna Maria Megawati pun sempat meminta Chris John untuk mundur dengan alasan sudah terlalu lama Chris John berkarir sebagai seorang petinju.

Andai menang melawan Vetyeka kemarin, Chris John sendiri sukses menyamai rekor Pedroza dengan 19 kali pertandingan mempertahankan gelar. Dengan demikian maka Chris John tinggal butuh satu kemenangan lagi untuk berdiri sendirian sebagai pemegang rekor itu. Namun nasib berkata lain. Perjuangan Chris John harus terhenti di angka 18 dan harus menerima nasib berada di bawah Pedroza untuk rekor yang satu ini.

Nah, jika Chris John ingin tetap kembali bertinju, rasanya satu-satunya kemungkinan yang masuk di akal adalah dengan mengadakan rematch melawan Vetyeka. Terlalu lama bagi Chris John jika dirinya harus menjalani pertarungan-pertarungan lainnya dalam sisa karirnya. Karena memang Chris John sudah membuktikan diri sebagai petinju hebat dan satu-satunya urusan yang belum selesai baginya adalah urusan dengan Vetyeka yang mengalahkannya kemarin.

Namun untuk rematch sendiri, Chris John tidak mesti buru-buru dan gegabah mengambil keputusan. Ia harus menilai benar apakah kekalahan kemarin itu terjadi karena persiapan yang kurang bagus ? Apakah kekalahan itu terjadi karena kondisinya kurang bagus di atas ring? Apakah kekalahan tersebut terjadi karena ada sebab lain yang tak biasa ia alami dalam sebuah pertandingan?

Tetapi jika ia sudah berlatih keras dan menjalani masa persiapan dengan sangat baik dan performanya di atas ring kemarin adalah level terbaiknya sebagai seorang petinju, maka keputusan untuk melakukan rematch perlu dipikirkan lagi. Karena jika ia kemarin sudah benar-benar mengeluarkan 100 persen kemampuan yang ia miliki, maka butuh usaha keras dan luar biasa bagi Chris John untuk mempersiapkan diri jika ia benar-benar ingin melakukan rematch. Istilah kata, jika kemarin persiapan Chris John sudah 100 persen dan ia kalah, maka persiapan untuk rematch harus 200 persen untuk bisa tampil lebih bagus di rematch nanti.

Dan kalaupun akhirnya Chris John memilih untuk gantung sarung tinju setelah ini, maka keputusan itu tetap layak untuk diapresiasi. Satu kekalahan di akhir karir tidak akan merusak citra diri Chris John sebagai petinju terhebat sepanjang sejarah tinju Indonesia sejauh ini. Ia mampu menjadi juara dunia kelas bulu WBA dalam kurun waktu 10 tahun dan dianugerahi gelar super champion. Namanya akan abadi dalam sejarah dunia tinju Indonesia bersama rekaman-rekaman kehebatannya di atas ring dan rekor-rekor miliknya.

-Putra Permata Tegar Idaman-